Ternyata mitranya, Hassan Izzat, licik. Anwar jadi muak. Ia meninggalkan bisnis untuk menjadi tentara lagi. Saat itu teman-temannya sudah menjadi letkol. Anwar harus mulai dari kapten, walaupun tak lama kemudian ia menjadi letkol.
Ia akrab lagi dengan Gamal Abdel Nasser dan Abdel Hakim Amer. Karena Anwar diamat-amati terus, Nasser memintanya agar jangan kentara ikut politik dulu. Pada masa itu organisasi mereka, Perwira Merdeka, sudah kuat.
Anwar tidak setuju revolusi berbentuk pembunuhan politik secara besar-besaran. Rencananya mereka akan mengulingkan raja tahun 1955. Namun, bulan Juli 1952 wartawan teman Nasser memberi bisikan bahwa raja akan mengangkat Mayjen Hussein Sirry Amer menjadi menteri peperangan.
"Habislah kami kalau ia menjadi menteri, sebab ia tahu betul para pemimpin Perwira Merdeka. Jadi kami mengajukan revolusi pada bulan Juli itu juga. Mimpi saya selama bertahun-tahun menjadi kenyataan. Menjelang dinihari tanggal 23 Juli saya mengumumkan di radio kelahiran Revolusi Mesir. Raja Farouk bersedia meninggalkan Mesir."
"Tapi kami belum berpengalaman dan belum siap memerintah. Tak lama kemudian Persaudaraan Muslim menyatakan perang terhadap Dewan Pimpinan Revolusioner. Saya merasa sedih. Saya pun tidak cocok dengan Jenderal Naguib yang kini memimpin Mesir."
Hampir saja Anwar mengajak Jihan pindah ke Libanon. Sebelum keburu pergi, Nasser menjadi presiden berkat plebisit tahun 1956. Dewan Pimpinan Revolusioner yang tadinya dicintai, lalu dibenci, kini dibubarkan. Sementara itu baik AS maupun US menolak memberi senjata kepada Mesir.
PM Chou En-lai dari RRC membantu Mesir dalam Konferensi Asia-Afrika yang dilaksanakan di Bandung, sehingga US mau juga mempersenjatai Mesir. "Nasser secara emosional memutuskan hubungan dengan AS, Eropa Barat, Arab dan Iran, sehingga teman kami tinggal Rusia."
Nasser, pemimpin yang penuh kharisma itu, meninggal pada bulan September 1970. Sadat yang sudah menjadi wapres, terpilih menggantikannya cuma sekadar pemimpin transisi, sebab selama ini ia tidak terlalu menonjol. Mereka keliru.
Orang yang tidak banyak bicara ini bisa bertindak dengan tegas. Ia lama membuat keputusan, tapi kalau sudah diputuskan, tidak bisa diubah lagi.
"Saya katakan, mungkin saya tidak bisa bertindak sama seperti Nasser, karena kami manusia yang berbeda. Tapi prinsip kami pada dasamya sama. Saya tahu saya bakal menghadapi banyak tantangan, tetapi saya yakin saya sanggup. Saya tidak mau dipengaruhi reaksi-reaksi emosional dalam membentuk kebijakan."
Mendapat Hadiah Nobel
Ia pergi meminta peluru kendai kepada sekutunya waktu itu, Uni Soviet. Boleh, kata US, asal permisi dulu kalau mau digunakan. Sadat menolak.
Hubungan Mesir dan US merenggang dan tahun 1972 para ahli Sovyet diusir ke luar dari Mesir. Datanglah Menlu Kissinger dari AS, meminta Presiden Anwar Sadat bertemu dengan para pejabat AS.
"Ketika pecah perang dengan Israel bulan Oktober 1973, Amerika menjadi perantara kami dengan Israel. AS juga memegang peranan penting dalam pembukaan kembali Terusan Suez yang sudah belasan tahun tertutup bagi pelayaran internasional," tulis Sadat.
"Mesir ingin terus bersahabat dengan AS selama negara itu tidak membantu ekspansi dan agresi Israel. Kami tidak mengharapkan AS melemparkan Israel ke laut. Kami juga tidak peduli AS memberi bantuan kepada Israel, selama Israel puas dalam batas-batas negara Israel. Kami orang Mesir ingin perdamaian."
"Saya tahu, kalau perdamaian dengan Israel tidak diadakan, kami akan terus hidup dalam lingkaran setan seperti selama 30 tahun ini. Kesengsaraan akibat perang harus diakhiri. Kami menghadapi situasi yang rumit, tetapi saya harus berani mengambil keputusan."
Keputusan itu berupa: pergi ke Yerusalem dan mengadakan perdamaian dengan Israel. Presiden Suriah Hafez al-Assad mengira Sadat bergurau ketika ia menyatakan niatnya itu. Raja Khaled dari Arab Saudi semula mengira Sadat paling-paling tidak akan melaksanakan apa yang dikatakannya.
Tapi ternyata Anwar Sadat betul-betul pergi ke Yerusalem pada tanggal 19 November 1977 untuk berpelukan dengan bekas musuh-musuhnya. Dunia Barat menganggapnya pahlawan perdamaian. la terpilih menjadi Man of the Year 1977 dan bersama PM Israel Menachem Begin, menerima Hadiah Nobel untuk Perdamaian.
Dunia Arab sebaliknya, menganggap Anwar Sadat sebagai pengkhianat. Pada hari Anwar Sadat berangkat ke Yerusalem, Raja Khaled dari Arab Saudi menyatakan sebenarnya ia malu untuk mengakui, bahwa ia mendoakan agar pesawat yang ditumpangi Sadat jatuh.
Ia tidak mau lagi berurusan dengan Sadat. Delapan belas negara Arab menjatuhkan sanksi ekonomi dan politik atas Kairo. Anwar Sadat dianggap lebih daripada sekadar mengkhianati teman-teman seperjuangan dalam menghadapi musuh bebuyutan mereka, Israel.
Dimakamkan di tempat pembunuhan
Di dalam negeri, Sadat pun repot menghadapi oposisi. Keadaan ekonomi di Mesir jauh daripada baik dan untuk pertama kalinya golongan Muslim bentrok dengan Kristen Koptik. Dalam usaha meredakan keadaan, Sadat memenjarakan ratusan tokoh terkemuka di Mesir.
Lalu tibalah tanggal 6 Oktober 1981. Ketika Sadat dengan bangga menengadahkan kepalanya ke langit, menyaksikan kemahiran para pilot Mirage-nya, beberapa anggota tentara memberondongkan senapan ke tribun kehormatan.
Pembunuh Sadat, Letnan Khaled Al Islambouli, termasuk kelompok fundamentalis. Bukan cuma sekali ini percobaan pembunuhan atas Sadat dilakukan, tetapi hari itu mereka berhasil. Sedikitnya sebelas crang ikut terbunuh.
"Walaupun saya tahu bahwa ia akan mati karena mengadakan perdamaian dengan Israel, saya akan mendukung keputusannya 100%," cerita Jihan.
"Damai dengan Israel adalah satu-satunya jalan yang terbuka bagi Mesir. Perang tidak akan menyelesaikan masalah. Amerika tidak pernah akan memungkinkan kami menguasai Israel yang berpenduduk 2 juta, walaupun umpamanya kami sanggup tiba di Tel Aviv.
Israel pun tidak mungkin menduduki Mesir yang berpenduduk 42 juta. Empat kali perang dengan Israel menyebabkan Mesir berada dalam kesulitan keuangan. Namun, karena ancaman dari Israel, Anwar terpaksa mengeluarkan sepertiga anggaran belanja kami untuk pertahanan, padahal bisa dipergunakan untuk kesejahteraan rakyat.
Belum lagi ribuan tentara Mesir gugur. Mesti ada seseorang yang berani berbuat sesuatu untuk mengakhiri lingkaran setan ini," tulis Jihan dalam autobiografinya.
Presiden Hosni Mubarak tidak pernah mau menonton parade militer seperti tanggal 6 Oktober 1981 itu. Mungkin ia tidak mau sejarah terulang. Di stadion itu sekarang terletak makam Anwar Sadar, tepat di tempat ia dibunuh. Jihan yang meminta suaminya dimakamkan di sana. (HI)
(Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Oktober 1991)
Penulis | : | Moh Habib Asyhad |
Editor | : | Moh Habib Asyhad |
KOMENTAR