Advertorial

Betapa Dahsyatnya Letusan Gunung Krakatau 1883 yang Menyebabkan Hujan Batu Apung Cukup Deras di Teluk Betung

Moh. Habib Asyhad
K. Tatik Wardayati
,
Moh. Habib Asyhad

Tim Redaksi

Letusan gunung Krakatau yang terjadi pada tahun 1883, sebetulnya tidak datang tiba-tiba, tetapi tidak ada orang yang mengira bahwa ledakan akan demikian hebat.
Letusan gunung Krakatau yang terjadi pada tahun 1883, sebetulnya tidak datang tiba-tiba, tetapi tidak ada orang yang mengira bahwa ledakan akan demikian hebat.

Intisari-Online.com – Sebetulnya letusan itu tidak datang tiba-tiba, tetapi tidak ada orang yang mengira bahwa ledakan akan demikian hebat.

Seratus tahun telah berlalu sejak ledakan paling hebat terjadi, tetapi ceritanya masih tetap asyik untuk dibaca.

Mari kita simak tulisan berikut ini ketika genap seratus tahun letusan Gunung Krakatau, Letusan Gunung Krakatau Lebih Hebat dari Bom Atom, yang dimuat di Majalah Intisari edisi Agustus 1983.

--

Anyer dilanda gelombang pasang pada Senin pagi, tanggal 27, sekitar pukul sepuluh pagi. Gelombang ini menyapu bersih pemukiman di tepi pantai itu, sehingga yang tinggal hanyalah benteng, penjara, kediaman patih dan wedana.

Dataran sekitar Anyer, yang di bclakang tempat itu lebarnya kurang lebih 1 km seakan-akan dicukur gundul; di dekat pantai bongkahan-bongkahan karang dilemparkan ke darat.

Baca Juga : Inilah Io, Satelit Planet Jupiter yang Memiliki Banyak Gunung Berapi

Juga Caringin yang berpenduduk padat hancur luluh; letaknya di dataran yang lebarnya sekitar 1.500 m, disusul oleh bukit-bukit yang tingginya antara 20 sampai 50 m, tempat sejumlah kecil penduduknya menyelamatkan diri.

Bukan hanya di darat, tetapi juga di laut lepas Krakatau menteror kapal-kapal yang kebetulan berlayar di dekatnya.

Penumpang kapal yang melayari Selat Sunda pada hari naas itu tidak dapat melupakan pengalaman dan ketakutan mereka selama hidupnya.

Kapal api Gouverneur Generaal Loudon, dengan nakhoda Lindeman, sebuah kapal Nederland-Indische Stoomvaartsmaatschappij (pendahulu KPM - Red.) berlayar dari Batavia ke Padang dan Aceh dengan menyinggahi Teluk Betung, Krui dan Bengkulu.

Kapal itu berangkat pada tanggal 26 Agustus pagi dari Jakarta. Seorang penumpang kapal itu mengisahkan pengalamannya sebagai berikut:

Baca Juga : Dibanding Letusan Gunung Tambora dan Gunung Krakatau, Letusan Gunung Berapi Ini Dianggap Lebih Dahsyat: Juga Bikin Ribut Masyarakat Internasional

Cuaca pagi itu sangat cerah. Siang harinya kami berlabuh di Anyer, sebuah pelabuhan kecil di pantai Banten. Beberapa ratus orang pekerja kasar naik dari pelabuhan ini.

Kapal kemudian melanjutkan pelayarannya ke arah Teluk Lampung, melewati Pulau Sangiang dan Tanjung Tua.

Di sebelah kiri kapal kami lihat Pulau Rakata dari kejauhan, yang kami singgahi dua bulan yang lalu.

Waktu Gunung Krakatau mulai bekerja bulan Mei yang lalu setelah dua abad beristirahat, perusahaan pemilik kapal Loudon mengadakan suatu tour pariwisata bagi penduduk Batavia.

Dengan membayar dua puluh lima gulden kita bisa berlayar ke Pulau Krakatau. Pada waktu itu masih mungkin untuk mendarat ke pulau, bahkan mendaki kawahnya yang mengeluarkan uap putih.

Sekarang gunung berapi itu nampaknya jauh lebih gawat. Asap hitam pekat membubung dari kawahnya ke langit biru dan hujan abu halus turun di geladak kapal.

Baca Juga : Awas! Selain Merapi, Inilah 4 Gunung Berapi Paling Aktif di Pulau Jawa

Pada pukul 7 petang kami berlabuh di Teluk Betung. Hari amat cepat menggelap, sedang laut agaknya makin berombak, hujan abunya makin deras.

Kapal Loudon memberi isyarat ke darat agar dikirimkan sekoci bagi penumpang yang akan mendarat, tetapi tak ada jawaban apa-apa.

Lalu kapten memerintahkan agar diturunkan sekoci kapal, tetapi gelombang besar tak memungkinkan untuk mencapai darat, sehingga sekoci itu harus kembali lagi.

Lampu pelabuhan menyala seperti biasa, tetapi tampaknya ada kejadian-kejadian luar biasa di Teluk Betung.

Sekali-sekali terlihat tanda bahaya dari kapal-kapal lain dan terdengar suara kentongan bertalu.

Penerangan kota dipadamkan. Sementara itu hujan abu kini berubah menjadi hujan batu apung yang deras.

Menara suar patah seperti batang korek api

Dengan rasa kurang enak kami melewatkan malam itu. Air laut makin liar dan ombak-ombak besar mendera lambung kapal tanpa hentinya.

Ketika fajar menyingsing kami melihat bahwa Teluk Betung menderita kerusakan cukup parah oleh gelombang pasang.

Baca Juga : Fotografer Pemberani Abadikan Danau Lava Gunung Berapi Aktif yang Penuh Risiko

Kapal api pemerintah Barouw, terlepas dari jangkarnya dan dihempaskan ke darat. Gudang-gudang dan gedung-gedung pelabuhan lain rusak.

Tetapi tak tampak ada tanda-tanda kehidupan di kota kecil itu.

Pukul tujuh pagi kami tiba-tiba melihat dinding air melaju ke arah kapal kami.

Loudon sempat melakukan manoeuvre untuk menghindar, sehingga gelombang itu hanya mengenai sejajar dengan sisi kapal. Kapal itu menukik hebat, tetapi pada saat bersamaan gelombang itu telah lewat dan Loudon selamat.

Kami sempat melihat betapa air pasang itu mendekati, lalu melanda kota Teluk Betung dengan tenaga tak terbendung.

Tak lama kemudian masih ada tiga gelombang dahsyat menghambur, yang di hadapan mata kami memporakporandakan segala apa yang ada di pantai.

Kami melihat menara suar patah seperti batang korek api dan rumah- rumah lenyap digilas gelombang.

Baca Juga : Foto-foto Mengerikan dari Luapan Lava Gunung Berapi Kilauea di Hawai, Jalanan Beraspal pun Terbakar

Kapal Barouw terangkat, kemudian dicampakkan ke darat melewati puncak-puncak pohon nyiur. Yang tadinya masih Teluk Betung kini hanya air belaka.

Di kota itu tentunya ada ribuan orang meninggal serentak dan kotanya sendiri seperti dihapuskan dari permukaan bumi.

Semuanya itu terjadi dengan cepat dan mendadak, sehingga melintas sebelum kita menyadari apa yang sebenarnya terjadi.

Seakan-akan dengan satu gerakan maha kuat dekor latar belakang sebuah sandiwara telah digantikan.

Akhirnya Kapten Lindeman memutuskan untuk meninggalkan teluk itu, karena ia beranggapan bahwa keadaannya cukup berbahaya.

Kapal menuju ke Anyer dengan tujuan untuk melaporkan malapetaka yang menimpa Teluk Betung.

Baca Juga : 10 Danau Gunung Berapi Paling Menakjubkan di Dunia, 2 di Antaranya Ada di Indonesia Lho!

Tak lama kapal sudah berlayar di laut lepas. Walaupun masih pagi hari makin menggelap dan menjelang pukul sepuluh sudah gelap seperti malam.

Kegelapan itu bertahan selama delapan belas jam dan selama itu turun hujan lumpur yang menutupi geladak sampai hampir setengah meter.

Di ruang kemudi nakhoda melihat bahwa kompas menunjukkan gerakan-gerakan paling aneh; di laut terjadi arus-arus kuat, yang selalu berubah arahnya.

Udara dicemari oleh gas belerang pekat yang membuat orang sulit bernapas dan beberapa penumpang menderita telinga mendesing.

Barometer menunjukkan tekanan udara yang sangat tinggi. Kemudian bertiuplah angin kuat yang berkembang menjadi badai.

Kapal diombang-ambingkan oleh getaran laut dan gelombang tinggi. Ada saat-saatnya Loudon terancam akan terbalik oleh luapan air yang datang dari samping. Apa saja yang tak terikat kuat dilemparkan ke laut.

Api Santo Elmo

Baca Juga : Erupsi Gunung Agung: Apakah Debu Letusan Gunung Berapi Berbahaya Bagi Pesawat Terbang?

Tujuh kali berturut-turut halilintar menghantam tiang utama. Dengan rentetan letupan gemertak geledek itu kadang-kadang seperti bergantungan di atas kapal, yang diterangi cahaya mengerikan.

Alat pemadam kebakaran disiapkan di geladak, sebab nakhoda khawatir setiap waktu Loudon akan terbakar.

Kecuali halilintar, kami juga menyaksikan gejala alam. Aneh lainnya, yakni apa yang disebut api Santo Elmo. Di atas tiang kapal berkali-kali terlihat nyala api kecil-kecil berwarna biru.

Kelasi-kelasi pribumi mendaki tiang untuk memadamkan 'api' itu, tetapi sebelum mereka sampai ke atas gejala itu telah lenyap kemudian terlihat pindah ke tempat lain.

Api biru yang berpindah-pindah itu sungguh merupakan pemandangan yang menyeramkan dan membangunkan bulu kuduk.

Antara badai dan ombak besar kami mengalami saat-saat tenang. Tiba-tiba saja semuanya menjadi sunyi senyap dan laut pun licin seperti kaca.

Tetapi sepi yang tak wajar ini lebih mencekam daripada gegap gempita ombak dan topan yang harus kami alami.

Baca Juga : 7 Desa Ini Tersembunyi di Tempat yang Tak Terbayangkan, Salah Satunya Ada di Kawah Gunung Berapi

Tak terdengar suara lain, kecuali keluh kesah dan doa para penumpang Indonesia di geladak depan, yang yakin bahwa ajal mereka segera akan sampai.

Akhirnya pada malam menjelang tanggal 28 kami melihat sekelumit cahaya membersit di langit!

Seberkas sinar bulan pucat berhasil menembus awan gelap. Ketika itu sekitar pukul empat pagi. Di kapal orang bersorak-sorai gembira dengan rasa syukur dan lega.

Memang masih ada batu apung dan abu turun ke geladak, tetapi paling tidak kami bisa melihat sekelilingnya dengan agak jelas.

Kami masih berlayar menyusuri pantai Sumatra. Nampaknya pantai sangat sunyi. Yang dulunya ditumbuhi pohon-pohon kini hanya tersisa tunggul bekas batangnya yang patah.

Laut penuh dengan kayu dan batu apung, yang di pelbagai tempat mengumpul menjadi semacam pulau besar yang menutupi jalan masuk ke Teluk Lampung.

Baca Juga : Hindari Perburuan oleh Manusia Ikan-ikan Ini Terpaksa Berlindung di Kawah Gunung Berapi Bawah Laut

Tampang kapal Loudon benar-benar mengejutkan. Lebih mirip kapal yang tenggelam sepuluh tahun di dasar laut dan baru diangkat kembali.

Kami melayari Selat Sunda dan pagi-pagi sekali Krakatau nampak kembali.

Sekarang kami baru mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Seluruh pulau itu meledak sampai hancur lebur dan sebagian besar hilang.

Dinding kawahnya sama sekali runtuh, kami hanya melihat celah-celah raksasa yang mengeluarkan asap dan uap.

Di laut, antara Pulau Sebesi dan Pulau Krakatau yang tadinya masih merupakan jalur pelayaran, kini bermunculan pulau-pulau vulkanik kecil dan berpuluh gosong karang timbul dari permukaan air. Pada delapan tempat tampak asap dikelilingi uap putih dari laut.

Dengan lambat kami mendekati pantai Jawa. Pemandangan yang terlihat hampir tak terperikan.

Segalanya telah diratakan menjadi gurun tak bertuan. Waktu kami berlabuh di Teluk Anyer, kami baru menyadari bahwa pelabuhan kecil itu sudah tidak ada lagi.

Baca Juga : Gunung Agung, 'Ring of Fire', dan 'Keakraban' Indonesia dengan Letusan Gunung Berapi

Semuanya telah tersapu bersih, tiada rumah, tiada semak, bahkan tak ada batu yang kelihatan!

Hanya sebuah tonggak masih menandai bekas tempat berdirinya mercu suar. Selebihnya tidak ada apa-apa lagi, kehampaan dan kesepian.

Yang dulunya merupakan kampung-kampung yang makmur, kini hanya hamparan lumpur kelabu. Sungai penuh dengan puing dan lumpur. Di mana-mana tak nampak tanda-tanda kehidupan.

Juga pulau-pulau di Selat Sunda tak luput dari musibah. Pulau Sebesi yang pernah dihuni dua ribu orang, kini hanya seonggok bukit abu.

Sampai puncaknya yang hampir lima ratus meter tingginya itu dan semua tumbuh-tumbuhan tak berbekas.

Tak terlihat perahu atau desa lagi. Demikian pula keadaan pulau-pulau lain, Pulau Sebuku dan Pulau Sangiang.

Hujan lumpur

Pada tanggal 29 Agustus kami kembali di Lautan Hindia. Makin ke Utara makin kurang kelihatan akibat malapetaka besar itu.

Kemudian di Padang dan beberapa tempat lainnya kami bertemu dengan orang-orang yang mendengar ledakan-ledakan dan gemuruh Krakatau.

Yang aneh ialah bahwa kami yang ada di tempat dekat Krakatu tidak mendengar dentuman-dentuman itu "

Baca Juga : Ambil Bebatuan di Gunung Berapi di Hawaii yang Bertulah, Keluarga Ini Mendapat “Ganjaran yang Setimpal”

Itulah kisah seorang penumpang kapal yang melihat malapetaka dari jarak jauh. Dari kota Teluk Betung sendiri ada saksi mata yang selamat.

Menurut dia gelombang pasang yang pertama tiba pada tanggal 27 Agustus pagi sekitar pukul setengah tujuh, yang merebahkan lampu pelabuhan, gudang batu baru, gudang di dermaga dan melemparkan kapal Barouw dari sisi timur bendungan melewati pemecah gelombang sampai ke Kampung Cina.

Gudang garam rusak dan Kampung Kangkung beserta beberapa kampung di pantai lainnya dihanyutkan.

Kapal pengangkut garam Marie terguling di teluk, tetapi kemudian dapat tegak kembali. Orang juga melihat kapal Loudon berlabuh, kemudian berlayar lagi pada pukul tujuh.

Langit berwarna kuning kemerah-merahan seperti warna tembaga, dari arah Krakatau terlihat kilatan-kilatan api, hujan abu turun tiada hentinya, tetapi sekitar pukul delapan keadaannya tenang.

Baca Juga : Letusan Gunung Berapi Ini Dianggap Lebih Dahsyat Dibanding Letusan Gunung Tambora dan Gunung Krakatau, Para Ilmuwan Menemukan Jawabannya

Sementara orang yang sempat mengungsi ke tempat-tempat yang tinggi waktu itu masih sempat kembali ke rumah masing-masing untuk menyelamatkan apa saja yang masih bisa diambil, atau untuk melihat keadaan.

Kurang lebih pukul sepuluh tiba-tiba terdengar letusan hebat yang membuat orang terpaku. Suatu pancaran cahaya dan kilat terlihat di arah Krakatau. Segera setelah letusan itu hari mulai remang-remang.

Kerikil batu apung mulai bertaburan. Menjelang pukul sebelas hari gelap seperti malam, hujan abu berubah menjadi hujan lumpur.

Selanjutnya apa yang tepatnya berlangsung, tiada yang tahu, karena yang selamat berlindung di rumah residen dan hanya mendengar deru dan gemuruh sepanjang malam yang disebabkan oleh angin topan yang mematahkan ranting menumbangkan kayu-kayuan, melemparkan lumpur pada kaca-kaca jendela.

Baca Juga : Gunung Anak Krakau Erupsi: Dulu, Gunung Krakatau Pernah Meletus 10.000 Kali Lebih Dahsyat dari Bom Hiroshima

Para pelarian itu tidak sadar bahwa gelombang pasang sebenarnya sudah mendekati tempat pengungsiannya sejauh 50 m di kaki bukit.

Baru keesokan harinya orang mengetahui betapa besar penghancuran yang terjadi. Seluruh dataran diratakan dengan tanah, tiada rumah maupun pohon yang masih tegak.

Yang ada hanya abu, lumpur, puing, kapal ringsek dan may at manusia maupun hewan bertebaran di mana-mana.

Kapal Barouw sudah tak terlihat lagi. Baru kemudian kapal yang naas itu ditemukan di lembah Sungai Kuripan, di belakang belokan lembah pada jarak 3.300 m dari tempat berlabuhnya, dan 2.600 m dari Pacinan, tempatnya dicampakkan gelombang pertama pukul setengah tujuh itu.

Sejumlah perahu terkandas di tepi lembah, sebuah rambu laut ditemukan di lereng bukit pekuburan. Awak kapal Barouw, mualim pertama Amt dan juru mesin Stolk hilang tak ketahuan rimbanya.

Bagian pantai Sumatra yang terjilat malapetaka Krakatau yang paling parah, terutama yang letaknya berhadapan dengan Selat Sunda. Misalnya tempat-tempat di tepi Teluk Semangka.

Baca Juga : Erupsi, Status Gunung Anak Krakatau Naik Jadi Waspada, Tapi Belum Bahayakan Warga dan Penerbangan

Artikel Terkait