Bapak saya mendidik anak-anaknya secara keras. Saya, anak perempuan satu-satunya, tak beliau bedakan dengan saudara-saudara saya yang seluruhnya laki-laki (tujuh bersaudara, Red).
Bapak, kalau gusar, tak segan menghajar saya dengan kopelrim (ikat pinggang tentara, Red).
Saya masih ingat ketika itu berumur 7 atau 8 tahun. Suatu hari, saya mengkorek-korek tong sampah, mencari bekas bungkus rokok untuk dibuat mainan.
Baca Juga : Meski Jadi Putri Raja Keraton Yogykarta, GKR Hayu Enggan Dipanggil Gusti dan Lebih Nyaman Dipanggil 'Mbak'
Bapak, pulang dari kantor mengendarai jip, memergoki saya. Beliau langsung mengangkat saya ke kendaraan itu dan dengan marah menyatakan rasa malunya menyaksikan anak perempuannya mengaduk-aduk tong sampah.
Sampai rumah, kopelrim menyengat-nyengat tubuh saya.
Setelah saya besar dan mengenang kejadian tersebut, pendapat kritis saya mempertanyakan tindakan Bapak itu.
Bukankah biasa anak-anak mengkorek tong sampah untuk mencari sesuatu?
Baca Juga : Lukisan Awal Keraton Ngayogyakarta dari Zaman VOC: Siapakah Sosok dalam Lukisan Itu?
Bukankah anak-anak tak mungkin berpikir perbuatan itu memalukan atau tidak? Apakah tidak ada cara lain untuk memberitahu anak tentang apa yang boleh dan tidak?
Namun saya tahu di balik caranya mendidik yang keras itu, Bapak juga berusaha menanamkan kepada anak-anaknya untuk berani menghadapi konsekuensi apa pun.
Misalnya, beliau mengatakan. "Kalau kamu bisa menyetir mobil, kamu pun harus bisa pasang ban sendiri."
Source | : | Tabloid Nova |
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR