Advertorial

Detik-detik Mengerikan di Ujung Ajal: Tahap demi Tahap saat Suatu Hukuman Mati Dilakukan

Ade Sulaeman

Editor

Intisari-Online.com –Terlepas dari soal keadilan, proses kematian pada hukuman mati memang terkadang menimbulkan kengerian dan kepiluan.

Oleh karena itu, di AS terpidana bisa memilih cara kematiannya.

Sebuah artikel berjudulHukuman Mati: Kengerian di Ujung AjalkaryaG. Sujayanto yang pernah dimuat di majalah Intisari edisi April 2003 ini mencoba merangkum sejarah hukuman mati, berikut kengerian-kengerian yang menyelimutinya.

--

(Baca juga: Inilah yang Akan Terjadi Jika Rutin Makan 6 Siung Bawang Putih Panggang Setiap Hari )

Waktu menunjuk pukul 04.30. Suasana gelap dan sunyi masih menyergap kota Pamekasan di awal Januari 1980. Namun, ketegangan sudah terasa di dalam bui kota itu.

Para petugas tengah sigap menggelandang seorang pesakitan ke luar kota untuk dihadapkan ke depan regu tembak. Bobby, begitulah nama yang sengaja disamarkan.

Ia diikat pada dua buah tiang yang di tengahnya diberi celah selebar 10 cm. Tepat di belakang celah tiang itu ditumpuk karung-karung pasir. Dua bola matanya sudah ditutup kain merah. Sementara kepalanya diselubungi dengan kantung.

Pada telapak kaki diletakkan sebilah papan. Dedaunan kelor sengaja disebarkan sebagai penawar seandainya sang terhukum menggunakan jimat.

(Baca juga: Tanpa Operasi Plastik, Beginilah Transformasi Menakjubkan Seorang Wanita Hingga Bikin Pangling)

Regu tembak yang terdiri atas 12 orang tamtama dan seorang bintara pun sudah menempati posisinya. Jarak yang memisahkan mereka 6 m. Salah seorang dari mereka berdiri di belakang regu tembak sambil memegang lampu senter untuk menerangi terhukum. Tak jauh dari mereka, berdiri dokter, dan petugas penjara.

Komandan regu tembak berdiri agak ke samping dengan memegang sebilah pedang. Dari tempatnya, sang komandan memberi aba-aba siap tembak dengan ayunan sebilah pedang. Dor …. dor… dor! Berondongan senapan menyalak di pagi buta.

Kepala Bobby langsung menunduk. Suasana kembali sepi. Dokter yang sudah disiapkan memeriksa si terpidana mati. Bobby pun dinyatakan telah meninggal.

Begitulah seorang saksi mata yang ikut dalam keseluruhan proses eksekusi itu menceritakan peristiwa itu kepadaIntisari.

(Baca juga: Jangan Ditiru! Frustrasi Dikhianati Pacar, Gadis Cantik Ini Melelang Keperawanannya)

Menulis puisi

Agaknya hal itu pulalah yang bakal dijalani oleh enam tersangka terpidana mati tadi. Mereka adalah Ayodhya Prasad Chaubey, warga India yang terkena kasus narkoba.

Lima lainnya tersangkut kasus pembunuhan, yaitu Suryadi Swabuana alias Dodi bin Sukarno, Sumiarsih, Djais Adi Prayitno, Sugeng, dan Jurit bin Abdullah.

Sementara di berbagai penjara di Tanah Air sederetan terpidana mati lainnya menunggu dengan waswas turunnya keputusan grasi yang masih ada di tangan presiden. Sebuah penantian yang pasti menyesakkan.

(Baca juga: Kesulitan Perbaiki Jet Tempur Kiriman Isreal, Para Teknisi TNI AU Terpaksa Gunakan Kepala Kerbau)

“Kalau memang harus mati, saya pasrah,” ujar Merri Utami (29) yang ditangkap di Bandara Soekarno Hatta karena kedapatan membawa 1,1 kg heroin yang disembunyikan di dalam tas yang dibawanya dari Nepal (Kompas 7/2/02). Ibu dua anak asal Solo ini lantas mengisi hari-harinya di penjara dengan menulis puisi.

Berdasar ketentuan, terhitung setelah 30 hari diterimanya keppres tersebut oleh kejaksaan negeri eksekusi harus dilakukan. Tata caranya berpatokan pada UU no. 2/Pnps/1964 yakni eksekusi dengan cara ditembak sampai mati tidak di muka umum, dengan cara sesederhana mungkin.

Eksekusi di hadapan regu tembak memang merupakan satu-satunya pilihan bagi terpidana mati di Indonesia. Berbeda dengan Amerika yang sudah menjalankan hukuman mati sejak tahun 1888.

Di sana terpidana disodori lima pilihan cara eksekusi. Yaitu suntikan, listrik, kamar gas, gantung, dan di hadapan regu tembak.

(Baca juga: Centang Biru WhatsApp Dimatikan, Begini Cara Mudah Tahu Pesan Kita Telah Dibaca)

Dari lima cara itu, suntikan menjadi salah satu yang difavoritkan. Delapan belas negara bagian dan otoritas pemerintahan federal menggunakan suntikan sebagai satu-satunya cara eksekusi.

Delapan belas negara bagian lainnya juga menggunakan suntikan maut sebagai salah satu cara utama eksekusi, tetapi menawarkan cara lain sesuai yang dikehendaki terpidana.

Data yang dihimpun sejak 1976 sampai Juni 2002 menunjukkan, 617 dari 780 eksekusi atau 79%-nya memilih mati dengan cara disuntik.

Tiga kombinasi obat

Sesuai ketentuan, hukuman mati dengan cara ini dilakukan dengan menyuntikkan cairan yang merupakan kombinasi tiga obat. Pertama,sodium thiopentalatausodium pentothal, obat bius tidur yang membuat terpidana tak sadarkan diri.

Lantas disusul denganpancuronium bromide, yang melumpuhkan diafragma dan paru-paru. Ketiga,potassium chlorideyang membikin jantung berhenti berdetak.

Pada saat eksekusi, terpidana dibawa ke ruangan khusus; ditidurkan, serta diikat pada bagian kaki dan pinggang. Sebuah alat dipasang di badan untuk memonitor jantung yang disambungkan dengan pencetak yang ada di luar kamar.

Ketika isyarat diberikan, 5 gsodium pentothaldalam 20 cc larutan disuntikkan lewat lengan. Lalu diikuti oleh 50 ccpancuronium bromide, larutan garam, dan terakhir 50 ccpotassium chloride.

Kelihatannya mudah. Namun, banyak hal tak terduga bisa terjadi. Dalam beberapa kasus pembuluh darah sukar didapat atau peralatan tidak pas menembus pembuluh darah.

Untuk mengurangi penderitaan banyak negara bagian mengizinkan pemberianthorazinesebagai obat penenang dalam suntikan.

Selain suntikan, hukuman mati dengan kursi listrik juga banyak dipilih. Terpidana diikat pada kursi listrik yang terbuat dari kayu oak yang diletakkan di atas bantalan karet tipis dan dibaut pada ubin cor.

Pangkaun, leher, lengan, dan lengan bawah terhukum diikat dengan tali kulit. Gelang kaki sampai betis diikat dengan tali sepatu berspons tempat elektrode dipasang.

Wajah terdakwa disembunyikan dengan tutup kepala yang tersusun atas dua lapis logam dan kulit. Bagian logam dibikin seperti saringan kawat tempat elektrode dipasang. Spons basah ditempatkan antara elektrode dan kulit kepala.

Eksekusi dijalankan dalam tiga tahap. Pertama dengan mengalirkan listrik berkekuatan 2.300 V (9,5 A) selama delapan detik, dilanjutkan 1.000 V (4 A) selama 22 detik, dan diakhiri dengan gelontoran arus 2.300 V (9,5 A) dalam delapan detik.

Ketika satu tahapan itu dinyatakan selesai, tombol utama dilepas. Bila terpidana belum juga meninggal, maka tahapan itu diulang sekali lagi.

Wajah berubah bentuk

Dibandingkan dengan hukuman suntikan, kursi listrik memunculkan aroma kekerasan, menimbulkan rasa sakit, dan penghinaan yang mendalam pada para korban.

Begitulah yang digambarkan oleh William Brennan, Jr., salah satu hakim pada Mahkamah Agung AS, dan para saksi yang sering menyaksikan eksekusi itu.

Ketika arus mulai mengalir ke tubuh terpidana, para pesakitan mengalami kengerian luar biasa. Mereka berusaha melompat, meronta, dan melawan dengan sepenuh kekuatan. Tangan menjadi merah, lantas berubah menjadi putih.

Anggota badan, jari jemari tangan, kaki, dan wajah berubah bentuk. Bola mata sering melotot. Mereka juga sering buang air besar dan kecil, muntah darah, serta mengeluarkan air liur.

Sementara itu, penggunaan kamar gas sebagai proses eksekusi agaknya terinspirasi oleh penggunaan gas racun pada Perang Dunia I. Negara Bagian Nevada menjadi negara bagian pertama yang mengadopsi cara ini di tahun 1924.

Penggunaan kamar gas tampaknya lebih bisa diterima dibandingkan dengan bentuk-bentuk eksekusi yang lain. Alasannya, tidak meninggalkan kekerasan dan cacat pada tubuh.

Hukuman ini dijalankan pada sebuah kamar gas yang kedap udara. Terpidana diikat di bagian leher, pinggang, tangan, dan pergelangan kaki, dan menggunakan masker.

Di bawah kursi terdapat tabung logam berisi sianida. Kaleng-kaleng logam berisi larutan asam sulfur ditempatkan di bawah tabung.

Ada tiga eksekutor yang masing-masing memegang satu tombol. Ketika tiga tombol itu serentak ditekan, penutup tabung yang berisi sianida akan membuka dan jatuh ke dalam larutan asam sulfur yang ada di bawahnya. Reaksi ini memunculkan gas yang mematikan.

Dalam beberapa detik terpidana menjadi tidak sadar bila ia menghirup napas dalam-dalam. Tetapi jika ia menahan napas, kematian bisa tertunda lebih lama.

Dalam proses ini terpidana umumnya mengalami kekejangan hebat. Sebuah monitor yang memantau kerja jantung dipasang di ruang kontrol.

Bila pengawas menyatakan terpidana telah meninggal, amonia dipompakan ke dalam kamar untuk menetralkan gas.Exhaust fanlantas memindahkan asap gas itu ke dua buah tabung berisi air untuk dinetralkan.

Proses ini memerlukan waktu 30 menit sejak kematian berlangsung. Kematian umumnya terjadi dalam 6 – 18 menit sejak gas dimasukkan.

Gantung lebih cepat

Pada hukuman gantung mula-mula tali gantungan disiapkan lengkap dengan talinya. Panjang tali gantungan diukur menurut bobot badan, umur, serta besar tubuh korban.

Biasanya antara 1,5 – 2 m. Di bagian bawah tiang gantungan atau alasnya, yang dibuat lebih tinggi dari lantai, terdapat papan yang bisa membuka ke bawah dengan tiba-tiba.

Menjelang eksekusi, ujung tali dilingkarkan ke leher korban dengan kuat, tapi tidak mencekik, dan simpul besarnya terletak pada sudut dagu.

Pada keadaan ini, panjang tali jauh melebihi jarak antara leher dengan pangkal tali di atas, sehingga korban tidak dalam posisi tergantung.

Begitu eksekusi dilaksanakan, alas akan membuka secara cepat. Korban meluncur ke bawah dan terhenti secara tiba-tiba akibat entakan tali yang telah teregang.

Menurut Dr. Djaja Surya Atmadja padaIntisariApril 1990, entakan yang kerasnya sudah diperhitungkan itu akan membuat korban meninggal seketika akibat patahnya tulang leher dan putusnya sumsum tulang belakang.

Soalnya, sumsum tulang belakang merupakan penghubung otak sebagai pusat koordinasi seluruh aktivitas tubuh dengan tubuh yang diaturnya. Seluruh saraf kita melewati jalur tunggal ini, termasuk saraf pengatur denyut jantung dan pernapasan.

Jika jalur ini putus, maka hilang juga koordinasi otak, sehingga jantung, dan paru-paru akan terhenti.

Patahnya tulang leher biasanya terjadi antara ruas ke-2 dan 3 atau ke-3 dan 4. Kadang-kadang pembuluh nadi leher dalam (karotis interna) akan terobek melintang dan bagian rawan gondok di leher pun bisa patah.

Dengan demikian, kematian pada korban hukuman gantung biasanya akan lebih cepat dan relatif tanpa penderitaan jika dibandingkan dengan gantung diri.

Bagitulah, hukuman mati terasa kejam dan memilukan. Tapi itu pasti tidak terpikirkan tatkala mereka melakukan kejahatan.

(Baca juga: Kecanduan Seks dari Kecil Membuat Wanita Ini Hampir Bunuh Diri, Lalu Sebuah Jalan Mengubah Segalanya)

Artikel Terkait