Untuk mencapai Puskesmas, mereka harus berjalan kaki sekitar 2 km dan hanya dapat ditempuh dengan berjalan kaki saja melewati jalan setapak yang lumayan curam. Setelah itu baru ada jalan yang dapat dilewati dengan kendaraan.
Persoalannya bukan saja soal jarak, namun tingkat kesadaran masyarakat desa yang belum tinggi mengenai pentingnya pemeriksaan kehamilan dan melahirkan di Puskesmas.
“Banyak ibu yang enggan periksa kehamilan ke Puskesmas karena merasa malu perutnya dipegang oleh bidan atau dokter,” cerita Rohani.
Karena itu, banyak ibu hamil yang dulunya memilih melahirkan sendiri di rumah. Plasenta/ari-ari kemudian dipotong menggunakan cambile, pemotong yang dibuat dari bambu.
Tidak jarang, karena minimnya pengetahuan soal kelahiran, mengakibatkan ibu/bayi mengalami infeksi atau bahkan pendarahan yang kalau tidak langsung ditangani berakibat fatal.
Karena itulah ia setia mendampingi dan menemani para ibu hamil yang malu mengunjungi Puskesmas itu.
Termasuk ketika ada ibu hamil yang akan melahirkan, Rohani biasanya merelakan waktu dan tenaganya untuk mengantar ibu tersebut ke Puskesmas.
Karena medan yang sulit dan tidak ada kendaraan, suami Rohani yaitu Muso Dg Nai, beserta anak-anaknya membuatkan tandu darurat untuk mengangkut ibu hamil yang akan melahirkan itu.
Tandu dibuat sedemikian rupa (dua buah kursi plastik yang disatukan kemudian diikat dengan penopang bamboo), kalau-kalau bayi lahir ketika dalam perjalanan menuju Puskesmas. Sungguh perjuangan yang layak diapresiasi!
Sejak tahun 1993, berarti sudah lebih 20 tahun, Rohani mendedikasikan hidupnya menjadi sukarelawan dalam peningkatan kesehatan ibu dan anak di desanya.
Rohani berharap, apa yang dilakukannya bisa menjadi inspirasi bagi banyak orang untuk peduli terhadap kesehatan ibu hamil. Dengan begitu, angka kematian ibu-anak di negeri kita dapat berkurang.
Simak kisah lengkap dan mengharukan perjuangan Rohani Dg Tene di Intisari Edisi Cetak.
Penulis | : | Ade Sulaeman |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR