Wajah terdakwa disembunyikan dengan tutup kepala yang tersusun atas dua lapis logam dan kulit. Bagian logam dibikin seperti saringan kawat tempat elektrode dipasang. Spons basah ditempatkan antara elektrode dan kulit kepala.
Eksekusi dijalankan dalam tiga tahap. Pertama dengan mengalirkan listrik berkekuatan 2.300 V (9,5 A) selama delapan detik, dilanjutkan 1.000 V (4 A) selama 22 detik, dan diakhiri dengan gelontoran arus 2.300 V (9,5 A) dalam delapan detik.
Ketika satu tahapan itu dinyatakan selesai, tombol utama dilepas. Bila terpidana belum juga meninggal, maka tahapan itu diulang sekali lagi.
Wajah berubah bentuk
Dibandingkan dengan hukuman suntikan, kursi listrik memunculkan aroma kekerasan, menimbulkan rasa sakit, dan penghinaan yang mendalam pada para korban.
Begitulah yang digambarkan oleh William Brennan, Jr., salah satu hakim pada Mahkamah Agung AS, dan para saksi yang sering menyaksikan eksekusi itu.
Ketika arus mulai mengalir ke tubuh terpidana, para pesakitan mengalami kengerian luar biasa. Mereka berusaha melompat, meronta, dan melawan dengan sepenuh kekuatan. Tangan menjadi merah, lantas berubah menjadi putih.
Anggota badan, jari jemari tangan, kaki, dan wajah berubah bentuk. Bola mata sering melotot. Mereka juga sering buang air besar dan kecil, muntah darah, serta mengeluarkan air liur.
Sementara itu, penggunaan kamar gas sebagai proses eksekusi agaknya terinspirasi oleh penggunaan gas racun pada Perang Dunia I. Negara Bagian Nevada menjadi negara bagian pertama yang mengadopsi cara ini di tahun 1924.
Penggunaan kamar gas tampaknya lebih bisa diterima dibandingkan dengan bentuk-bentuk eksekusi yang lain. Alasannya, tidak meninggalkan kekerasan dan cacat pada tubuh.
Hukuman ini dijalankan pada sebuah kamar gas yang kedap udara. Terpidana diikat di bagian leher, pinggang, tangan, dan pergelangan kaki, dan menggunakan masker.
Di bawah kursi terdapat tabung logam berisi sianida. Kaleng-kaleng logam berisi larutan asam sulfur ditempatkan di bawah tabung.
Penulis | : | Ade Sulaeman |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR