Melihat kejadian itu terketuk hati nurani Sutomo dan kawan-kawannya. Lalu mereka bersepakat untuk mengulurkan pertolongan. Dengan keberanian yang di luar perhitungan matang, mereka bertujuh menerobos kobaran api, dan akhirnya berhasil menyelamatkan bayi tersebut.
Tak terkira bahagianya hati ibu bayi itu. Ia mengucapkan terimakasihnya yang tak terhingga kepada Sutomo dan kawan-kawannya. Mereka sendiri merasa bangga bercampur syukur.
Dari kejadian itu, ia menarik hikmahnya yang mengesan. Semboyan bahwa "Seorang Pandu itu bersifat Ksatria" dan "Seorang Ksatria itu bersedia menolong dan kalau perlu berkorban untuk kepentingan orang lain," benar-benar tertanam ke dalam jiwa Sutomo.
"Seorang Ksatria itu akan dilindungi keselamatannya oleh Yang Mahakuasa," bisik hatinya.
Selain keberanian untuk menolong sesama, terpupuk pula keberanian fisik lainnya. Dalam gerakan kepanduan Itu terdapat permainan "gerilya" untuk memperebutkan kemah, atau memperebutkan bendera merah putih.
Permainan itu biasanya dilakukan di tengah kuburan pada malam hari. "Menyelusuri di antara kuburan-kuburan dalam gelap malam, hati sebenarnya merasa kecut. Tapi apa boleh buat, hati dipaksa-paksa buat berani," tutur Bung Tomo.
Setelah dua pihak, yang menyerang dan mempertahankan, bertemu, terjadilah bakuhantam satu sama lain, untuk memperebutkan bendera merah putih. "Jadi bertempur dan bergerilya waktu perang kemudian bagi kami sudah bukan hal yang asing lagi."
Kecuali keberanian fisik, dalam gerakan kepanduan waktu itu dipupuk pula tradisi hidup demokratis. Setiap anggauta pandu harus bertanggungjawab atas segala perbuatannya yang dianggap salah.
Misalnya dalam hal absensi latihan, kehidupan sehari-hari sampai ke soal keuangan. Seorang pemimpin berhak menghukum anakbuahnya. Tapi seorang anakbuah berhak pula mengritik serta meminta pertanggungan jawab dari plmpinannya.
Source | : | Majalah HAI |
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | Moh. Habib Asyhad |
KOMENTAR