Advertorial

Pilkada 2018: Inilah Alasan Metode Coblos Diganti jadi Contreng, Benarkah Lebih Aman dari Manipulasi?

K. Tatik Wardayati
Ade Sulaeman

Tim Redaksi

Dalam pesta demokrasi, peran rakyat itu sentral. Kalau dulu rakyat hanya kenal dengan mencoblos, pernah dalam pemilu memilih dengan mencontreng.
Dalam pesta demokrasi, peran rakyat itu sentral. Kalau dulu rakyat hanya kenal dengan mencoblos, pernah dalam pemilu memilih dengan mencontreng.

Intisari-Online.com – Dalam pesta demokrasi, peran rakyat itu sentral. Hampir semua partai dalam kampanyenya mengaku sebagai pengemban amanat rakyat. Meski goal mereka sebenarnya simpel saja: merebut sebanyak-banyaknya suara rakyat.

Begitu pentingnya suara itu, ia tidak boleh disalurkan sembarangan. Ada aturannya, yang dari masa ke masa, selalu berkembang.

Sebanyak jalan ke Roma, sebanyak itu pula alternatif cara memberikan suara dalam pemilihan umum. Beda negara, kerap beda tata cara.

Beberapa metode yang lazim maupun tak lazim dipraktikkan, contohnya menuliskan nomor atau menandai di kotak di sebelah nama caleg atau lambang partai. Ada juga negara yang meminta pemberi suara melingkari nomor di sebelah nama caleg atau lambang partai.

Atau yang rada ribet, memberi tanda silang pada seluruh nama caleg atau lambang partai yang tidak diinginkan, kecuali caleg dan partai yang dipilih.

Baca juga: Tirani Lahir dari Demokrasi, Apakah Prediksi Mengerikan Plato akan Terjadi?

Cara lainnya yang mungkin tidak pernah Anda bayangkan: meminta pemilih mengisi lingkaran kecil di sebelah nama caleg atau lambang partai (mirip adegan menghitamkan lingkaran di kertas komputer saat mengikuti ujian masuk perguruan tinggi negeri); langsung menuliskan nama caleg atau nama partai pada secarik kertas kosong (mirip acara pemilihan Ketua Rukun Tetangga); menuliskan angka secara berurutan pada caleg-caleg yang dipilih; sampai memberi cap pada nama partai.

Cap jempol pun jadi

Saat melaksanakan pemilu pertama pada 1952, kondisi India pasti masih sama berantakannya (atau malah lebih berantakan) seperti Indonesia. Saat itu, tingkat melek huruf di negerinya Jawaharlal Nehru itu masih sekitar 15%.

Pikir punya pikir, daripada suara rakyat nantinya kabur tak keruan lantaran ketidakmampuan baca tulis, dipilihlah metode yang sederhana dan tidak bikin pusing kepala.

Untuk memudahkan pemilih, lambang-lambang partai ditempatkan di depan nama caleg, sehingga pemilih dapat membedakan partai pilihannya dari partai yang lain. Saat itu mereka bahkan tidak perlu mencoblos atau menandai surat suara.

Sudah disediakan kok kotak-kotak yang diberi gambar-gambar lambang partai. Pemilih cukup menempatkan surat suaranya ke dalam kotak yang tertera tanda gambar partai pilihannya.

Baca juga: Demi 'Lindungi Demokrasi dari Campur Tangan Asing', Pemerintah AS Sahkan Undang-undang Pelarangan Kaspersky Lab

Di India pula, pernah diterapkan tata cara pemberian suara yang lagi-lagi mencoba mengakomodir kepentingan mereka yang buta aksara. Yakni dengan menggunakan alat bantu berupa stempel, yang sudah disediakan di dalam bilik suara.

Pemilih yang tidak bisa membaca tinggal memberikan cap pada kotak yang di dalamnya terdapat profil caleg dan tanda gambar partai yang mereka pilih.

Setali tiga Uang dengan pemiiihan presiden di Ghana pada 1996, pemilih dapat memberikan suaranya dengan hanya menempelkah cap jempolnya di kotak yang tersedia di sebelah nama caloh presiden yang didukung.

Nama calon presiden itu juga dilengkapi dengan gambar lambang partai, supaya pemilih tak salah piiih.

Itu tadi contdh di negara-negara berkembang, yang rata-rata menyesuaikan tata cara memberikan suara dengan kondisi masyarakatnya. Bagaimana dengan cara memberikan suara di negara maju?

Baca juga: Menurut Survei, Mayoritas Masyarakat Inginkan Demokrasi Pancasila Jadi Perekat Bangsa

Jika Anda jalan-jalan ke Amerika Serikat saat pemilu dilangsungkan, pasti geleng-geleng kepala. Cara memberikan suara di satu negara bagian dan negara bagian lainnya ternyata bisa berbeda.

Sebagian mensyaratkan pemberian tanda silang,atau centang pada nama kandidat, sebagian lain dengan menghitamkan lingkaran di sebelah nama kandidat. Jadi, dalam satu negara pun ternyata aturannya bisa beda-beda.

Diseiimuti beragam kontroversi

Di Indonesia, sepanjang sejarah republik ini, telah 9 kali pemilu diseienggarakan, yakni pada 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997,. 1999, dan 2004. Selama rentang waktu tersebut, rakyat hanya mengenal "mencoblos" sebagai cara untuk menyumbang suara.

Di dalam bilik suara, pemilih dipersilakan memilih dengan mencobios pada nama caleg atau tanda lambang partai. Alat untuk mencobios yang, disediakan di dalam biiik suara biasanya paku.

Di era reformasi, muncul pemikiran untuk mengganti cara memilih yang enggak trendi tersebut. Hare gene kok masih nyoblos pake paku, begitu kira-kira jalan pemikiran orang-orang di Komite Pemilihan Umum (KPU).

Baca juga: Menurut Survei, Mayoritas Masyarakat Inginkan Demokrasi Pancasila Jadi Perekat Bangsa

Acara mencoblos yang sudah seperti turun-temuruh itu pun diagendakan untuk diganti dengan mencontreng dengan menggunakan pensil atau bolpen. Konon, metode mencoblos sendiri memang sudah "sangat" ketinggalan", dan lama ditinggalkan oleh negara-negara di dunia. Jumlah negara yang masih memakai cara ini kurang dari 5 negara saja.

Seiain itu, cara mencoblos juga dianggap sangat rentan terhadap manipulasi, seperti sudah terbukti dilakukan di masa Orde Baru. Niat pindah dari coblos ke contreng makin kuat sebab tingkat melek huruf di Indonesia sudah semakin meningkat, sehingga rasa-rasanya, urusan contreng-mencontreng tidak akan menumbuhkan masalah.

Sebenarnya, sejak 2004 tata cara pemilu mulai mengalami perubahan. Dari sistem proporsional daftar tertutup menjadi sistem proporsional daftar terbuka. Kalau dalam sistem tertutup pemilih hanya dapat memilih tanda gambar partai, maka dalam sistem terbuka pemilih dapat juga memilih nama caleg yang mereka ingin pilih.

Dengan demikian, saat memilih mereka dapat mencoblos tanda gambar partai saja atau tanda gambar partai dan nama caleg.

Aspirasi untuk memilih dengan cara menandai diakomodir dalam Undang-Undang Pemilu No. 10 Tahun 2008 sebagai dasar penyelenggaraan Pemilu 2009.

Baca juga: Social Media, Pilar Kelima Demokrasi?

Pasal 153 UU tersebut menyatakan, "Pemberian suara untuk pemilu anggota DPR, DPD, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota dilakukan dengan memberikan tanda satu kali pada surat suara".

Tidak dijelaskan lebih lanjut dalam UU ini, seperti apa tanda yang harus dituliskan oleh pemilih. Yang, bukan tanda tangan yang pasti terlalu panjang.

Alhasil, muncul perdebatan: apakah menandai itu artinya memberi tanda centang (V), tanda silang (X), atau melingkari (O). Cara penandaan ini penting sebab jika pemilih tidak mengetahui cara yang benar secara hukum, surat suaranya bisa tidak sah atau tidak valid, sehingga tidak diikutsertakan dalam penghitungan atau dianggap hilang.

Untuk menghindari ribut-nbut, KPU akhirnya membuat pedoman, dituangkan dalam Peraturan KPU No. 35 Tahun 2008 (dikeluarkan akhir Oktober 2008).

Dalam aturan tersebut, KPU memutuskan centang sebagai tanda yang sah, karena dianggap lebih efisien daripada memberi tanda silang atau lingkaran. Namun KPU juga menetapkan, pada dasarnya kesalahan tertentu dalam pemberian tanda centang dapat diterima dan surat suara dianggap sah.

Baca juga: Demo 4 November: Demonstrasi Identik Dengan Demokrasi?

Ini untuk menjaga kemungkinan adanya kesalahan dalam menandai karena masyarakat belum terbiasa dengan mencentang.

Toh masih banyak pihak beranggapan, putusan itu tetap menyimpan potensi konflik, karena memperluas jenis tanda yang dituliskan oleh pemilih yang dapat diterima.

Kemungkinan besar dapat terjadi berbagai konflik di tempat pemungutan suara (TPS) terutama saat penghitungan suara, sebab masing-masing orang memiliki tafsirannya sendiri mengenai sah atau tidaknya satu surat suara.

Apalagi sosialisasi Peraturan KPU mengenai hal ini sangat minim. Kontroversi terakhir muncul akibat diterbitkannya Aturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang. Di dalamnya disebutkan, surat suara sah berisi pemberian tanda satu kali, namun pemberian tanda lebih dari satu kali di kolom nama caleg dan gambar partai yang sama pun dianggap sah.

Hal ini dapat dianggap tidak konsisten dengan ketentuan UU Pemilu No. 10/2008. Selain itu juga tidak senapas dengan Putusan MK yang menghapus Pasal 214 UU Pemilu dan menegaskan prinsip suara terbanyak.

Ah, bicara kontroversi memang tidak ada habis-habisnya. Jadi, ya nikmati saja pesta demokrasi kali ini dengan segala perubahan yang dibawanya. Yang penting sekarang, "selamatkan" suara masing-masing dengan memahami, era Mr. Coblos sudah lewat.

Seraya mengucap selamat datang pada Mr. Contreng. (Yolanda Panjaitan – Intisari April 2009)

Baca juga: Demokrasi Jalanan Jokowi Juga Diimpor Jepang

Artikel Terkait