Padahal di Timor Timur dulu, kami bergerak empat orang, semuanya bawa kamera. Di Perang Teluk saya juga pegang kamera."
Selain ancaman kematian, penyelesaian tugas termasuk pengiriman berita juga dinamika yang penuh kendala. Di Kamboja tahun 1970, misalnya, setiap kali ia pergi ratusan kilometer dari medan perang ke basis peliputannya di Kampong Cham (30 km dari Pnom Penh), hanya untuk mencuci film.
Di Hafar Al Bathin, kota Kuwait di dekat perbatasan Irak, 1991, setiap hari Hendro menyetir kendaraan 500-an kilometer menuju Dhahran untuk mengirim gambar lewat satelit ke TVRI, kemudian kembali ke basis liputan.
Di Kamboja tahun 1970, Hendro bersama wartawan Berita Yudha Hery Suharwo jadi korban serbuan tentara Vietkong hingga terdesak ke Sungai Mekong. Yang tersisa tinggal kepasrahan sambil mempersiapkan diri dengan kamera berisi film baru untuk dijepretkan pada saat-saat terakhir.
Beruntung pesawat terbang Vietnam Selatan menghujani bom napalm. Rasa lega Hendro berbaur dengan kengerian luar biasa. Api dan asap menggumpal ke udara disertai dentuman memekakkan telinga, dalam jarak hanya 500 m.
"Tikus di dalam tanah bisa mati. Senjata api pun pada jarak tertentu bisa meledak sendiri. Ngeri."
Ingin menjarah lukisan
Meliput Perang Kamboja, bagi Hendro, sangat membanggakan. "Betul-betul real war. Wartawan yang mati banyak sekali. Bukan karena pertempuran, tapi karena diculik atau diserang di jalan."
Timor Timur menempati bagian khusus dalam hidupnya karena ia mengikuti proses integrasi sejak awal. Tanggal 22 November 1975, di Fatularan, Timtim, Hendro tertembak. Serangan Fretilin begitu akurat, sehingga dari 100-an marinir yang dia ikuti, 22 orang di antaranya gugur.
Dada kanan Hendro tertembus peluru, pipinya terserempet, dan ibu jari tangan kanannya remuk. Ia tak tewas karena masih dilindungi Tuhan, yang diistilahkannya "Sang Pemberi Kehidupan".
"Sama dengan pengalaman di tempat lain, saya tidak mati karena rasa optimis bahwa dengan menginjakkan kaki di wilayah peperangan, Sang Pemberi Kehidupan pasti melindungi.”
Peristiwa itu menuntunnya untuk bermawas diri. Rupanya, saat Hendro ikut misi penyusupan ABRI sebagai satu-satunya wartawan Indonesia, 1974, di sebuah museum di Dili, ia melihat lukisan kuno yang sangat indah.
Penulis | : | Moh Habib Asyhad |
Editor | : | Moh Habib Asyhad |
KOMENTAR