Advertorial
Intisari-Online.com – Inilah perbedaan paling menyolok antara medan perang Barat dengah medan perang Timur.
Apa yang tidak pernah dilakukan oleh tentara dibawah Eisenhower, Montgomery dan Patton di front Barat, telah terjadi dimana-mana setelah penduduk sipil Jerman jatuh dibawah kekuasaan tentara Stalin : perkosaan, pembunuhan, tapi terutama perkosaan wanita-wanita Jermanlah yang membuat lima bulan terakhir dari Perang Dunia II menjadi lima bulan paling mengerikan dalam seluruh sejarah bangsa Jerman.
Ini bukan penilaian, apalagi propaganda.
lnipun bukan usaha mencari pihak yang bersalah. Kedua pihak berbuat hal yang kejam, Rusia maupun Jerman.
Kalau toh mau m enilai, dan menghukum, hukumlah Perang.
Juni 1944
Ketika pada awal bulan ini jenderal Eisenhower mendarat di Eropah Barat; di Normandie, tentara Hitler disebelah Timur masih di wilayah Sovyet Rusia. — Akan tetapi dalam waktu beberapa minggu saja front Timur ini akan runtuh.
Dimana-mana tentara Hitler hitung puluhan divisi berhadapan dengan ratusan divisi tentara Stalin, yang lebih kuat pula persenjataannya. Apalagi, Hitler tidak mengijinkan jenderal-jenderalnya untuk mengelakkan, menghindarkan pemotongan dan pengepungan.
Pendeknya untuk mengadakan manuver. Tentara Jerman tidak boleh mundur setapakpun. Sekalipun mundur sesaat untuk kemudian menyerang lagi.
Karena “strategi” inilah maka terjadi malapetaka Stalingrad dalam tahun 1943, ketika ratusan ribu serdadu Jerman terkepung dan ditawan Rusia.
Sesudah Juni 1944 tentara Jerman mengalami nasib seperti di Stalingrad itu berulang-ulang kali – sampai tentara Rusia itu tiba di Prusia Timur, wilajah Jerman asli.
Dan kini tampaklah perbedaan besar. Di Stalingrad hanya tentara Jerman yang ditawan. Laki-laki menawan laki-laki. Akan tetapi di Prusia Timur itupun terdapat penduduk Jerman sipil, termasuk wanita dan gadis remaja.
Pada tanggal 4 Nopember 1944 jenderal (Jerman) Hossbach berhasil merebut kembali dua kota Prusia (Goldap dan Nemmers dorf) yang jatuh ditangan Rusia dalam bulan Oktober : wanita terpaku hidup-hidup pada pintu gudang.
Baca juga: Ketika Raja Inggris Harus Menyembunyikan Mahkota Kerajaan dalam Kaleng Biskuit karena Diserang Nazi
Setiap wanita dan gadis yang masih hidup atau sudah mati ternyata telah diperkosa berka!i-kali. Penduduk pria, tua dan muda, mati disiksa.
9 Januari 1945
Hari ini jenderal Guderian, kepala staf tentara Jerman akan diterima oleh Hitler.
Guderian penuh kekhwatiran. Beberapa hari sebelumnya ia telah mendapat informasi yang mengagetkan. Kekuatan yang telah dikumpulkan Rusia sangat besar, berupa tank, meriam. pesawat terbang dan pasukan.
Mula-mula pun Guderian agak menyangsikannya. Akan tetapi dokumen-dokumen yang menyebut angka-angka itu demikian authentiknya, hingga Guderian harus tunduk pada kenyataan. Dengan kekuatan itulah Rusia akan menyerang tiga hari lagi: 12 Januari.
Di ruangan perundingan sebuah peta besar dari front Timur telah terbentang. Hanya menunggu kedatangan Hitler.
Sebuah isyarat diberikan. Hitler datang. Diktator yang baru berusia 56 tahun itu masuk. Jalannya perlahan, seperti seorang kakek. Tangan kirinya gemetar. Terdengar pula seretan kaki kirinja. Bahunya telah bongkok. Kepalanya seperti terbenam diantaranya.
Baca juga: Dilarang Bersenda Gurau di Kamp Konsentrasi Nazi di Auschwitz, Membantah Bisa Berbahaya
Mukanja gembos dan pucat lesih. Rambutnya masih hitam, tapi sana sini sudah ada yang putih. Baju seragamnya berwarna abu-abu dengan kancing emas kedodoran.
Hitler bersalaman tangan dengan setiap hadirin termasuk jenderal Heinz Guderian. Lalu menjatuhkan dirinya diatas sebuah kursi soolah-olah ia tak menguasai lagi tubuhnya. Akan tetapi salahlah menilai manusia ini dari jasmaninya saja. Kekuatan kemauannya masih luar biasa.
Lalu Guderian diberi kesempatan menerangkan maksud kedatangannya. Yaitu meneruskan informasi yang didapatkannya bahwa Rusia dengan kekuatan hebat segera tiga hari lagi akan melontarkan ofensif besar-besaran langsung ke arah Berlin.
Lalu Guderian meminta Hitler bertindak segera mengirim bala bantuan, ke timur. Oleh karena tenaga serap tak ada maka saran Guderian ini berarti memindahkan tentara yang sudah ditempatkan di garis lain.
Dan ini tidak diijinkan Hitler. Setiap pastukan tetap di pos masing-masing. Apalagi Hitler tidak percaya bahwa Rusia begitu kuat dan akan menyerang pada tanggal 12 Januari. Dan bukan ini saja.
Baca juga: Di Blok Maut Kamp Konsentrasi Nazi Ini Rambut Para Korban yang Tewas Dijadikan Bahan Tekstil, Sadis!
Keyakinan Hitler ini pun disampaikan kepada pembesar-pembesar Jerman yang memegan pemerintahan di kota-kota di perbatasan. Dan pembesar-pembesar itu percaya pada Hitler.
12 Januari
Begitulah pada malam tanggal 12 Januari itu, Arthur Greiser, kepala distrik Warthe mengadakan pesta di rumahnya. Malam itu juga menyeranglah marsekal Shukov Konev. Segera bolonglah garis pertahanan Jerman yang tipis itu. Tapi malapetaka ini tak disiarkan melalui pers atau radio Jerman
Akibatnya peristiwa seperti berikut: pada suatu malam kemudian Anton Riess, wakil walikota sebuah tempat di daerah Warthe itu, pulang dari suatu konferensi dinas, di mana ia mendapat keterangan bahwa “pasukan kita memberi perlawanan gilang gemilang; kemajuan sementara tentara Rusia telah dapat ditahan”.
“Hitler telah turun tangan. Ia segera akan menggunakan senjata-senjata rahasianya untuk menghalau musuh.”
Setiba di rumah istrinya sedang menunggu. Anton Riess menyuruh istrinya tidur. Keadaan tidak mengkhawatirkan. Kemenangan niscaya dipihak Jerman. Lalu pergi tidurlah nyonya Riess itu. Akan tetapi suaminya, entah karena apa, keluar lagi dari rumah. Jalan tertutup salju.
Baca juga: Inilah Kapal Perang Terbesar Milik Nazi yang Baru Takluk Setelah Dikeroyok
Mendadak terdengar suara rintihan. Seorang dalam pakaian seragam tentara Jerman terbentang dalam salju. Seorang perwira. Setelah diangkut ke dalam rumah dan diberi beberapa tetes alkohol, terbukalah matanya. Bicaranya tak jelas. Anton Riess bertanya, “Anda dari front-kah?”
“Front?” sahut perwira itu, “front? Ah, itu sudah tiada lagi. Saya satu-satunya masih ketinggalan dari kompeniku. Yang lain gugur. Seluruh resimen gugur.”
Anton Riess meninggalkan perwira itu, tanpa membangunkan istrinya dan pergi ke rumah pemimpin partai (Nazi) setempat untuk menelepon atasannya. Ketika berbicara beberapa waktu terbukalah pintu.
Beberapa serdadu tinggi besar masuk. Pesawat telpon dihancurkan oleh salah satu dari mereka. Riess ditembak mati. Cincin kawinnya dirampas. Begitu pula arlojinya dan barang berharga lain dari kantongnya.
Sementara itu seluruh kota kecil itu telah bangun. Sana sini terdengar jeritan wanita – jeritan yang tak dapat dilupakan bagi yang pernah mendengarnya.
Seorang sersan Rusia dengan beberapa serdadu memasuki rumah Anton Riess almarhum. Melihat seorang anggota tentara Jerman berada di rumah itu mereka segera membakar rumah itu: tindakan tentara Rusia terhadap setiap rumah yang memberi perlindungan kepada tentara Jerman.
Baca juga: Inilah Ruang Bawah Tanah Paling Mencekam, Konon Berisi Fasilitas Senjata Nuklir Nazi
Nyonya Riess dengan empat anaknya terbangun secara menakutkan. Dapat diduga mereka mencari-cari suami dan ayah mereka, demi melihat api menyala-nyala di seluruh rumah. Mereka lari ke jendela.
Di sana disambut tembakan serdadu Rusia, yang terus menjaga rumah itu sampai menjadi abu seluruhnya.
Peter Haupt dan keluarganya
Namun nasib keluarga Anton Riess ini masih mujur, bila dibandingkan dengan apa yang menimpa keluarga Peter Haupt. Di sini seorang kapten tentara Stalin dengan beberapa orang serdadu mengumpulkan seluruh penghuni rumah di kamar depan.
Lalu semua lemari dikeluarnya isinya. Benda dari emas, perak, atau apa saja yang mengkilap-kilap dikumpulkan di sebuah meja.
Setelah si kapten mengambil semua cincin dan beberapa benda lain, datanglah giliran yang lain untuk memilih.
Peter Haupt dengan tiga anak laki-lakinya disuruh berlutut di ubin. Si kapten merobek pakaian istri Haupt dan kedua putrinya yang berusia masing-masing 12 dan 18 tahun.
Baca juga: Ke Mana Emas Hasil Rampokan Nazi?
Ketika si kapten mendekati gadis yang berusia delapan belas tahun itu, mendadak Peter Haupt mengeluarkan suara yang mengagetkan; padat dengan kesedihan serta kemarahan.
Ia meloncat seperti macan, dan menarik kaki si kapten. Begitu cepat gerak-gerik si ayah itu hingga tembakan serdadu di sekitarnya datang terlambat. Si kapten merebut pula pistolnya, tapi tidak menggunakannya, demi melihat bahwa Peter Haupt masih hidup.
Si kapten memanggil dua serdadunya. Mereka menyeret Peter Haupt keluar rumah. Entah apa yang mereka lakukan itu dengan ayah dan suami yang malang itu, tapi suatu raungan yang tidak bersifat kemanusiaan lagi menggema di seluruh rumah, sampai-sampai serdadu-serdadu Rusia di dalam rumah itupun menjadi pucat.
Si kapten meneruskan maksudnya. Setelah selesai ketiga wanita itu diserahkannya kepada serdadunya.
Tanpa kecuali
Tak seorang wanita Jerman di kota kecil itu dapat menyelamatkan diri dan kehormatannya. Tua maupun muda. Tanpa kecuali.
Demikianlah nasib setiap desa atau kota Jerman bila diduduki tentara Rusia, tentara yang telah berbaris di atas tumpukan bangkai dari Stalingrad sampai Polandia dan kini di Jerman Timur.
Baca juga: Tapak Nazi Di Kaki Pangrango, Bukti Sebuah Kesia-siaan Peperangan
Selama tiga tahun mereka dicekok dengan semboyan pers dan radio “Bunuhlah setiap fasis Jerman, si agresor!”
Selamat tiga tahun penulis Rusia yang terkemuka, Ilya Ehrenburg menjanjikan kepada Tentara Merah tubuh wanita Jerman sebagai upah jerih payah mereka.
Kota Posen
25 Januari 1945, Kota Posen telah terkepung. Jenderal Matern, komandang “benteng” Posen (setiap kota penting dinyatakan benteng oleh Hitler) tidak percaya lagi akan kemenangan Jerman.
Namun ia mengeluarkan perintah harian untuk “membela Posen sampai titik darah penghabisa”, tapi tangannya gemetar ketika menandatangani perintah itu.
Akan tetapi di antara orang Jerman di Posen banyak yang masih “percaya”. Di antaranya itu 2.000 kadet, masih muda belia. Mereka tidak gentar. Mereka tidak goncang. Mereka bersedia menyalahkan siapapun juga – kecuali Hitler.
Kepercayaan ini pun masih hidup dalam diri komandan mereka. Mayor Jenderal Gonell. IA pun masih percaya bahwa bala bantuan akan segera datang.
Baca juga: Kehidupan Narapidana No. 7: Si Penjahat Perang Nazi di Penjara
Maka tentara Rusia yang jauh lebih banyak dan jauh lebih kuat itu masih membutuhkan empat minggu untuk merebut seluruh Posen, rumah demi rumah, jalan demi jalan – dmeikian kukuhnya pertahanan Gonell (selama pertempuran diangkat menjadi jenderal) dengan para kadetnya.
Ketika Gonell pun tidak melihat jalan lain, ia meminta ijin untuk menerobos kepungan dan mundur ke arah Barat. Ijin itu tak diberikan. Kini Jenderal Gonell memanggil bawahnnya yang masih dapat dihubunginya.
Mereka diberinya kebebasan untuk mencari keselamatan mereka ke arah Barat. Lalu ia pergi ke kamarnya, membentangkan sehelai bendera Jerman di lantai, berbaring di atasnya, lalu menembakkan pistolnya pada kepalanya sendiri.
Untuk menghindarkan diri dari penawanan Rusia dan jugetia dari penghukuman Hitler.
Ibu menderita
Petikan sebuah surat dari seorang puteri kepada ibunya, Januari 1945. “Gabi, anakku yang baru berusia 4 bulan telah mati. Matik ketika kami sedang mengungsi di musim dingin yang tak terbayangkan dinginnya ini. Di tengah jalan berkali-kali saya coba menyusui Gabi, akan tetapi hawa terlampau dingin. Ia tak juga minum. Ada juga ibu yang memaksakan itu. Akibatnya buah dada mereka menjadi beku.”
“Lalu saya coba dengan susu botol. Saya panaskan dulu di bawah selimut. Tapi susunya membeku juga. Rumah orang yang kami dekati tak dibuka. Padahal yang kami harapkan hanyalah memanaskan susu itu. Dan ketika ada kesempatan untuk mengencerkan susu itu, ternyata Gabi telah mati.
Berhari-hari lamanya saya menggendong tubuhnya yang telah dingin itu. Tapi akhirnya tak tertahan lagi. Saya bungkus lalu saya taruh di selokan yang penuh salju dalam-dalam, agar tak terlindas roda kereta nanti. Bukan saya saja berbuat demikian. Ribuan ibu lain....”
Tenggelam dalam air es
Sungai Oder merupakan batas keselamatan. Bila sudah berada di seberangnya, dianggap selamat. Ratusan kereta kuda dari berbagai macam dan bentuk penuh dengan pengungsi wanita, kanak-kanan dan orang sakit menuju sungai itu.
Sungai itu telah menjadi es. “Tapi tahankah es itu bila kereta kami melintasinya?” tanya seorang pengungsi wanita. Jawab seorang perwira, “Bisa, asal jarak antara kereta yang satu agak jauh dari yang berikut.”
Maka menyeberanglah konvoi itu. Mendadak datang pesawat terbang Rusia. Terbit panik. Kudanya pada kaget. Yang di depan mau mundur, yang di belakang mau maju. Kini es sungai itu tak tahan lagi. Ambruk dan tenggelamlah sekelompok kereta berikut penumpangnya.
Beberapa hari kemudian ketika tentara Merah mendekati sungai itu, lain lagi usaha para pengungsi itu. Kini sungai yang beku itu merupakan bahaya. Dicobanya menghancurkan es itu. Tapi begitu dikampak, begitu tumbuh, membeku lagi.
Kapal pengungsi
Kapal “Gustloff” yang berlabuh di Danzig akhir Januari siap untuk meninggalkan pelabuhan dengan 5.000 pengungsi. Suasana di pelabuhan penuh ketakutan dan korupsi. Karcis kapal dicatutkan secara mahal.
Hanya wanita boleh mengungsi dengan anak-anak kecil. Tapi mereka menyelundupkan suami dan putera mereka dalam kopor atau dalam pakaian wanita.
Pada jam 9 malam setelah tiga jam berlayar, terdengarlah suara dentuman yang terasa di seluruh kapal. Kena torpedo Rusia. Dalam panik semua berlari-larian ke kapal sekoci. Anak kecil dan yang sakit mati terinjak. Angin menderu-deru.
Jeritan ibu yang mencari anaknya yang hilang. Kapal makin miring. Laut es menelan ribuan pengungsi itu.
September
Lain lagi pemandangan di pelabuhan Pillau. Hanya para ibu dengan anak, atau para ayah dengan anak boleh mengungsi. Maka setelah para ibu itu tiba di geladak kapal dengan anak mereka, mereka melemparkan anak itu kepada sanak saudara yang menunggu di pinggir dermaga.
Baca juga: Tentang Tiga Orang Indonesia di Kamp Konsentrasi Nazi di Mauthausen
Kadang-kadang anak orok yang dilemparkan demikian jatuh di air antara kapal dan dermaga. Adakalanya jatuh di tengah orang banyak dan mati terinjak. Atau dirampas oleh orang lain untuk boleh turut mengungsi.
Pomerania
Pomoerania jatuh di tangan Rusia diakhir Februari. Inilah penuturan seorang istri dokter, nyonya Mackow – satu dari ratusan ribu penduduk sipil yang tidak terburu melintasi sungai Oder.
“Orang Rusia tiba di desa kami 1 Maret. Mengerikan. Banyak para suami yang hendak melindungi istri dan anak perempuan mereka, dibunuh. Setiap wanita dari yang tua sampai yang berusia 12 tahun menjadi korban.
Semua dari kami, tanpa kecuali satupun mengalami hinaan itu. Tanpa kecuali seorang guru muda bersembunyi di hutan tapi ditemukan juga. Serdadu Rusia mencemarkan dia berganti-ganti di jalan raya. Ia tiba di desa kami, sambil merangkak penuh lumpur dan kotoran – hampir tak dapat dikenali lagi.
Breslau, 4 Mei
Akhir Maret marsekal Konev mengancam akan menghancurkan Breslau bila tak menyerah. Ancaman ini tak dihiraukan komandan Breslau, jenderal Niehoff. Meriam dan bom pesawat udara menghalau penduduk ke dalam lubang perlindungan. Breslau menjadi lautan api.
Baca juga: Di Mana Stalin Sewaktu Nazi Menyerang Rusia?
Para ibu dengan bendera putih menuntut penyerahan kepada pemimpin partai Nazi setempat. Mereka ditangkap oleh kepala distrik Hanke. Pada tanggal 4 Mei tiga dominee dengan seorang pastor meminta audiensi pada jenderal Niehoff dan mendesak agar ia menyerahkan kota. Niehoff ingin tapi terikat pada kepala distrik Hanke.
Tanggal 5 Mei diketahuilah bahwa Hitler telah mati. Malamnya Hanke meninggalkan Breslau dengan pesawat terbang. Keesokan paginya jenderal Niehoff menyerahkan kota kepada tentara Rusia.
Segera pemboman dan tembakan meriam berhenti. Tapi kini datang penderitaan macam lain. Pembunuhan dan perkosaan, hingga menyebabkan banyak orang Jerman bertanya kepada diri sendiri, “apakah hidup itu tidak lebih manis selama hari-hari pengepungan daripada kini..”
Harapan saya satu-satunya
Hans Gliewe berusia 16 tahun ketika ia dengan ibunya dan adiknya mengungsi di Pomerania. Di tengah jalan ia bertemu dengan seorang pemuda 17 tahun anggota pasukan SS yang sangat fanatik. Tangan kirinya tak lain daripada sepotong daging tak berbentuk. Inilah ceritanya.
“Semua pemuda sebaya dengan aku telah menjadi anggota pasukan SS. Tapi itu semua sudah lewat. Ibu ayahku telah dipukul mati oleh orang Rusia karena keanggotaan SS-ku. Kini tangan kiriku lenyap. Tapi tangan kananku masih cukup baik untuk memegang pistol...
Baca juga: Simon Wiesenthal Si Pemburu Pasukan SS: Tiada Maaf Bagi Nazi
Harapanku satu-satunya ialah bahwa peperangan ini cukup lama hingga aku dapat membalas.”
Entah mana yang lebih mengerikan; penderitaan yang telah lampau, atau penderitaan yang masih diidam-idamkan oleh anak muda itu.
Ucapannya itu dalam tahun 1945. Waktu itu ia 17 tahun. Kini, kalau masih hidup, usianya 35 tahun.
Pada usia itu, Hitler dalam tahun 1924 sedang giat membangun partainya, partai Nazi yang dijadikan alat untuk merebut seluruh kekuasana di Jerman dan kemudian untuk menyerang Polandia dalam tahun 1939 dan dua tahun kemudian Soviet Rusia.
(Ditulis oleh Juergen Thowald, disarikan oleh Auwong Peng Koen. Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi September 1963)