Ia menjelaskan bahwa si buruh tambang pernah mencoba bunuh diri, sehingga lehernya luka. Setelah sembuh, lehernya teleng. Inilah yang mengkhawafirkan Wade. la takut ada pengaruhnya pada penggantungan. la mengatur agar orang itu dijemput lebih dulu, kemudian barulah Kirky dan Harry menjemput yang kedua. Malam itu seperti biasa kami tidur pukul 22.00. Bagi saya waktu lewat lama sekali dan sangat menggelisahkan. Apalagi bagi terpidana.
Pukul 07.30 saya dibangunkan. Kami berdandan dan sarapan, sebelum pergi ke kamar eksekusi. Wade berpesan agar kami jangan berisik, sebab para terpidana ada di sel masing-masing. Ternyata gang di muka pintu sel sudah ditutup dengan keset supaya langkah kami tidak kedengaran. Lubang untuk mengintip pun sudah ditutup. Kami membenahi kantung pasir dan pintu jebakan. Wade menyiapkan pengungkil dan mengukur kembali tali yang mulur masing-masing setengah inci. Harry dan saya naik tangga untuk menyesuaikan rantai. Setelah Wade puas dengan tinggi kalung tali dsb., kami meninggalkan sel itu diam-diam.
Lima puluh lima menit menunggu di kamar kami merupakan saat yang paling menyiksa. Kami diam saja. Tidak ada yang bernafsu untuk berbicara. Suasana di seluruh penjara hening. Perut saya meronta-ronta karena senewen. Bagaimana kalau terpidana melawan? Apakah saya bisa cukup cekatan?
Anehnya makin lama Wade tampaknya makin percaya diri. Padahal sipir saja pucat. Saya ingat kembali kata-kata Hughes, "Kalau kau masuk ke sel, perlihatkan wajah tegas tapi jangan brutal. Jangan membuat ia panik secara tidak perlu."
Lutut lemas
08.55 pintu terbuka. Seorang sipir masuk. "Sudah saatnya," kata Wade sambil bangkit. "Kalian siap?" Saya mengangguk. Kirky memandang saya dan tersenyum. "Lakukanlah baik-baik, Nak," katanya. Saya mengikuti Wade ke luar ruangan. Di depannya berjalan sipir, sedangkan Kirky dan Harry membuntuti saya. Dekat sel terpidana kami betemu dengan rombongan kepala penjara, yang berjalan di belakang kami.
Tiba-tiba keheningan dipecahkan oleh suara orang bernyanyi dari dalam sel, suara yang serak dan gemetar. Saya hampir tidak percaya pada telinga saya. Setelah itu terdengar suara yang lebih mantap ikut menyanyi, "Biarlah aku terbang ke haribaanMu."
Diiringi suara nyanyian itu kami tiba di muka pintu sel. Selama 30 detik kami menunggu terpidana nomor dua bernyanyi bersama pendetanya. Di muka pintu no. 1 Wade berdiri bersama saya, Kirky dan Harry di muka pintu no. 2, kepala penjara dan rombongannya di muka pintu kamar eksekusi.
Jarum jam berdetik mendekati pukul 09.00. Lalu kepala penjara mengangguk seraya memberi isyarat dengan tangan. Wade maju ke pintu, saya mengikuti di belakangnya. Sel tampak penuh, karena ada pendeta yang wajahnya pucat dan dua sipir. Begitu saya masuk, saya lihat terpidana yang membelakangi kami bangkit. Wade menggamit tangan kirinya dan saya menggamit yang kanan.
la tidak melawan. Semua berjalan dengan cepat sekali. Wade melangkahi ambang pintu kuning. Karena terpidana diam saja, saya menaruh tangan di pundaknya. Begitu didorong dengan lembut, ia segera mengikuti Wade. Sipir mengapitnya di kiri dan kanan. Di tengah pintu jebakan Wade menstopnya. Saya segera menarik pengikat dari saku, berjongkok dan mengikat pergelangan kakinya. Ketika saya siap, saya lihat Wade sudah selesai menyelubungi kepala dan memasang tali leher.
Saya menoleh ke sebelah kami. Kosong! Ke mana Kirky dan Harry? Ada kesulitan apa? Pasti tidak ada perkelahian, sebab tidak terdengar apa-apa. Kami menunggu tanpa bersuara. Rasanya lamaaaa sekali. Gantungan kembar mesti selesai dalam waktu 15 menit, tetapi sudah 45 menit terpidana yang satu berdiri, belum juga muncul yang lain.
Tahu-tahu muncul sipir di pintu. Sementara itu terpidana yang sedang menunggu tampak bergoyang, seperti akan semaput. Celaka! Saat itu Kirky melesat masuk diikuti oleh terpidana dan Harry. Wajah Kirky tampak merah dan ia senewen. Wade segera maju dan menstop terpidana no. 2 di tanda kapur.
Penulis | : | Moh Habib Asyhad |
Editor | : | Moh Habib Asyhad |
KOMENTAR