Intisari-Online.com - Tanggal 8 Juni 1921. Seorang perempuan bernama Sukirah terbaring lemah di sebuah rumah di Desa Kemusuk.
Perempuan yang baru melahirkan itu terlihat sangat kesakitan. Tenaga yang tersisa sangat minim, hingga tak mampu untuk menopang tubuhnya.
Bahkan, untuk sekadar menyusui bayi yang menangis kencang di sampingnya.
(Baca juga: Meski Tampan dan Rupawan, Nyatanya Pak Harto Tak Jago-jago Amat dalam Urusan Asmara)
Air mata Sukirah meleleh. Antara bahagia bercampur sedih, memikirkan masa depan anaknya. Pasalnya, pernikahan Sukirah dengan suaminya berada di ambang kehancuran!
Sukirah menikah dengan Kertoredjo, seorang duda beranak dua, karena perjodohan. Sebagai wanita desa, usia Sukirah yang menginjak 16 tahun dipandang sudah lebih dari cukup untuk menikah.
Itu sebabnya, ketika Kertoredjo naksir Sukirah, orangtua Sukirah tidak berpikir panjang lagi untuk segera menikahkan anak gadisnya.
(Baca juga: Pak Harto, Dunia Gaib, Supranatural dan Spiritualisme Jawa)
Dalam rentang waktu yang singkat setelah Kertoredjo bertemu dengan Sukirah, ijab kabul pun terlaksana.
Sesuai tradisi Jawa Tengah di mana seorang laki-laki lumrah mengganti namanya saat menikah, resmi jadi suami Sukirah, Kertoredjo lalu berganti nama menjadi Kertosudiro.
Pernikahan yang awalnya diharapkan akan membawa bahagia oleh Sukirah ternyata justru membawa petaka.
Kertosudiro yang berprofesi sebagai petugas irigasi desa atau ulu-ulu, bukanlah tipe lelaki yang cukup bertanggung jawab.
Penulis | : | Ade Sulaeman |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR