Sedangkan motif semacam ragi genap, kemah, dan yang lebih ngepop lainnya termasuk kreasi modern.
Motif subahnala berupa bunga berkelopak tiga yang sedang mekar. Tiap ornamennya menggambarkan bagian-bagian dari jalan yang harus dilalui manusia dalam hidup menuju keutamaan.
Konon, subahnala jadi lambang adat raja dari Karangasem, Bali; yang pernah berkuasa di Lombok Tengah. Penamaannya didasari ucapan syukur dari seorang wanita penenun yang penat seusai menenun, "Subhanahu wataala".
Akibat pengaruh dialek Sasak Sukarara, sebutan itu berubah jadi subahnala (dibaca subahnale).
Jero (Ibu) Mursam berusia lebih dari 65 tahun; dialah pakar perancang motif tertua di Sukarara. Kemampuannya didapat secara turun-temurun. Motif yang selesai dirancang, kemudian dibagikan. Para perajin tinggal mencontoh dan menerapkan dalam tenunan.
Sampai sekarang, Jero Mursam masih merancang sekali-sekali. Sedangkan kegiatan menenun, masih jadi bagian hidupnya setiap hari, di rumah peninggalan almarhum suami, yang ditinggali bersama seorang putrinya yang sudah janda, serta seorang cucu wanita yang berusia 14 tahun.
Dibandingkan dengan songket biasa, ia lebih banyak menenun leang yang ditandai sekali pukulan berire seusai menyusun benang.
Sebagai perancang tertua, ia sangat berhak menenun leang, yang benangnya diambil dari kualitas paling sederhana, kemudian dicuci bersih dan diolesi nasi supaya kuat dan mudah dipilah.
Menurut adat, penenun leang haruslah orang yang sudah berkeluarga atau golongan tua sebagaimana Jero Mursam. Waktu pembuatannya pun harus dalam bulan-bulan tertentu: Ramadhan, Maulid, dan Rajab.
Bulan-bulan yang lain tidak diperkenankan - herannya - tanpa alasan. "Pokoknya tidak boleh," ujamya singkat.
Jero Mursam memang tak banyak bercerita tentang kegiatannya, termasuk harus capek-capek membuat kain warna putih, yang banyak terdapat di toko atau pasar. Ia hanya menunjukkan, bahwa pemilihan jenis benang paling sederhana dimaksudkan supaya mudah membusuk dan menyatu dengan tanah, bersamaan dengan membusuknya jasad.
"Saya sudah membuat ini untuk banyak orang. Anak-anak saya yang meninggal maupun orang lain. Barangkali yang sekarang ini untuk saya sendiri, Nak," tambahnya sambil tekun bekerja.
Matanya masih cermat membetulkan benang yang salah jepit, tangannya masih kuat menggenggam berire halus berwama coklat tua. (Yan/Rul/SL)
(Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Desember 1991)
(Baca juga: )
Penulis | : | Ade Sulaeman |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR