Intisari-Online.com -Pada 1984, Hj. Baiq Hartini membuka warung kecil di Kuta, Bali. Perempuan kelahiran Lombok 1956 ini berjualan ayam Taliwang. Mungkin cocok di lidah, warungnya cepat populer, sehingga dua tahun kemudian ia telah membuka tujuh gerai di Bali.
Seperti mimpi rasanya. “Pada 1990, ada utusan dari Istana Tampaksiring meminta saya memasak untuk acara di Istana.” (Istana Tampaksiring merupakan istana yang dibangun setelah Indonesia merdeka, terletak di Desa Tampaksiring, Ginyar, Bali).
Ia merasa tersanjung, rumah makan sederhana begini kok dipercaya menyiapkan makanan untuk para ajudan dan pengawal presiden. Ia agak heran, mengapa pemeriksaan dirinya begitu ketat.
(Baca juga:Cinta Semanis Tebu Pak Harto, Romansa Yang Menyentuh Kalbu)
Selain petugas keamanan, intel, petugas kesehatan meneliti bahan makanan, dan sesudah makanan matang ada tim dokter dan petugas lab mencicipi masakan tradisional Lombok yang digelar prasmanan itu.
“Rupanya, itu acaranya ulang tahun perkawinan Pak Harto (Soeharto) dan Bu Tien (Siti Hartinah),” kisah ibu tiga anak itu. Saat itu ia merasa bersyukur bisa berhadapan dengan RI-1 dan keluarganya, bahkan tamu-tamu penting dan terkenal yang selama ini hanya bisa diihat di televisi.
“Maklum, saya kan orang kampung, tukang warung pinggir jalan, kok bisa ketemu langsung dengan presiden,” rasa bangga menggelegak dalam suaranya.
Ia melihat, pada jamuan makan saat itu, piring Pak Harto hanya berisi tahu dan tempe, agaknya berpantang kangkung. Sedang Ibu Tien berpantang tauge.
Selesai acara di Istana Tampaksiring, rombongan pindah ke kawasan pantai Sanur, di wisma Mr. Kajima. Baiq juga diminta menyiapkan makan malam. Dari dapur, bersama juru masak lain, ia melihat Soeharto masuk ke dalam kamar, dan mereka menunggu-nunggu, bagaimana penampilan Jenderal Besar itu sehari-hari.
Begitu yang ditunggu keluar kamar, mereka pun bergunjing. “Pak Harto hanya memakai kaus oblong putih dan sarung putih kotak-kotak coklat, juga memakai selop jawa. Santai sekali,” ujar istri Fathoni Akbar itu.
Soeharto memandangi para cucunya yang sedang asyik bermain di kolam renang. Karena sudah sore, para ajudan dan pengasuh sibuk meminta para cucu naik dari kolam renang. Dasar anak-anak, mereka tak mempedulikan anjuran itu.
Akhirnya Pak Harto sendiri yang turun tangan. Ia tiba-tiba kuncul di pintu sembari memanggil cucu-cucunya dan mengisyaratkan hari mau hujan seraya menunjuk ke langit.
“Eh, tak ada semenit, hujan benar-benar turun. Kami para juru masak saling berpandangan, Pak Harto sakti kali ya! Kami saling berbisik.”
Malamnya, selepas makan malam, Pak Harto bercengkerama bersama anak dan cucunya di ruang tengah, “Ada yang dipangku Pak Harto di paha kanan dan kirinya, ada juga yang minta dipangku Bu Tien. Suasananya hangat seperti di rumah orang biasa.”
(Baca juga:Sisi Lain Pak Harto yang Jarang Diketahui Orang)
Suara anak-anak berceloteh dan bertengkar kecil, dan terkadang ditingkahi suara Soeharto menengahi. Selanjutnya, setelah Baiq membuka restoran ayam bakar Taliwang di kawasan Tebet Jakarta, tahun 1992, setiap kali di Istana ada acara ia selalu dilibatkan.
Dari seringnya diundang memasak ke Istana, Ayam Bakar Taliwang Ber saudara jadi dikenal luas di Jakarta, “Apalagi setelah para ajudan memperkenalkan saya langsung ke Pak Harto dan Ibu Tien, yang tak segan-segan mengenalkan saya juga ke para tamu.”
Pada peringatan HUT ke-50 RI, tahun 1995. Baiq juga diundang masak ke Istana. “Saya tak menyangka, itulah terakhir kali saya bersalaman dengan Ibu Tien, sebelum beliau wafat.”