Intisari-Online.com—Jika satu pesawat mengalami kecelakaan, setidaknya 300-400 orang dapat tewas dalam peristiwa itu. Dan seluruh dunia akan menaruh perhatian terhadap peristiwa tersebut.
Sedangkan kejadian kematian ibu karena kehamilan, melahirkan, dan nifas mencapai 4.912 kasus di Indonesia pada 2016. Namun, kata Dr. Eni Gustina, MPH, Direktur Kesehatan Keluarga, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI), tidak banyak yang menaruh perhatian terhadap tingginya angka kematian para ibu itu.
Bukan berarti menyatakan peristiwa pesawat tidak penting, namun Eni menggambarkan betapa kurangnya perhatian banyak orang mengenai keselamatan ibu ketika hamil dan melahirkan.
Salah satu penyebab mengapa kasus kematian ibu begitu tinggi di negeri kita adalah masih belum meratanya fasilitas dan tenaga kesehatan di wilayah terpencil.
Kurangnya akses untuk periksa kehamilan dan melahirkan di pusat pelayanan kesehatan, membuat banyak ibu yang tidak menerima pelayanan maupun pertolongan medis.
(Baca juga: Sulitnya Menegakkan Kejujuran: Lapor Ada Pungli, eh 8 Pegawai Puskesmas Ini Justru Dimutasi)
Sembari menunggu penyediaan dan pemerataan fasilitas kesehatan di Indonesia, tampaknya kita bisa belajar dari seorang perempuan sederhana, namanya Rohani Dg Te’ne yang berasal dari Desa Pao, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan.
Baru-baru ini, GE Healthcare mengapresiasi peran perempuan dalam bidang kesehatan “Heroines of Health” terhadap 13 perempuan dari 11 negara di dunia. Salah satunya adalah Rohani yang berasal dari Indonesia, mewakili Asia Tenggara.
Apa yang dilakukan perempuan lulusan SMP ini? Sebenarnya sangat sederhana, namun dampaknya besar dan luar biasa.
Setiap kali ada ibu hamil di kampungnya yang terletak di pegunungan itu, ia akan mendampingi dan menemani mereka untuk mengunjungi puskesmas untuk memeriksakan kehamilan, bahkan hingga melahirkan.
Perjuangan Rohani patut diapresiasi, mengingat medan yang harus ditempuh menuju Puskesmas terdekat tidak mudah.
(Baca juga: Memilukan! Dokter dan Ambulan Tidak Ada di Puskesmas, Seorang Bayi Tewas saat Dilahirkan di Bagasi Mobil)
Untuk mencapai Puskesmas, mereka harus berjalan kaki sekitar 2 km dan hanya dapat ditempuh dengan berjalan kaki saja melewati jalan setapak yang lumayan curam. Setelah itu baru ada jalan yang dapat dilewati dengan kendaraan.
Persoalannya bukan saja soal jarak, namun tingkat kesadaran masyarakat desa yang belum tinggi mengenai pentingnya pemeriksaan kehamilan dan melahirkan di Puskesmas.
“Banyak ibu yang enggan periksa kehamilan ke Puskesmas karena merasa malu perutnya dipegang oleh bidan atau dokter,” cerita Rohani.
Karena itu, banyak ibu hamil yang dulunya memilih melahirkan sendiri di rumah. Plasenta/ari-ari kemudian dipotong menggunakan cambile, pemotong yang dibuat dari bambu.
Tidak jarang, karena minimnya pengetahuan soal kelahiran, mengakibatkan ibu/bayi mengalami infeksi atau bahkan pendarahan yang kalau tidak langsung ditangani berakibat fatal.
Karena itulah ia setia mendampingi dan menemani para ibu hamil yang malu mengunjungi Puskesmas itu.
Termasuk ketika ada ibu hamil yang akan melahirkan, Rohani biasanya merelakan waktu dan tenaganya untuk mengantar ibu tersebut ke Puskesmas.
Karena medan yang sulit dan tidak ada kendaraan, suami Rohani yaitu Muso Dg Nai, beserta anak-anaknya membuatkan tandu darurat untuk mengangkut ibu hamil yang akan melahirkan itu.
Tandu dibuat sedemikian rupa (dua buah kursi plastik yang disatukan kemudian diikat dengan penopang bamboo), kalau-kalau bayi lahir ketika dalam perjalanan menuju Puskesmas. Sungguh perjuangan yang layak diapresiasi!
Sejak tahun 1993, berarti sudah lebih 20 tahun, Rohani mendedikasikan hidupnya menjadi sukarelawan dalam peningkatan kesehatan ibu dan anak di desanya.
Rohani berharap, apa yang dilakukannya bisa menjadi inspirasi bagi banyak orang untuk peduli terhadap kesehatan ibu hamil. Dengan begitu, angka kematian ibu-anak di negeri kita dapat berkurang.
Simak kisah lengkap dan mengharukan perjuangan Rohani Dg Tene di Intisari Edisi Cetak.