Pada jam 9 malam setelah tiga jam berlayar, terdengarlah suara dentuman yang terasa di seluruh kapal. Kena torpedo Rusia. Dalam panik semua berlari-larian ke kapal sekoci. Anak kecil dan yang sakit mati terinjak. Angin menderu-deru.
Jeritan ibu yang mencari anaknya yang hilang. Kapal makin miring. Laut es menelan ribuan pengungsi itu.
September
Lain lagi pemandangan di pelabuhan Pillau. Hanya para ibu dengan anak, atau para ayah dengan anak boleh mengungsi. Maka setelah para ibu itu tiba di geladak kapal dengan anak mereka, mereka melemparkan anak itu kepada sanak saudara yang menunggu di pinggir dermaga.
Baca juga: Tentang Tiga Orang Indonesia di Kamp Konsentrasi Nazi di Mauthausen
Kadang-kadang anak orok yang dilemparkan demikian jatuh di air antara kapal dan dermaga. Adakalanya jatuh di tengah orang banyak dan mati terinjak. Atau dirampas oleh orang lain untuk boleh turut mengungsi.
Pomerania
Pomoerania jatuh di tangan Rusia diakhir Februari. Inilah penuturan seorang istri dokter, nyonya Mackow – satu dari ratusan ribu penduduk sipil yang tidak terburu melintasi sungai Oder.
“Orang Rusia tiba di desa kami 1 Maret. Mengerikan. Banyak para suami yang hendak melindungi istri dan anak perempuan mereka, dibunuh. Setiap wanita dari yang tua sampai yang berusia 12 tahun menjadi korban.
Semua dari kami, tanpa kecuali satupun mengalami hinaan itu. Tanpa kecuali seorang guru muda bersembunyi di hutan tapi ditemukan juga. Serdadu Rusia mencemarkan dia berganti-ganti di jalan raya. Ia tiba di desa kami, sambil merangkak penuh lumpur dan kotoran – hampir tak dapat dikenali lagi.
Breslau, 4 Mei
Akhir Maret marsekal Konev mengancam akan menghancurkan Breslau bila tak menyerah. Ancaman ini tak dihiraukan komandan Breslau, jenderal Niehoff. Meriam dan bom pesawat udara menghalau penduduk ke dalam lubang perlindungan. Breslau menjadi lautan api.
Baca juga: Di Mana Stalin Sewaktu Nazi Menyerang Rusia?
Para ibu dengan bendera putih menuntut penyerahan kepada pemimpin partai Nazi setempat. Mereka ditangkap oleh kepala distrik Hanke. Pada tanggal 4 Mei tiga dominee dengan seorang pastor meminta audiensi pada jenderal Niehoff dan mendesak agar ia menyerahkan kota. Niehoff ingin tapi terikat pada kepala distrik Hanke.
Tanggal 5 Mei diketahuilah bahwa Hitler telah mati. Malamnya Hanke meninggalkan Breslau dengan pesawat terbang. Keesokan paginya jenderal Niehoff menyerahkan kota kepada tentara Rusia.
Segera pemboman dan tembakan meriam berhenti. Tapi kini datang penderitaan macam lain. Pembunuhan dan perkosaan, hingga menyebabkan banyak orang Jerman bertanya kepada diri sendiri, “apakah hidup itu tidak lebih manis selama hari-hari pengepungan daripada kini..”
Harapan saya satu-satunya
Hans Gliewe berusia 16 tahun ketika ia dengan ibunya dan adiknya mengungsi di Pomerania. Di tengah jalan ia bertemu dengan seorang pemuda 17 tahun anggota pasukan SS yang sangat fanatik. Tangan kirinya tak lain daripada sepotong daging tak berbentuk. Inilah ceritanya.
“Semua pemuda sebaya dengan aku telah menjadi anggota pasukan SS. Tapi itu semua sudah lewat. Ibu ayahku telah dipukul mati oleh orang Rusia karena keanggotaan SS-ku. Kini tangan kiriku lenyap. Tapi tangan kananku masih cukup baik untuk memegang pistol...
Baca juga: Simon Wiesenthal Si Pemburu Pasukan SS: Tiada Maaf Bagi Nazi
Harapanku satu-satunya ialah bahwa peperangan ini cukup lama hingga aku dapat membalas.”
Entah mana yang lebih mengerikan; penderitaan yang telah lampau, atau penderitaan yang masih diidam-idamkan oleh anak muda itu.
Ucapannya itu dalam tahun 1945. Waktu itu ia 17 tahun. Kini, kalau masih hidup, usianya 35 tahun.
Pada usia itu, Hitler dalam tahun 1924 sedang giat membangun partainya, partai Nazi yang dijadikan alat untuk merebut seluruh kekuasana di Jerman dan kemudian untuk menyerang Polandia dalam tahun 1939 dan dua tahun kemudian Soviet Rusia.
(Ditulis oleh Juergen Thowald, disarikan oleh Auwong Peng Koen. Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi September 1963)
Source | : | intisari |
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | Moh. Habib Asyhad |
KOMENTAR