Antara Judi dan Keserakahan Memilukan di Rihi Eti

Agus Surono

Editor

Pacuan kuda di gelanggang Rihi Eti, Waingapu, NTT yang berbau judi dan keserakahan manusia.
Pacuan kuda di gelanggang Rihi Eti, Waingapu, NTT yang berbau judi dan keserakahan manusia.

Intisari-Online.com – Di setiap kompetisi atau perlombaan selalu tercium aroma judi. Terlebih di pacuan kuda. Termasuk pacuan kuda di Rihi Eti, gelanggang khusus balap kuda di Prailiu, Kota Waingapu, Nusa Tenggara Timur (NTT).

Kota Waingapuadalah kota kecamatan yang merupakanibukotadariKabupaten Sumba Timur,Nusa Tenggara Timur,Indonesia. Waingapu merupakan kota terbesar diPulau Sumba.

(Baca juga:Melihat Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara dari Antariksa)

Menonton pacuan kuda di sini tak perlu membayar. Gratis! Dari kelas bangsawan hingga rakyat biasa boleh menonton di Rihi Eti.

Di balik gemerlap pacuan kuda di Rihi Eti, ada keserakahan manusia yang membikin kita trenyuh. Dengarlah kisah ini, yang dituturkan oleh Umbu Harun (54), pemilik kuda pacuan bernama Bossi (2) yang berkali-kali menang dalam lomba.

Setahun sedikitnya dibikin tiga kali acara lomba. Itu hajatan rutin Pemerintah Kota Sumba Timur. Dana negara yang dikucurkan di situ tak kurang dari Rp1 miliar per tahun. Sebagian besar untuk hadiah lomba.

Ada 15 kategori lomba. Dari kategori kuda berusia delapan bulan hingga lima tahun atau lebih.

Tapi umumnya, kuda yang sedang di stamina puncak, dengan kecepatan lari tercepat, kira-kira 60 km per jam, ya kuda yang tak lebih dari usia lima tahun.

Karena menaksir usia kuda gampang keliru, penetapan kategori lomba didasarkan ukuran tinggi kuda. Jangan salah duga.

Kuda yang dipilih untuk ajang lari kencang adalah betina, bukan jantan. Anda boleh berfantasi. Kalau kuda lagi berahi, yang jantan tak mungkin berlari mendahului si betina.

Watak hewan itu mirip perangai manusia. Umumnya yang memburu si jantan, yang diburu betina. Tapi Umbu tak yakin bahwa betina dipilih untuk lomba gara-gara perkara berahi. Dari lomba ke lomba, pemenangnya selalu betina, tutur pria dari Manggarai Timur, Flores itu.

(Baca juga:Tragedi Mei 1998 Mencerminkan Transisi Pemerintahan yang Gagal)

Nah, bagaimana cara memilih kuda pacuan paling unggul? Ini dimulai sejak pembenihan. Pilih kuda betina yang punya reputasi sebagai kuda pacuan.

Kawinkan dia dengan kuda jantan yang juga dikenal sebagai kuda pacuan. Tentu tak sekadar betina atau pejantan yang cuma sekali dua kali ikut lomba. Harus pernah menang dan namanya tersohor.

Di sinilah muncul paradoks atau kontradiksi. Bagaimana mungkin menemukan kuda jantan yang punya reputasi juara sementara yang menang dalam pacuan hampir selalu kuda betina?

Paradoks kedua adalah bagaimana mungkin pemilik dari kuda betina yang lagi di puncak juara, yang lagi di usia paling pas untuk bunting, antara 3 sampai 4 tahun, merelakan kuda pacuannya untuk kawin?

Paradoks pertama terpecahkan oleh mitos ini: pada mulanya ada kuda jantan terkemuka yang jadi juara, entah berapa puluh tahun silam.

Pejantan itu bisa dari luar Waingapu. Solusi paradoks kedua: setelah betina tak juara lagi, itulah saat mengawinkannya.

Pemilik kuda jantanlah yang menawarkan jasa pengawinan. Dia berkeliling dari desa ke desa.

Siapa pun yang membutuhkan sang pejantan untuk dikawinkan dengan kuda betina, dia mesti bayar Rp5 juta sampai terjadi pembuahan. Ini harga patokan mutakhir yang berlaku di Waingapu.

Berapa kali pejantan itu harus mengawini betina untuk sampai efektif benar-benar bisa membuahi sel telur?

"Rata-rata tiga kali. Kalau betina mulai menyepak si jantan saat hendak dicumbu, itu pertanda sudah terjadi pembuahan," tutur Umbu.

(Baca juga:Spesies Baru Ubur-ubur Aneh Seperti UFO Tertangkap Kamera di Kedalaman 3.600 Meter di Bawah Laut)

Untuk tiga kali hubungan intim itu, biasanya perlu waktu kurang lebih sepekan. Selama sepekan itu, pemilik kuda jantan dan pemilik betina bikin kesepakatan: pasangan kuda dibiarkan kumpul selama sepekan itu atau setiap habis kawin, kuda jantan dibawa pulang ke rumah pemilik.

Setelah kuda betina hamil, perawatannya harus dilakukan ekstra ketat sampai umur kehamilannya mencapai usia di atas tiga bulan.

Selama tiga bulan itulah saat-saat rawan untuk keguguran. Persis seperti ibu-ibu yang lagi mengandung!

Kuda yang bunting itu harus diberi makanan bergizi. Tak boleh terlalu letih. Tak boleh stres akibat suara bising, misalnya.

Rutin dimandikan. Semua ini harus dipertahankan hingga menginjak bulan keempat kehamilan. Jika bisa dipertahankan hingga persalinan, itu makin bagus.

Lalu lahirkan bibit kuda pacuan, syukur-syukur betina. Kalau jantan, ya untuk bibit kuda pejantan. Jadi modal bisnis pengawinan kuda pacuan.

Pada umur delapan bulan, anak kuda sudah bisa diperlombakan. Ini masuk kategori anak-anak kuda, ya kalau di pertandingan bola kaki, ada kategori U-17.

Sebelum terlatih lari kencang di lintasan lomba, kuda perlu dilatih. Ketika pagar pembatas lintasan masih dibangun dari kayu setinggi satu meter, kuda bisa meloncat ke luar pagar. Kini pagar itu sudah ditinggikan dan ditembok batu.

Di Waingapu ada profesi pelatih kuda. Alan Donggalandupraeng (18), yang cuma lulusan sekolah dasar, mengisi hari-harinya mirip-mirip Arsene Wenger yang melatih Theo Walcott. Perbandingan pendapatan mereka pasti ibarat bumi dan bulan.

(Baca juga:Inilah 9 Alasan Mengapa Miss. V Bau!)

Allan melatih fisik kuda pacuan dengan berlari di lumpur sungai, di pasir pantai atau jalan menanjak tebing. Bobot tubuh Allan yang 60 kg pas buat latihan beban si kuda karena dalam bertanding, joki yang dipilih harus yang lebih ringan dari bobot pelatih.

Kuda akan melaju lebih kencang ketika berlari di lintasan lomba pacuan yang mendatar dengan beban tubuh joki yang lebih enteng.

Nah, ketika lomba akan berlangsung, kegilaan pun dimulai. Pertaruhan judi bisa terjadi dari kaliber yang recehan hingga mencapai ratusan juta rupiah.

Penjudi dan pemilik kuda sekongkol dalam perjudian. Kuda pun disuntik asteroid, salah satu zat kimia untuk doping. Tak ada aturan di sini.

Kuda bisa disuntik di paha, di dada bahkan dibagian paling sensitif mematikan, di urat syaraf leher bawah telinga.

Kuda terjungkal dan mati di arena lomba akibat over dosis juga terjadi, sekitar tahun 2000-an, kata Umbu.

Nama kuda itu: Dangan, pemiliknya Bupati Waingapu Umbu Mehang Kunda (mendiang). Nama bupati, bukan nama kudanya, itu kini diabadikan sebagai nama bandara di Waingapu.

"Kuda itu roboh saat berpacu. Langsung mati dengan raut muka meringis," kata Umbu Harun seraya mengekspresikan mulutnya yang meringis, memperlihatkan gusi, deretan gigi atas bawah.

Di arena lomba tersedia belasan joki, bocah-bocah ringkih yang masih duduk di bangku sekolah dasar. Meski bertubuh kecil, mereka bernyali besar. Lomba ini tak pakai pelana. Joki hebat bisa menyuruh kuda lari zigzag menghadang lawan yang mau nyalip.

"Joki penentu kemenangan. Sekali tanding dibayar Rp100 ribu. Dalam sehari bisa belasan kali tanding," kata Umbu.

Joki juga bagian dari kiat perjudian. Dia bisa memperlambat atau memperkencang lari kuda. Bahkan bisa sengaja menjatuhkan diri saat kuda berpacu agar terkalahkan. Dia disuap penjudi agar mengalahkan diri. Joki juga bisa celaka saat jatuh dan terinjak kuda. Mobil ambulans selalu siap di arena.

Para penjudi menghalalkan segala cara. Mereka bukan cuma warga Waingapu. Penjudi itu datang dari mana saja, suku apa saja. Bisa aparat negara, pedagang, cukong dari Surabaya, Jakarta, Bali, Medan.

(Baca juga:Secara Fisik, Wanita Tukang Selingkuh Terlihat Lebih Menggoda Bagi Pria)

"Keserakahan manusia itu mengerikan. Kuda disuntik bukan atas kemauan kuda sendiri. Kadang sampai mati. Ada yang loyo tak mau lari setelah disuntik asteroid melebihi takaran," tutur Umbu.

Maramba Meha, Kepala Dinas Pariwisata Sumba Timur, yang mendukung kegiatan pacuan kuda sebagai salah satu daya tarik turisme di Waingapu berkata bahwa doping sebaiknya dilarang dalam pacuan kuda.

Maramba, seperti para penyayang hewan umumnya, mengaku trenyuh menyaksikan kuda-kuda itu mati meringis di gelanggang pacuan akibat keserakahan manusia. (Antara/Mulyo Sunyoto)

Artikel Terkait