Advertorial

Anwar Sadat yang Dipuja, Dibenci, dan Dibunuh Tentaranya Sendiri

Moh Habib Asyhad

Editor

Intisari-Online.com – Tepat sepuluh tahun yang lalu Presiden Anwar Sadat dibunuh oleh anggota tentaranya sendiri.

Sebagian orang sangat menyayangkan kematiannya. Sebagian lagi menganggap itu ganjaran yang pantas baginya. Anwar Sadat dari Mesir memang tokoh yang kontroversial.

“Begitu suami saya menyatakan bersedia pergi ke Yerusalem untuk berdamai dengan Israel, saya tahu ia akan dibunuh. Namun, saya tidak tahu, kapan dan di mana peristiwa itu akan terjadi. Saya juga tidak tahu, siapa yang akan membunuhnya."

Demikianlah tulis Jihan Sadat dalam buku riwayat hidupnya yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Myra Sidharta. Sejak bulan November 1977 itu, Jihan Sadat selalu khawatir. Anehnya, rasa waswas itu hilang pada tanggal 6 Oktober 1981.

Hari itu di Stadion Medinet Nasr, di utara Kairo, diadakan parade militer untuk memperingati keberhasilan Mesir merebut Sinai dari Israel tahun 1973. Presiden Anwar Sadat duduk di barisan depan tribun kehormatan, berdampingan dengan Wapres Hosni Mubarak.

Jihan Sadat dan Suzanne Mubarak, duduk di balkon tertutup kaca di bagian atas.

Tahu-tahu truk tentara keluar dari parade kendaraan artileri. Tiga orang tentara berlari ke arah Sadat dan tiba-tiba saja Jihan yang sedang tertawa-tawa mendengar ledakan granat. Gelegarnya tertelan raungan jet di udara. Asap mengepul. Jihan menoleh ke arah suaminya.

Anwar Sadat sedang berdiri menunjuk ke arah pengawalnya. Itulah terakhir kalinya Jihan melihat suaminya dalam keadaan hidup.

Jihan dipaksa tiarap oleh pengawal pribadinya.

Teriakan-teriakan dan peluru menembusi dinding kaca penutup balkon. Orang-orang panik dan cucu-cucu Jihan menangis ketakutan.

Jihan yang yakin suaminya pasti selamat berusaha menenangkan beberapa istri pejabat. Ketika keadaan sudah lebih tenang, Jihan mencari Anwar yang tidak kelihatan di tempat semula.

"Beliau baik-baik saja, Bu," kata seorang pengawal presiden yang seragam putihnya bernoda darah. "Cuma luka di lengan. Tadi saya membawanya ke helikopter. Sekarang beliau berada di RS Maadi."

Jihan mengumpulkan cucu-cucunya, lalu menyusul dengan helikopter ke rumah sakit. Putri-putrinya yang tidak ikut ke stadion sudah berada di sana bersama suami mereka.

Begitu pula Wapres Hosni Mubarak, yang tangannya dibalut karena terserempet peluru, dan para menteri.

Di ruang tunggu suasana hening mencekam. Jihan menanti dan menanti, tetapi tidak ada dokter yang menemuinya untuk memberi tahu keadaan suaminya. Setengah jam lewat dan Jihan pun insaf apa yang terjadi.

la menarik napas dalam-dalam untuk menabahkan hatinya, berdiri seraya menoleh ke arah Hosni Mubarak. "Tampaknya Sadat sudah meninggal," katanya. "Sekarang giliran Anda memimpin negara ini. Mohon jaga Mesir baik-baik, Pak Mubarak."

Anwar Sadat tewas ditembus lima peluru Kalashnikov: dua di dada, satu di leher, satu di tulang tengkuk dan satu lagi di lutut.

Putra Ny. Dua Sisi

Anwar Sadat lahir di Mit Abul-Kum, sebuah desa ± 100 km dari Kairo. Di sana tidak ada listrik, tidak ada leding. Ayahnya, Mohammed el-Sadat yang berambut pirang dan kulitnya putih itu adalah seorang kerani di angkatan bersenjata. Karena bekerja di Sudan, ia jarang pulang.

Ibu Anwar dikenal sebagai Sit el-Barein atau Ny. Dua Sisi, karena ia keturunan Mesir campur Sudan. Dari ibunya inilah Anwar mewarisi kulit berwarna kehitam-hitaman.

Mereka tinggal di rumah nenek Anwar, yang bertindak sebagai kepala keluarga. Di rumah itu, dalam sebuah ruang besar, terhampar kasur pada setiap sudutnya. Kasur di sudut yang satu untuk nenek Anwar. Di sudut yang satu lagi untuk ayah Anwar kalau pulang dari Sudan.

Kasur di sudut ketiga untuk Ny. Dua Sisi dan anaknya-anaknya, yang terdiri atas tiga putra dan seorang putri. Sudut keempat adalah tempat Amina, madu Ny. Dua Sisi yang memiliki sembilan anak.

Nenek Anwar sadar betul manfaat pendidikan, sehingga cucu-cucunya disekolahkan ke sekolah Inggris di Toukh. Anwar belum genap tujuh tahun, ketika ayahnya memboyong seisi rumah ke Kubri al-Qubbah, dekat Kairo, karena ia dipindahkan ke sana.

Ketika masuk sekolah di Kairo inilah Anwar tahu bahwa ia lahir pada tanggal 25 Desember 1918. Kodro sangat berbeda dengan Mit Abul-Kum. "Kami tidak sanggup membeli roti di toko seperti orang Kairo," tulis Sadat dalam autobiografinya, In Search of Identity. "Kami membuat roti sendiri seperti di kampung."

Di sekolah menengah Fuad I, Anwar menyadari kaya dan miskin. Uang sakunya cuma cukup untuk membeli secangkir teh susu. Minum teh susu saja ia sudah serasa berada di puncak dunia, padahal teman-temannya bisa membeli pelbagai macam coklat dan permen di kantin.

"Pakaian mereka banyak dan bagus-bagus, sehingga mereka kelihatan rapi. Pakaian saya cuma satu dan sudah tua. Tapi seingat saya, tidak pernah saya iri, sakit hati atau rendah diri."

Di Kairolah untuk pertama kalinya ia menonton bioskop. Begitu melihat kereta api di layar melaju ke arahnya, ia mengelak terbirit-birit. Ia merasa heran sekali orang lain tenang-tenang saja duduk di kursi mereka.

Kalau di desa ia termasuk anak pandai, di sini berulang-ulang ia hampir tidak naik kelas.

Suatu ketika Mahatma Gandhi, tokoh pejuang kemerdekaan tanpa kekerasan itu, datang dari India. Begitu terkesannya Anwar pada pria bercawat yang lemah lembut itu, sehingga ia ikut-ikutan bercawat dan menenun kain di atap rumahnya, padahal saat itu sedang musim dingin.

Ayahnya repot membujuknya agar turun, sebab takut Anwar masuk angin.

Diserobot menteri peperangan

Ketika Anwar lulus sekolah menengah, Akademi Militer yang tadinya hanya terbuka untuk anak ningrat, kini memenerima juga anak-anak kelas menengah. Jabatan ayah Anwar sebagai karyawan administrasi Depkes sebenarnya memenuhi syarat. Cuma saja mereka memerlukan surat referensi dari seorang bey atau pasha, yaitu ningrat yang berpengaruh.

Ayah Anwar bersusah payah mendekati seorang pasha, tetapi ia tidak diladeni. (Ketika Anwar sudah menjadi ketua parlemen, pasha itu datang memohon-mohon bantuan Anwar).

Surat referensi malah diperoleh dari seorang dokter Inggris yang pernah menjadi atasan ayah Anwar di angkatan bersenjata. Karena dekingnya bukan putra mahkota atau bangsawan berkuasa, nama Anwar tercantum paling bawah pada daftar 52 calon yang diterima.

Tahu-tahu menteri peperangan meminta enam kerabatnya untuk diterima. Terpaksa enam nama terbawah ditendang ke luar. Untung saja dokter Inggris yang menjadi deking Anwar dan seorang pengajar di akademi itu tidak mau mengerti. Anwar diterima juga walaupun 26 hari terlambat.

Menikah dengan kembang kampung

Ketika masih menjadi kadet, Anwar sering mudik menemui teman-teman akrabnya di kampung. Kakak salah seorang temannya adalah kembang kampung bernama Ekbal. Putri kepala kampung itu lebih tua dari Anwar dan naksir berat kepadanya.

"Saya dinikahkan pada usia yang masih muda sekali dengan salah seorang sanak kami di kampung. Pemikahan yang tidak terelakkan," tulis Anwar. Namun, menurut Camelia Sadat, yaitu putri Sadat dari Ekbal, pemikahan orang tuanya terjadi setelah pacaran segala pada tahun 1940, yaitu dua tahun setelah Anwar Sadat lulus dari Akademi Militer.

Keluarga Ekbal kaya menurut ukuran desa, jauh lebih kaya dari keluarga Anwar, sampai paman-paman Ekbal menghina, "Anwar sih cuma bermodal seragam doang!"

Ekbal pun dibawa tinggal bersama mertua. Ny. Dua Sisi sangat menyayangi dan bahkan menghormati menantunya, tetapi Amina (istri lain ayah Anwar) dan istri kakak Anwar tidak cocok dengan Ekbal, sehingga ia merasa lebih senang tinggal di kampung.

Sejak masih bujangan, Anwar sering berkumpul dengan rekan-rekannya di mess perwira, untuk merencanakan kemerdekaan Mesir.

"Gamal Abdel Nasser (Bapak Mesir Merdeka - Red.) pun datang ke pertemuan-pertemuan di kamar saya di Mangqabad. Kemudian saya dipindahkan ke dekat Kairo dan sempat berhubungan dengan perwira pelbagai korps.

Pertemuan diadakan di rumah perkumpulan para perwira, di rumah ayah saya dan rumah-rumah rekan lain ataupun di warung-warung kopi. Organisasi rahasia para perwira didirikan tahun 1939. “Saya menjadi ketuanya," tulis Sadat.

Menurut Camelia Sadat dalam riwayat hidupnya, My Father and I, "Mulai musim semi 1941 ayah sering menjamu tamu di rumah. Ibu tidak diharapkan untuk menemani, sebab ibu terbatas sekali pergaulannya. Konon para tamu itu dari organisasi yang ingin menggulingkan Raja Farouk yang korup."

Anwar berkembang terus. la sangat senang membaca, bahkan belajar seni di British Institute sampai mendapat gelar BA dari London University.

Keluar-masuk penjara

"Tak lama setelah ayah menjemput ibu yang baru melahirkan kakak saya, Rogaya, di kampung, ayah ditangkap dengan tuduhan ikut gerakan kemerdekaan. Mulai musim dingin 1942 - 1945 ayah ditahan tanpa diadili. Ayah juga dipecat dari ketentaraan. Ketika ayah dipindahkan ke Penjara Maqusah di Menia yang jaraknya lebih dari 100 km dari Kairo, ibu bertambah sulit berkunjung setiap bulan karena tidak mempunyai uang. Ibu menjuali perhiasannya untuk meringankan penderitaan ayah di penjara dan mengirimkan masakan kegemaran ayah, yaitu burung dara isi."

"Kunjungan ke penjara sangat menyenangkan bagi ibu, karena selain bisa bertemu ayah, ia juga bisa keluar dari rumah kakek yang penuh pertengkaran."

"Musim gugur 1943 ayah dipindahkan ke luar Kota Kairo. Said, paman saya dari pihak ibu, membantunya kabur. Pada hari ayah kabur itu, ibu yang sedang sibuk di rumah mertua tiba-tiba melihat ayah muncul. 'Aku cuma ingin mandi dan berganti pakaian,' kata ayah. Malam itu ayah tidur di rumah dan sembilan bulan kemudian lahirlah kakak saya yang kedua, Rawia."

"Ayah kabur hanya karena ingin melaporkan kekejaman di penjara kepada raja. Setelah itu ia masuk penjara lagi. Paman Said membantu ayah kabur lagi, karena ayah mogok makan."

Sekarang kita dengarkan versi Sadat sendiri.

"Musim panas 1941 saya sudah merencanakan revolusi terhadap Inggris bersama Aziz al-Masri yang mempunyai hubungan dengan Jerman. Tahun 1942, ketika Jenderal Rommel dari Jerman mengancam kedudukan Inggris di Mesir, Masri tertangkap dan saya yang diketahui berhubungan baik dengannya ditangkap juga. Nasser menggantikan saya menjadi ketua perkumpulan rahasia kami."

"Perwira-perwira teman saya mengumpulkan uang 10 pon sebulan untuk ongkos hidup keluarga saya. Semasa di penjara ini saya menyelesaikan pembacaan Al-Our'an tiap sepuluh hari sekali."

Menjadi kuli

"Di dalam penjara saya menemukan sebuah karangan dalam Reader's Digest, yang menyelamatkan saya dari krisis mental. Inti tulisan itu ialah: Manusia bisa mengalami malapetaka kapan saja dalam hidupnya, sampai merasa menemukan jalan buntu. Sebetulnya selalu ada lebih dari satu jalan yang bisa ditembus.

Yang perlu kita lakukan ialah menemukan dan melihat dengan jelas sumber kesulitan. Kemudian kita harus mengandalkan iman untuk menerima dan memikul beban itu. Setelah itu kita harus mengerahkan kekuatan untuk keluar dari kesulitan dan akibat kesulitan tersebut.

Setiap masalah selalu ada pemecahannya dan Tuhan yang menciptakan kita adalah Tuhan yang Maha Baik, Maha Murah, Maha Pengasih, bukan Tuhan yang menakutkan dan penghukum."

Setelah dua kali kabur dari Penjara Zaytun, ia memelihara janggut dan memakai nama samaran Haji Muhammad. Ia menjadi kuli yang membongkar dan memuat barang ke truk. Uangnya dikirimkan untuk menghidupi keluarganya.

Kemudian Anwar menjadi pengangkut batu dari kapal-kapal yang berlabuh di S. Nil. Makannya cuma sekali sehari. Ia pindah ke Abu Kebir, menggali kanal dan kemudian ke Sannur untuk bekerja di pertambangan batu pualam. Iroriisnya, pualam itu dipakai untuk membangun istana raja.

Tiga tahun setelah hidup tanpa rumah, keadaan darurat perang dicabut dan Anwar pun bisa pulang. Didapatinya putri keduanya, Rawia, meninggal pada usia sepuluh bulan karena kekurangan cairan.

Anwar tidak jera untuk ikut pergerakan lagi dan bulan Januari 1948 ia dijebloskan lagi selama 18 bulan ke penjara gara-gara terlibat pembunuhan atas Amin. Osman, orang dekat Mustofa el-Nahas, yang dianggap boneka Inggris.

Sekali ini ia tidak boleh membaca, menulis ataupun mendengarkan radio. Bahkan lampu pun ia tidak diberi.

"Di sel 54 siang-malam saya sendirian. Saya belajar mengenal diri saya sendiri. Yang sangat merisaukan saya ialah pernikahan saya. Sudah lama saya merasa tidak cocok dengan istri saya, tetapi walaupun terus-menerus risau tidak pernah terpikir oleh saya untuk menceraikannya. Saya tidak mengharapkan istri saya luwes dalam perjamuan-perjamuan, sebab saya tidak pernah suka pada pesta-pesta. Sampai saat ini saya tidak bisa berdansa. Tapi istri perwira sedikitnya dituntut mampu bergaul dengan segala lapisan masyarakat."

"Saya melihat keadaan istri saya dari pelbagai sudut dan mencoba menempatkan diri di tempatnya. Apakah saya harus meninggalkan dia yang bertahun-tahun menunggu saya? Tapi kalau tidak, kami berdua menderita. Saya betul-betul risau. Saya tahu, saya harus memecahkan hal itu sebelum terlambat. Satu setengah tahun kemudian saya mengambil keputusan. Saya mencegah dia mengunjungi saya lagi di penjara. Ia mengira ini ulah kakak atau ayah saya. Ketika saya dibebaskan, saya katakan, sayalah yang melarang dia menjenguk. Kami tidak mungkin hidup bersama lagi. Perceraian menyusul dan saya merasa lega."

Jihan

Sekarang kita dengar cerita Camelia Sadat. "Ketika ayah dijebloskan kembali ke penjara pada bulan Januari 1946, ibu menjuali tanah warisan dari keluarganya sepotong demi sepotong untuk membayar pengacara. Dengan setia ibu menjenguk ayah, walaupun perutnya sudah gendut lagi. Ayah masih di belakang terali ketika putri ketiga mereka lahir, yang diberi nama Rawia juga, seperti putri kedua mereka yang meninggal."

"Saat itu Hassan Izzat, teman ayah, dipenjarakan di tempat yang sama. Ayah berkenalan dengan sepupu istrinya, Jihan Raouf, yang beribukan wanita campuran Inggris, Mesir dan Turki. Jihan dan ayah saling tertarik."

"Musim panas 1948 ayaha memberi tahu ibu bahwa ia ingin menikah dengan Jihan. Ibu tetap akan dipertahankannya sebagai istri. Ibu tentu marah sekali. Namun, ia terpaksa menyerah, asal ayah tetap miliknya. Ibu membawa anak-anaknya pindah ke apartemen, sebab sejak Desember ayah menjauhkan diri dari rumah. Bulan Maret 1949 datanglah seorang pria ke apartemen ibu, untuk menyerahkan surat talak. Bulan Mei tahun itu juga ayah menikah dengan Jihan, putri seorang karyawan bank di Kairo. Umur jihan 16, ayah 30."

"Lama kemudian, ketika bertemu ayah, ibu bertanya mengapa ayah menceraikan dia, padahal ia sudah membiarkan ayah mengambil istri kedua. Ayah menjawab, orang tua Jihan tidak mengizinkan putrinya menikah dengan pria beristri." Orang tua Jihan memang menentang keras niat putrinya untuk menikah dengan Sadat.

"Saya lahir pada tanggal 10 Juli 1949, setelah ibu diceraikan oleh ayah. Ny. Dua Sisi, bekas mertua ibu, dan teman-teman ibu mendampingi ibu yang sulit melahirkan, seraya berharap agar anak yang lahir laki-laki. Kalau lahir anak laki-laki, perceraian ayah dan ibu berarti batal. Tapi yang keluar malah saya, anak perempuan yang kulitnya hitam seperti ayah."

Tahun 1972, sepulang dari menunaikan rukun Islam kelima, ibu berkata hatinya sudah lapang sekarang. "Aku ".... pergi ke Mekah untuk memberi tahu Allah bahwa aku sudah memaafkan Anwar dan Jihan. Aku berdoa agar Allah memaafkan mereka juga."

Namun, Anwar Sadat tidak bisa dikatakan menelantarkan bekas istri dan anak-anaknya. Sebagian besar penghasilan Sadat habis untuk membiayai ketiga putrinya. Jihan terpaksa menerima konsekuensi ini.

Anak-anak itu kemudian tinggal bersama Jihan dan sangat disayangi oleh orang tua Jihan, yang rumahnya di belakang rumah Sadat. Sebagai anak-anak dari rumah tangga yang terpecah, perkembangan mereka tidak selalu mulus.

Berlainan dengan Ekbal, Jihan senang menuntut ilmu. Saat ini ia mengajar di perguruan tinggi AS.

Dari Jihan, Anwar mendapat tiga putri lagi dan seorang putra, Gamal, yang kemudian menjadi sarjana kimia.

Menggulingkan raja

Sebelum menikah dengan Jihan, tetapi setelah keluar dari penjara, Anwar menjadi wartawan Al-Hilal. Saat itu namanya sudah terkenal sebagai pejuang kemerdekaan. Setelah menikah dengan Jihan, ia mencoba berwiraswasta.

Ternyata mitranya, Hassan Izzat, licik. Anwar jadi muak. Ia meninggalkan bisnis untuk menjadi tentara lagi. Saat itu teman-temannya sudah menjadi letkol. Anwar harus mulai dari kapten, walaupun tak lama kemudian ia menjadi letkol.

Ia akrab lagi dengan Gamal Abdel Nasser dan Abdel Hakim Amer. Karena Anwar diamat-amati terus, Nasser memintanya agar jangan kentara ikut politik dulu. Pada masa itu organisasi mereka, Perwira Merdeka, sudah kuat.

Anwar tidak setuju revolusi berbentuk pembunuhan politik secara besar-besaran. Rencananya mereka akan mengulingkan raja tahun 1955. Namun, bulan Juli 1952 wartawan teman Nasser memberi bisikan bahwa raja akan mengangkat Mayjen Hussein Sirry Amer menjadi menteri peperangan.

"Habislah kami kalau ia menjadi menteri, sebab ia tahu betul para pemimpin Perwira Merdeka. Jadi kami mengajukan revolusi pada bulan Juli itu juga. Mimpi saya selama bertahun-tahun menjadi kenyataan. Menjelang dinihari tanggal 23 Juli saya mengumumkan di radio kelahiran Revolusi Mesir. Raja Farouk bersedia meninggalkan Mesir."

"Tapi kami belum berpengalaman dan belum siap memerintah. Tak lama kemudian Persaudaraan Muslim menyatakan perang terhadap Dewan Pimpinan Revolusioner. Saya merasa sedih. Saya pun tidak cocok dengan Jenderal Naguib yang kini memimpin Mesir."

Hampir saja Anwar mengajak Jihan pindah ke Libanon. Sebelum keburu pergi, Nasser menjadi presiden berkat plebisit tahun 1956. Dewan Pimpinan Revolusioner yang tadinya dicintai, lalu dibenci, kini dibubarkan. Sementara itu baik AS maupun US menolak memberi senjata kepada Mesir.

PM Chou En-lai dari RRC membantu Mesir dalam Konferensi Asia-Afrika yang dilaksanakan di Bandung, sehingga US mau juga mempersenjatai Mesir. "Nasser secara emosional memutuskan hubungan dengan AS, Eropa Barat, Arab dan Iran, sehingga teman kami tinggal Rusia."

Nasser, pemimpin yang penuh kharisma itu, meninggal pada bulan September 1970. Sadat yang sudah menjadi wapres, terpilih menggantikannya cuma sekadar pemimpin transisi, sebab selama ini ia tidak terlalu menonjol. Mereka keliru.

Orang yang tidak banyak bicara ini bisa bertindak dengan tegas. Ia lama membuat keputusan, tapi kalau sudah diputuskan, tidak bisa diubah lagi.

"Saya katakan, mungkin saya tidak bisa bertindak sama seperti Nasser, karena kami manusia yang berbeda. Tapi prinsip kami pada dasamya sama. Saya tahu saya bakal menghadapi banyak tantangan, tetapi saya yakin saya sanggup. Saya tidak mau dipengaruhi reaksi-reaksi emosional dalam membentuk kebijakan."

Mendapat Hadiah Nobel

Ia pergi meminta peluru kendai kepada sekutunya waktu itu, Uni Soviet. Boleh, kata US, asal permisi dulu kalau mau digunakan. Sadat menolak.

Hubungan Mesir dan US merenggang dan tahun 1972 para ahli Sovyet diusir ke luar dari Mesir. Datanglah Menlu Kissinger dari AS, meminta Presiden Anwar Sadat bertemu dengan para pejabat AS.

"Ketika pecah perang dengan Israel bulan Oktober 1973, Amerika menjadi perantara kami dengan Israel. AS juga memegang peranan penting dalam pembukaan kembali Terusan Suez yang sudah belasan tahun tertutup bagi pelayaran internasional," tulis Sadat.

"Mesir ingin terus bersahabat dengan AS selama negara itu tidak membantu ekspansi dan agresi Israel. Kami tidak mengharapkan AS melemparkan Israel ke laut. Kami juga tidak peduli AS memberi bantuan kepada Israel, selama Israel puas dalam batas-batas negara Israel. Kami orang Mesir ingin perdamaian."

"Saya tahu, kalau perdamaian dengan Israel tidak diadakan, kami akan terus hidup dalam lingkaran setan seperti selama 30 tahun ini. Kesengsaraan akibat perang harus diakhiri. Kami menghadapi situasi yang rumit, tetapi saya harus berani mengambil keputusan."

Keputusan itu berupa: pergi ke Yerusalem dan mengadakan perdamaian dengan Israel. Presiden Suriah Hafez al-Assad mengira Sadat bergurau ketika ia menyatakan niatnya itu. Raja Khaled dari Arab Saudi semula mengira Sadat paling-paling tidak akan melaksanakan apa yang dikatakannya.

Tapi ternyata Anwar Sadat betul-betul pergi ke Yerusalem pada tanggal 19 November 1977 untuk berpelukan dengan bekas musuh-musuhnya. Dunia Barat menganggapnya pahlawan perdamaian. la terpilih menjadi Man of the Year 1977 dan bersama PM Israel Menachem Begin, menerima Hadiah Nobel untuk Perdamaian.

Dunia Arab sebaliknya, menganggap Anwar Sadat sebagai pengkhianat. Pada hari Anwar Sadat berangkat ke Yerusalem, Raja Khaled dari Arab Saudi menyatakan sebenarnya ia malu untuk mengakui, bahwa ia mendoakan agar pesawat yang ditumpangi Sadat jatuh.

Ia tidak mau lagi berurusan dengan Sadat. Delapan belas negara Arab menjatuhkan sanksi ekonomi dan politik atas Kairo. Anwar Sadat dianggap lebih daripada sekadar mengkhianati teman-teman seperjuangan dalam menghadapi musuh bebuyutan mereka, Israel.

Dimakamkan di tempat pembunuhan

Di dalam negeri, Sadat pun repot menghadapi oposisi. Keadaan ekonomi di Mesir jauh daripada baik dan untuk pertama kalinya golongan Muslim bentrok dengan Kristen Koptik. Dalam usaha meredakan keadaan, Sadat memenjarakan ratusan tokoh terkemuka di Mesir.

Lalu tibalah tanggal 6 Oktober 1981. Ketika Sadat dengan bangga menengadahkan kepalanya ke langit, menyaksikan kemahiran para pilot Mirage-nya, beberapa anggota tentara memberondongkan senapan ke tribun kehormatan.

Pembunuh Sadat, Letnan Khaled Al Islambouli, termasuk kelompok fundamentalis. Bukan cuma sekali ini percobaan pembunuhan atas Sadat dilakukan, tetapi hari itu mereka berhasil. Sedikitnya sebelas crang ikut terbunuh.

"Walaupun saya tahu bahwa ia akan mati karena mengadakan perdamaian dengan Israel, saya akan mendukung keputusannya 100%," cerita Jihan.

"Damai dengan Israel adalah satu-satunya jalan yang terbuka bagi Mesir. Perang tidak akan menyelesaikan masalah. Amerika tidak pernah akan memungkinkan kami menguasai Israel yang berpenduduk 2 juta, walaupun umpamanya kami sanggup tiba di Tel Aviv.

Israel pun tidak mungkin menduduki Mesir yang berpenduduk 42 juta. Empat kali perang dengan Israel menyebabkan Mesir berada dalam kesulitan keuangan. Namun, karena ancaman dari Israel, Anwar terpaksa mengeluarkan sepertiga anggaran belanja kami untuk pertahanan, padahal bisa dipergunakan untuk kesejahteraan rakyat.

Belum lagi ribuan tentara Mesir gugur. Mesti ada seseorang yang berani berbuat sesuatu untuk mengakhiri lingkaran setan ini," tulis Jihan dalam autobiografinya.

Presiden Hosni Mubarak tidak pernah mau menonton parade militer seperti tanggal 6 Oktober 1981 itu. Mungkin ia tidak mau sejarah terulang. Di stadion itu sekarang terletak makam Anwar Sadar, tepat di tempat ia dibunuh. Jihan yang meminta suaminya dimakamkan di sana. (HI)

(Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Oktober 1991)

Artikel Terkait