Kota Posen
25 Januari 1945, Kota Posen telah terkepung. Jenderal Matern, komandang “benteng” Posen (setiap kota penting dinyatakan benteng oleh Hitler) tidak percaya lagi akan kemenangan Jerman.
Namun ia mengeluarkan perintah harian untuk “membela Posen sampai titik darah penghabisa”, tapi tangannya gemetar ketika menandatangani perintah itu.
Akan tetapi di antara orang Jerman di Posen banyak yang masih “percaya”. Di antaranya itu 2.000 kadet, masih muda belia. Mereka tidak gentar. Mereka tidak goncang. Mereka bersedia menyalahkan siapapun juga – kecuali Hitler.
Kepercayaan ini pun masih hidup dalam diri komandan mereka. Mayor Jenderal Gonell. IA pun masih percaya bahwa bala bantuan akan segera datang.
Baca juga: Kehidupan Narapidana No. 7: Si Penjahat Perang Nazi di Penjara
Maka tentara Rusia yang jauh lebih banyak dan jauh lebih kuat itu masih membutuhkan empat minggu untuk merebut seluruh Posen, rumah demi rumah, jalan demi jalan – dmeikian kukuhnya pertahanan Gonell (selama pertempuran diangkat menjadi jenderal) dengan para kadetnya.
Ketika Gonell pun tidak melihat jalan lain, ia meminta ijin untuk menerobos kepungan dan mundur ke arah Barat. Ijin itu tak diberikan. Kini Jenderal Gonell memanggil bawahnnya yang masih dapat dihubunginya.
Mereka diberinya kebebasan untuk mencari keselamatan mereka ke arah Barat. Lalu ia pergi ke kamarnya, membentangkan sehelai bendera Jerman di lantai, berbaring di atasnya, lalu menembakkan pistolnya pada kepalanya sendiri.
Untuk menghindarkan diri dari penawanan Rusia dan jugetia dari penghukuman Hitler.
Ibu menderita
Petikan sebuah surat dari seorang puteri kepada ibunya, Januari 1945. “Gabi, anakku yang baru berusia 4 bulan telah mati. Matik ketika kami sedang mengungsi di musim dingin yang tak terbayangkan dinginnya ini. Di tengah jalan berkali-kali saya coba menyusui Gabi, akan tetapi hawa terlampau dingin. Ia tak juga minum. Ada juga ibu yang memaksakan itu. Akibatnya buah dada mereka menjadi beku.”
Source | : | intisari |
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | Moh. Habib Asyhad |
KOMENTAR