Intisari-Online.com – Tepat sepuluh tahun yang lalu Presiden Anwar Sadat dibunuh oleh anggota tentaranya sendiri.
Sebagian orang sangat menyayangkan kematiannya. Sebagian lagi menganggap itu ganjaran yang pantas baginya. Anwar Sadat dari Mesir memang tokoh yang kontroversial.
“Begitu suami saya menyatakan bersedia pergi ke Yerusalem untuk berdamai dengan Israel, saya tahu ia akan dibunuh. Namun, saya tidak tahu, kapan dan di mana peristiwa itu akan terjadi. Saya juga tidak tahu, siapa yang akan membunuhnya."
Demikianlah tulis Jihan Sadat dalam buku riwayat hidupnya yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Myra Sidharta. Sejak bulan November 1977 itu, Jihan Sadat selalu khawatir. Anehnya, rasa waswas itu hilang pada tanggal 6 Oktober 1981.
Hari itu di Stadion Medinet Nasr, di utara Kairo, diadakan parade militer untuk memperingati keberhasilan Mesir merebut Sinai dari Israel tahun 1973. Presiden Anwar Sadat duduk di barisan depan tribun kehormatan, berdampingan dengan Wapres Hosni Mubarak.
Jihan Sadat dan Suzanne Mubarak, duduk di balkon tertutup kaca di bagian atas.
Tahu-tahu truk tentara keluar dari parade kendaraan artileri. Tiga orang tentara berlari ke arah Sadat dan tiba-tiba saja Jihan yang sedang tertawa-tawa mendengar ledakan granat. Gelegarnya tertelan raungan jet di udara. Asap mengepul. Jihan menoleh ke arah suaminya.
Anwar Sadat sedang berdiri menunjuk ke arah pengawalnya. Itulah terakhir kalinya Jihan melihat suaminya dalam keadaan hidup.
Jihan dipaksa tiarap oleh pengawal pribadinya.
Teriakan-teriakan dan peluru menembusi dinding kaca penutup balkon. Orang-orang panik dan cucu-cucu Jihan menangis ketakutan.
Jihan yang yakin suaminya pasti selamat berusaha menenangkan beberapa istri pejabat. Ketika keadaan sudah lebih tenang, Jihan mencari Anwar yang tidak kelihatan di tempat semula.
Penulis | : | Moh Habib Asyhad |
Editor | : | Moh Habib Asyhad |
KOMENTAR