Nah, bagaimana cara memilih kuda pacuan paling unggul? Ini dimulai sejak pembenihan. Pilih kuda betina yang punya reputasi sebagai kuda pacuan.
Kawinkan dia dengan kuda jantan yang juga dikenal sebagai kuda pacuan. Tentu tak sekadar betina atau pejantan yang cuma sekali dua kali ikut lomba. Harus pernah menang dan namanya tersohor.
Di sinilah muncul paradoks atau kontradiksi. Bagaimana mungkin menemukan kuda jantan yang punya reputasi juara sementara yang menang dalam pacuan hampir selalu kuda betina?
Paradoks kedua adalah bagaimana mungkin pemilik dari kuda betina yang lagi di puncak juara, yang lagi di usia paling pas untuk bunting, antara 3 sampai 4 tahun, merelakan kuda pacuannya untuk kawin?
Paradoks pertama terpecahkan oleh mitos ini: pada mulanya ada kuda jantan terkemuka yang jadi juara, entah berapa puluh tahun silam.
Pejantan itu bisa dari luar Waingapu. Solusi paradoks kedua: setelah betina tak juara lagi, itulah saat mengawinkannya.
Pemilik kuda jantanlah yang menawarkan jasa pengawinan. Dia berkeliling dari desa ke desa.
Siapa pun yang membutuhkan sang pejantan untuk dikawinkan dengan kuda betina, dia mesti bayar Rp5 juta sampai terjadi pembuahan. Ini harga patokan mutakhir yang berlaku di Waingapu.
Berapa kali pejantan itu harus mengawini betina untuk sampai efektif benar-benar bisa membuahi sel telur?
"Rata-rata tiga kali. Kalau betina mulai menyepak si jantan saat hendak dicumbu, itu pertanda sudah terjadi pembuahan," tutur Umbu.
(Baca juga: Spesies Baru Ubur-ubur Aneh Seperti UFO Tertangkap Kamera di Kedalaman 3.600 Meter di Bawah Laut)
Untuk tiga kali hubungan intim itu, biasanya perlu waktu kurang lebih sepekan. Selama sepekan itu, pemilik kuda jantan dan pemilik betina bikin kesepakatan: pasangan kuda dibiarkan kumpul selama sepekan itu atau setiap habis kawin, kuda jantan dibawa pulang ke rumah pemilik.
Penulis | : | Agus Surono |
Editor | : | Agus Surono |
KOMENTAR