Demo 4 November: Demonstrasi Identik Dengan Demokrasi?

Agus Surono
Yoyok Prima Maulana

Tim Redaksi

Demonstrasi 1966
Demonstrasi 1966

Intisari-Online.com - Sesudah peristiwa Malari 1974, boleh dibilang tak ada lagi demonstrasi awut-awutan yang bikin heboh pada masa Orde Baru. Semua orang tiarap, cari selamat. Gerakan perlawanan lantas dilakukan sembunyi-sembunyi. Tidak ingar-bingar.

Cakar-cakaran dalam tubuh Partai Demokrasi Indonesia (PDI) antara yang pro versus yang setengah pro Orde Baru pada paruh kedua tahun 1990 mengompori suhu kesadaran berpolitik secara lebih terbuka. Muncul tokoh-tokoh muda spekulan yang ikut meramaikan pasar politik. Ramai dan lucu. Seperti pasar malam politik.

Demo terang-terangan baru marak lagi mulai tahun 1997. Tak ada yang mengira demo-demo itu mengawali tumbangnya Orde Baru. Kemudian kita tahu gerakan jalanan pembangkangan yang diujungtombaki para mahasiswa, pemuda, dan aktivis masyarakat—bukan oleh partai politik.

Demo 1998 menduduki Gedung MPR/DPR

Sejak itu demonstrasi massa marak lagi di mana-mana hingga hari ini. Demo lantas jadi semacam trend baru kiprah demokrasi. Semua orang berdemo, termasuk para politisi dan partai politik yang dulu tiarap. Bahkan ada pendemo bayaran yang diatur organisasi-organisasi tertentu pendulang untung.

Saya tak tahu, apakah dalam ilmu politik manusia-manusia pendemo dan organisasi-organisasi penggerak demo bayaran ini termasuk kelengkapan demokrasi. Yang saya tahu, orang berdemo karena kesadaran memperjuangkan sesuatu yang menjadi tuntutan dan keyakinannya. Jadi, ada unsur keteguhan "pendapat benar" dan sikap "voluntarisme yang bertanggung jawab" dalam gerakan demo. Demo bukan sekadar tindakan ela-elu (ikut-ikutan) yang digerakkan—apalagi demo sebagai panggaotan (mata pencaharian).

Di Indonesia orang menyingkat kata demonstrasi menjadi demo karena kebiasaan malas lidah saja. Semua disingkat dan diterobos sekenanya. Padahal, dalam bahasa aslinya kata demonstrasi dan demokrasi tak pernah dipendekin. Singkatan kata demo itu juga sedikit manipulatif karena demo yang dimaksudkan sebagai demonstrasi seolah-olah serta-merta mengandung pengertian demokrasi. Padahal tindak demonstrasi hanyalah bagian terkecil (subaction) dari cara kerja demokrasi.

Di negeri ini banyak orang mengira demonstrasi identik dengan demokrasi. Akibatnya dikit-dikit demo. Orang kumpul-kumpul sembari bikin galau jalanan dan merusak fasilitas publik, fasilitas negara, maupun milik pribadi (privacy) karena menganggap setiap demo—yang "berizin" maupun yang "liar"—sah secara demokrasi. Aneh. Demonstrasi dalam demokrasi kok ada yang berizin dan yang liar. Di negara maju merusak fasilitas umum itu melanggar hukum. Pelakunya akan langsung ditangkap polisi dan diadili. Tak peduli sedang demo atau tidak.

Ekses gerakan reformasi ujug-ujug (mendadak) tanpa ideologi dan tanpa konsep di tahun 1998 kini berbias di mana-mana dalam bentuk amok demo sebagai akibat dari ketidaktahuan cara berdemonstrasi dan kesalahkaprahan pemahaman tentang demokrasi. Orang mengira bahwa demokrasi hanyalah kebebasan bersuara dan menuntut keadilan dalam kesetaraan hak dengan semangat ancam-mengancam dan perusakan bila tuntutan tak terpenuhi.

Di pihak lain—pada para penyelenggara negara—demokrasi diartikan sebagai ’keputusan final’ yang disepakati (konsensus) dan tidak boleh diganggu gugat oleh orang lain yang berada di luar kewenangan otokratifnya. Akhirnya terjadi ketegangan tarik-menarik kehendak yang tak berujung pangkal demokrasi—karena masing-masing pihak ngotot memenangkan tujuan dan kemauan sendiri. Yang satu ndableg, yang lain ngeyel. Ujung-ujungnya demo. Kalau perlu rusak-rusakan, awut-awutan, dan gila-gilaan. Demo kok edan.

Demonstrasi hanya dimengerti sebagai unjuk rasa. Padahal demonstrasi juga berarti pembuktian atau unjuk kebolehan. Unjuk keterampilan. Misalnya unjuk keterampilan berdemokrasi.

Di negara-negara maju yang sudah lihai berdemokrasi, tuntutan hak bersuara dan berkeadilan hanya dilakukan di ruang-ruang tertutup dengan adu bukti keunggulan kebenaran dan argumen. Baru bila tuntutan kebenaran dan argumen-argumen tidak didengar—seperti dalam kasus Presiden Bush yang sering ndableg kebenaran dan buta argumen atas tuntutan banyak orang—demonstrasi massa pun digelar, tetapi tetap dalam relasi berdemokrasi. Bukan amok demonstrasi yang menjadi anarki dan menimbulkan kerusakan di luar konteks hukum publik.

Demonstrasi dalam konteks demokrasi itu sebenarnya menyenangkan dan tidak membuat kengerian umum. Orang-orang China dan Korea yang dulu terkenal paling brutal dalam hal demo pun kini mulai sareh (sabar dan dengan sadar) dalam berdemo. Bukan karena mereka takut ngamuk, tapi karena mereka mulai tahu bagaimana cara berdemonstrasi yang lebih efisien dan efektif dalam konteks demokrasi.

Demo di Korea Selatan
Demo tak harus berjingkrak-jingkrak liar dan meneriak-neriakkan makian kasar sambil terus-menerus meruncing ancaman dan merusak-rusak segala macam obyek sebagai pelampiasan amuk massa yang tak terkendali. Sebaliknya, untuk menghindari demo liar yang tak terkendali—pihak lain yang menjadi pangkal terbukanya tuntutan keadilan juga sebaiknya harus cepat mengerti dan cepat tanggap atas segala sesuatu yang dianggap tak beres dan menimbulkan ketidakbenaran yang tak adil.

Sesungguhnya demokrasi itu gampang dipraktikkan bila semua orang tidak asal ndableg dan baku ngeyel demi untung dan kepentingan sendiri. Dalam sejarah, politik keras kepala dan ke-ndableg-an kekuasaan yang tak cerdas telah menimbulkan per-ngeyel-an hak-hak demokrasi yang menjadi pemicu terjadinya hiperbola demo-demo liar yang tak cerdas juga. Dikit-dikit demo, dikit-dikit demo itu tak sehat.

Di tahun 1960-an negeri Inggris mengalami pelambatan perkembangan kemajuan dan pertumbuhan ekonomi di antara tetangga-tetangga dekatnya karena setiap hari penduduknya suka berdemoria. Demo melulu - kapan kerjanya, kata orang. Emang-nya, demokrasi isinya cuma demonstrasi? Lah, di sini demo malah jadi mata pencaharian. Pendemo jadi suruhan institusi ndableg dan kumpulan manusia asal ngeyel. Tak elok itu... wis!

Asal Usul/Suka Hardjana

Artikel Terkait