Advertorial

Tapak Nazi Di Kaki Pangrango, Bukti Sebuah Kesia-siaan Peperangan

Moh. Habib Asyhad
K. Tatik Wardayati
Moh. Habib Asyhad

Tim Redaksi

Di kaki Gunung Pangrango, di tengah areal perkebunan teh Gunung Mas, terdapat sebuah kompleks pemakanan orang Jerman yang terawat.
Di kaki Gunung Pangrango, di tengah areal perkebunan teh Gunung Mas, terdapat sebuah kompleks pemakanan orang Jerman yang terawat.

Intisari-Online.com – Di kaki Gunung Pangrango, di tengah areal perkebunan teh Gunung Mas, terdapat kompleks pemakaman orang Jerman yang masih terawat baik.

Menilik sejarahnya, kita menjadi paham tentang sebuah peringatan dari kesia-siaan perang dan keterpisahan manusia dari tanah airnya tercinta.

Sepuluh makam bernisan Eisernes Kreuz (simbol salib baja khas Nazi) berwarna putih itu berderet rapi. Di atasnya, helaian daun cemara terserak, bersanding dengan beberapa kuntum bunga kemboja yang terjatuh dari pohonnya.

Sekitar kawasan pemakaman yang luasnya kira 250 m2, tiga pohon karet munding raksasa berdiri tegak, seolah menjadi saksi bisu tentang sejarah keberadaan makam orang-orang asing tersebut di Arca Domas.

Area Domas adalah kampung di wilayah Desa Sukaresmi, Kecamatan Megamendung, Kabupaten Bogor. Nama yang dalam bahasa Sanskerta berarti "800 arca" itu, mengacu kepada sekumpulan arca kuno peninggalan Kerajaan Pakuan, yang ada di kawasan itu.

Baca juga: Kehidupan Narapidana No. 7: Si Penjahat Perang Nazi di Penjara

Sepanjang perjalanan dari arah Cikopo Selatan, saya dan istri, Yohana, mencoba memunguti serpihan-serpihan informasi sekitar keberadaan makam orang-orang Jerman tersebut. Namun info yang kami dapat sangat minim.

Kendati orang-orang Megamendung tahu tentang keberadaan pemakaman itu, tapi tidak soal sejarahnya. Mereka malah menyebutnya sebagai Makam Belanda atau Makam Cina.

Asep Sudayat, Lurah Desa Sukaresmi, membenarkan tentang ketidaktahuan penduduk sekitar. "Jangankan orang-orang sini yang kebanyakan pendatang, Mak Ema sendiri malah tidak tahu soal sejarah makam itu," ujarnya.

Adapun Mak Ema, perempuan berusia sekitar 70-an tahun, dikenal orang sebagai kuncen pemakaman. Ketika kami bertamu ke rumahnya yang terletak di samping pemakaman, ia tengah mengawasi sekelompok bocah yang tengah bermain di areal pemakaman.

Dalam bahasa Sunda, Mak Ema pun mengakui tidak tahu apa pun tentang makam itu, termasuk tentang mereka yang dikebumikan di dalamnya. Sebuah buku pernah didapatnya dari Kedutaan Besar Republik Federal Jerman di Jakarta, tapi kemudian hilang.

Baca juga: Perempuan Hasil Proyek Peng-Arya-an Eropa: 'Saya Lahir Dalam Peternakan Manusia yang Dibuat oleh Nazi'

"Mungkin dipakai mainan salah seorang cucu saya dan terbuang begitu saja,' kata perempuan yang dibayar Rp 4 juta per enam bulan oleh pemerintah Jerman itu.

Menjelang Magrib, kami pulang ke rumah tanpa informasi yang memadai. Titik terang justru saya dapatkan di dunia maya. Terutama dari tulisan-tulisan Herwig Zahorka, seorang sejarawan yang mendalami sejarah militer NAZI di Indonesia. Kisahnya ternyata begitu heroik. .

Bermula dari Hellferich Bersaudara

Kedutaan Besar Jerman Barat di Indonesia secara resmi menangani pemakaman di Arca Domas sekitar pertengahan tahun 1980-an, setelah sebelumnya ada di bawah Afdeling Cikopo Perkebunan Teh Gunung Mas.

"Yang ditugasi'' pihak perkebunan untuk merawat pemakaman Jirman (maksudnya Jerman) itu, bapak saya yang namanya Atmadja,” terang Mak Ema.

Sejarah Afdeling Cikopo yang merupakan bagian dari Perkebunan Teh Gunung Mas, terkait erat dengan dua bersaudara: Emil dan Theodor Hellferich, yang memulai perkebunan ini.

Alkisah, pasca Perang Dunia I (1914-1918) kedua warga negara Jerman itu membeli tanah seluas 900 ha, menanaminya dengan teh, sekaligus mendirikan pabrik yang pengelolaannya di kawasan Cikopo.

Baca juga: Tentang Tiga Orang Indonesia di Kamp Konsentrasi Nazi di Mauthausen

Kehadiran Hellferich bersaudara, yang masih bersaudara kandung dengan Wakil Perdana Menteri Kekaisaran Jerman terakhir yakni Karl Hellferich, tak lain merupakan buah dari politik pintu terbuka (opendeur politiek) Pemerintah Hindia Belanda.

Sejak tahun 1905, terbuka kesempatan seluas-luasnya kepada orang Eropa non Belanda untuk berinvestasi di Hindia Belanda.

Investasi ini menguntungkan. Buktinya mereka sanggup membuat pabrik dengan kabel pengangkut daun teh dan gedung-gedung peristirahatan yang megah di kawasan berketinggian 900 mdpl itu.

Hellferich bersaudara juga dikenal patriotik. Kecintaan mereka terhadap negerinya antara lain terlihat dari monumen penghormatan terhadap aksikepahlawanan Admiral Maximihah Graf von Spee, Komandan Skwardon Jerman Asia Tenggara (Deutsch-Ostasiatisches Geschwader) di Kampung Arca Domas.

Aksi kepahlawanan admiral itu terjadi 8 Desember 1914 saat terjadi bentrokan dengan Inggris hingga menyebabkan kapalnya karam di Kepulauan Falkland.

Baca juga:Di Mana Stalin Sewaktu Nazi Menyerang Rusia?

Peresmian monumen dilakukan tahun 1926 berbarengan dengan kunjungan kapal penjelajah Jerman, Hamburg, di Pelabuhah Tanjung Priok. Monumen setinggi sekitar empat meter itu hingga kini masih berdiri tegak.

Pada salah satu sisinya terukir kalimat dalam bahasa Jerman: "Untuk para awak Armada Jerman Asia Tenggara yang pemberani 1914. Dibangun oleh Emil dan Theodor Helfferich 1926."

Sebagai penghargaan kepada agama tua Jawa, Hellferich bersaudara juga menyertakan patung Buddha dan patung Ganesha di kedua sisi monumen.

Ketika Helfferich bersaudara kembali ke Jerman pada 1928, pengelolaan perusahaan dipercayakan kepada Albert Vehring dari Bielefeld yang sudah makan asam garam perkebunan teh di wilayah New Guinea.

Meletusnya Perang Dunia II, diikuti penyerbuan Jerman ke Belanda pada 10 Mei 1940, membuat Pemerintah Hindia Belanda menahan 2.436 orang Jerman.

Baca juga: Simon Wiesenthal Si Pemburu Pasukan SS: Tiada Maaf Bagi Nazi

Para tahanan itu memiliki beragam profesi mulai dari ahli budaya, insinyur, dokter, ahli ilmu pegetahuan, ahli minyak bumi, diplomat, misionaris, pelaut, seniman, dan pengusaha termasuk pengusaha teh Perkebunan Cikopo juga ikut disita Belanda.

"U-Boots-Weide" _

-Dua tahun setelah penahanan orang-orang Jerman di Hindia Belanda, Jepang menyerbu Nusantara. Hingga akhirnya, Maret 1942 Pemerintah Hindia Belanda menyatakan diri kalah perang dan menyerahkan kekuasaannya kepada Jepang.

Perubahan kekuasan ini juga berpengaruh kepada kelangsungan hidup para tahanan asal Jerman. Sebagai sekutu Jepang, mereka menikmati kebebasan, bahkan memperoleh kedudukan yang lebih istimewa secara politik dan ekonomi dari Pemerintah Militer Jepang di Indonesia.

Albert Vehring yang sempat menjadi tawanan di Pulau Nias, kembali mengelola Perkebunan Cikopo.

Sejak itulah kedudukan Perkebunan Cikopo menjadi penting bagi militer Jerman. Bukan sekadar tempat tetirah tapi juga lumbung logistik bagi Kriegsmarine (Angkatan Laut Jerman). Berbagai kebutuhan makan seperti sayur-mayur, kentang, daging sapi, daging babi, daging ayam mengalir ke 42 kapal selam Jerman yang beroperasi di sekitar Asia Tenggara.

Baca juga: Bangunan Rahasia Nazi Baru Terbongkar Setelah 38 Tahun Didirikan di Kanada, Begini Wujudnya

Para prajurit Angkatan Laut Jerman menyebutnya sebagai "U-Boots-Weide" (padang rumput untuk kapal selam)," tulis Zahorka.

Namun kekalahan Jerman dari Sekutu, 8 Mei 1945, membuat para serdadu Jerman patah semangat. Terbukti Mayor Laut Dr. Hermann Kandeler, salah satu petinggi Angkatan Laut Jerman, menolak ajakan Admiral Maeda, salah satu komandan Nihon Kaigun (Angkatan Laut Jepang) untuk berperang dengan sekutu.

Para marinir Jerman yang bertugas di kapal-kapal selam malah memutuskan untuk mendarat dan"bersempunyi" di Perkebunan Cikopo. Di bawah pimpinan Komandan U-129 yakni Mayor Laut Burghagen, mereka membawa senjata dan kendaraan-kendaraan mereka ke tempat Albert Vehring tersebut.

"Di Cikopo, mereka melepas seragam Kriegsmarine dan berlaku sebagai orang sipil. Adapun kapal-kapal selam yang tersisa mereka berikan kepada orang-orang Jepang," tulis Zahorka.

Ketika giliran Jepang menyerah kepada Sekutu, 14 Agustus 1945, sebulan kemudian keberadaan para serdadu Nazi Jerman di Cikopo itu tercium oleh intelejen pasukan Inggris yang datang mewakili Sekutu di Indonesia.

Baca juga: Mengerikan, Museum Kamp Konsentrasi Dachau yang Masih Menyisakan Bau-bau Mayat Bekas Penyiksaan Tentara Nazi

September 1945, sepasukan Gurkha dikirim untuk menyerang sekaligus mengevakuasi para serdadu Jerman itu ke Bogor. Tak ada perlawanan. Malah serdadu Jerman itu bersedia membantu tentara Inggris mengurusi para tawanan Belanda. Tentu syaratnya, kehidupan dan keamanannya terjamin.

Dengah truk milik Jepang, pasukan Jerman dikirim ke Bogor. Tapi sebelum berangkat, tentara Inggris memerintahkan mereka untuk mengenakan seragam dan membawa pula senjata. "Ternyata Inggris memanfaatkan serdadu Jerman tersebut untuk melindungi orang-orang Belanda yang semula ditawan Jepang dari serangan para gerilyawan Indonesia," tulis Zahorka.

Di-Onrust-kan oleh Belanda

Sekitar pertengahan Januari 1946, tentara Inggris menyerahkan 260 orang sisa-sisa serdadu Jerman kepada NICA (Pemerintah Sipil Hindia Belanda). NICA kemudian memenjarakah mereka di Pulau Onrust, sebuah kawasan terpendl bekas tempat rehabilitasi lepra yang terletak di Kepulauan Seribu.

Kondisi di Onrust sangatlah buruk. Orang-orang Jerman banyak yang mati karena demam berdarah, malaria, dan kelaparan. Banyak yang mencoba melarikan diri. Ada yang gagal dan ditembak mati seperti seorang Jerman bernama Freitag.

Baca juga:Nasib Anak-anak Para Pemimpin Nazi: Bertobat dan Mengabdi kepada Sesamanya dengan Menjadi Imam

Namun dua orang berhasil lolos, Werner dan Losche, anggota Kriegsmarine dari U-219. Konon ketika mendarat di Pulau Jawa, keduanya memutuskan untuk bergabung dengan gerilyawan Indonesia. Losche bahkan gugur akibat kecelakaan saat merakit sejenis alat pelontar api.

Juli 1946, Palang Merah Swis mengetahui keberadaan tawanan di Onrust, namun baru pada 28 Oktober 1946 dilakukan'evakuasi. Para tawanan pulang melalui Jakarta, Bombay, Rotterdam, hingga tiba di Hamburg pada awal Desember 1946.

Makam sepuluh orang Jerman itu menjadi saksi bisu keberadaan tentara NAZI di Indonesia. Di kaki Gunung Pangrango, tapak mereka masih bisa dilihat saat ini. Perang tak hanya menimbulkan kesia-siaan namun juga dapat memisahkan seorang manusia dari tanah airnya tercinta.

(Ditulis oleh: Hendi Johari – Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Maret 2011)

Baca juga: Josef Mengele, Anak Manis yang Menjelma 'Malaikat Maut' ketika Jadi Dokternya Nazi dengan Mengiris-Iris Anak Kembar Menjadi Kelinci Percobaan

Artikel Terkait