Peter Haupt dengan tiga anak laki-lakinya disuruh berlutut di ubin. Si kapten merobek pakaian istri Haupt dan kedua putrinya yang berusia masing-masing 12 dan 18 tahun.
Baca juga: Ke Mana Emas Hasil Rampokan Nazi?
Ketika si kapten mendekati gadis yang berusia delapan belas tahun itu, mendadak Peter Haupt mengeluarkan suara yang mengagetkan; padat dengan kesedihan serta kemarahan.
Ia meloncat seperti macan, dan menarik kaki si kapten. Begitu cepat gerak-gerik si ayah itu hingga tembakan serdadu di sekitarnya datang terlambat. Si kapten merebut pula pistolnya, tapi tidak menggunakannya, demi melihat bahwa Peter Haupt masih hidup.
Si kapten memanggil dua serdadunya. Mereka menyeret Peter Haupt keluar rumah. Entah apa yang mereka lakukan itu dengan ayah dan suami yang malang itu, tapi suatu raungan yang tidak bersifat kemanusiaan lagi menggema di seluruh rumah, sampai-sampai serdadu-serdadu Rusia di dalam rumah itupun menjadi pucat.
Si kapten meneruskan maksudnya. Setelah selesai ketiga wanita itu diserahkannya kepada serdadunya.
Tanpa kecuali
Tak seorang wanita Jerman di kota kecil itu dapat menyelamatkan diri dan kehormatannya. Tua maupun muda. Tanpa kecuali.
Demikianlah nasib setiap desa atau kota Jerman bila diduduki tentara Rusia, tentara yang telah berbaris di atas tumpukan bangkai dari Stalingrad sampai Polandia dan kini di Jerman Timur.
Baca juga: Tapak Nazi Di Kaki Pangrango, Bukti Sebuah Kesia-siaan Peperangan
Selama tiga tahun mereka dicekok dengan semboyan pers dan radio “Bunuhlah setiap fasis Jerman, si agresor!”
Selamat tiga tahun penulis Rusia yang terkemuka, Ilya Ehrenburg menjanjikan kepada Tentara Merah tubuh wanita Jerman sebagai upah jerih payah mereka.
Source | : | intisari |
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | Moh. Habib Asyhad |
KOMENTAR