Jumlah sekian memang lebih kedl dibandingkan dengan penghasilan seorang buruh tani, misalnya, yang sehari mendapat Rp 1.000,00 plus sekali makan.
Tapi gadis-gadis lebih memilih jadi perajin, profesi bergengsi dan cocok untuk wanita – ketimbang harus berkubang di lumpur dan kepanasan.
Masalahnya, di samping lahan persawahan yang minim, minat memburuh di sawah pun makin kecil. Bahkan ada satu dusun dengan hanya satu pemilik sawah. Warga yang lain hidup dari tenun dan bertani.
"Beberapa tahun lalu, pada bulan April semua sawah sudah selesai dipanen. Tapi sekarang belum, karena buruh tani berkurang," Supardi memberi ilustrasi.
Bagi Desa Sukarara, sektor industri tenun tampak semakin menjanjikan perbaikan kehidupan. Kalau KUD Karya Batur mencatat nilai penjualan bulanan hingga Desember 1989 Rp 3.275.800,00, pertengahan tahun 1990 meningkat 2 kali lipat.
Tahun ini ditargetkan kenaikan 50% dari total sales, meski Supardi dan rekan-rekannya optimistis mampu melampauinya.
Satu hal yang bukan mustahil akan menjadi kendala adalah pola kerja dan perangkat tradisional yang dipakai para perajin. Upaya peningkatan produktivitas yang diprakarsai pembina di koperasi sampai saat ini hanya baru sampai pada 2 produksi per orang per bulan.
Sangat jauh dibandingkan dengan produksi mesin, misalnya. Namun, Supardi menolak kemungkinan beralihnya ATBM ke mesin-mesin elektronik. "Turis-turis masih senang dengan tenun tradisional. Spesifikasi ini yang harus dipertahankan," katanya, meski sama dengan kita, ia tak tahu akan bertahan sampai kapan.
Yang pasti, songket Sukarara telah bergeser jauh dari makna asilnya. Kalau dulu jadi persembahan gadis-gadis kepada colon suaminya, sekarang telah jadi komoditas wisata.
Menyiapkan kain kafan diri sendiri
Di antara para penenun songket Sukarara, profesi perancang motif terbilang langka. Pendataan yang dilakukan tahun 1988, di Desa Sukarara hanya terdapat 18 orang. Yang punya tingkat kepakaran tinggi hanya 2 orang, sangat kontras dibandingkan dengan jumlah perajinnya yang lebih dari 1.000 orang.
Konon, penciptaan sebuah motif bukan cuma perlu inspirasi tingkat tinggi, topi juga jampi-jampi dan doa dalam kesakralan khas. Beberapa motif semisal wong menak (Arjuna), ulat naga dan subahnala terbilang motif warisan leluhur dan masih dianggap sakral.
Penulis | : | Ade Sulaeman |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR