Secara tidak sengaja, saya merasa tertolong. Saya terbawa untuk tidak membenci Soekarno sebab benci tidak ada gunanya.
Walaupun demikian, saya merasa tidak perlu memintakan maaf untuknya.
Agustus 1967, saya dan istri tiba di bandara Schiphol, Belanda. Saya tercengang karena ditunggu sekitar 30 wartawan.
Padahal, kedatangan saya itu hanya sebagai orang biasa yang ingin mengumpulkan data untuk keperluan pribadi.
Rupanya mereka ingin mendengar komentar dari orang yang belum lama dikeluarkan dari tahanan Soekarno, setelah Orde Lama digantikan Orde Baru.
Saya ditanyai perihal kemungkinan PKI berkuasa kembali dan kemungkinan Soekarno berkuasa kembali.
Menjelang akhir wawancara, ketika saya akan bangkit dari kursi, seorang wartawan yang sudah berumur, mendekati saya dan bertanya, "Meneer Roem, waarom haat U Soekarno niet?" (Bapak Roem, kenapa Anda tidak membenci Soekarno?) Saya tertegun.
(Baca juga: Misteri Janda Perawan Bung Karno)
"Siapa bilang saya tidak membenci Soekarno?" saya balik bertanya. "Saya ditahan empat tahun empat bulan tanpa diadili."
Wartawan itu tertawa. "Nou ja, Anda tadi menjawab pelbagai pertanyaan perihal Soekamo tanpa ada tanda-tanda Anda membencinya."
"Saya tidak mempunyai cukup waktu untuk membenci Soekarno," jawab saya.
Saya tidak bisa menjelaskan kepadanya bahwa hal ini disebabkan oleh falsafah seorang perempuan yang bijaksana. (Mohamad Roem, SH. – Intisari September 1972)
Penulis | : | Moh Habib Asyhad |
Editor | : | Moh Habib Asyhad |
KOMENTAR