Begitulah seorang saksi mata yang ikut dalam keseluruhan proses eksekusi itu menceritakan peristiwa itu kepada Intisari.
(Baca juga: Jangan Ditiru! Frustrasi Dikhianati Pacar, Gadis Cantik Ini Melelang Keperawanannya)
Menulis puisi
Agaknya hal itu pulalah yang bakal dijalani oleh enam tersangka terpidana mati tadi. Mereka adalah Ayodhya Prasad Chaubey, warga India yang terkena kasus narkoba.
Lima lainnya tersangkut kasus pembunuhan, yaitu Suryadi Swabuana alias Dodi bin Sukarno, Sumiarsih, Djais Adi Prayitno, Sugeng, dan Jurit bin Abdullah.
Sementara di berbagai penjara di Tanah Air sederetan terpidana mati lainnya menunggu dengan waswas turunnya keputusan grasi yang masih ada di tangan presiden. Sebuah penantian yang pasti menyesakkan.
(Baca juga: Kesulitan Perbaiki Jet Tempur Kiriman Isreal, Para Teknisi TNI AU Terpaksa Gunakan Kepala Kerbau)
“Kalau memang harus mati, saya pasrah,” ujar Merri Utami (29) yang ditangkap di Bandara Soekarno Hatta karena kedapatan membawa 1,1 kg heroin yang disembunyikan di dalam tas yang dibawanya dari Nepal (Kompas 7/2/02). Ibu dua anak asal Solo ini lantas mengisi hari-harinya di penjara dengan menulis puisi.
Berdasar ketentuan, terhitung setelah 30 hari diterimanya keppres tersebut oleh kejaksaan negeri eksekusi harus dilakukan. Tata caranya berpatokan pada UU no. 2/Pnps/1964 yakni eksekusi dengan cara ditembak sampai mati tidak di muka umum, dengan cara sesederhana mungkin.
Eksekusi di hadapan regu tembak memang merupakan satu-satunya pilihan bagi terpidana mati di Indonesia. Berbeda dengan Amerika yang sudah menjalankan hukuman mati sejak tahun 1888.
Di sana terpidana disodori lima pilihan cara eksekusi. Yaitu suntikan, listrik, kamar gas, gantung, dan di hadapan regu tembak.
(Baca juga: Centang Biru WhatsApp Dimatikan, Begini Cara Mudah Tahu Pesan Kita Telah Dibaca)
Penulis | : | Ade Sulaeman |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR