Pada hari Senin koteka yang digunakan biasanya lebih besar dan kelihatan lebih baru. Ujungnya dihiasi dengan ekor kuskus, pinggang dililit dengan ikat pinggang merah. Mereka mengenakan kalung dari biji tumbuhan, lengan atas diberi gelang dari anyaman serat kulit kayu dan dihiasi bunga serta daun.
Rambutnya yang kribo diberi hiasan bulu ayam atau kasuari. Kadang-kadang di samping telinga kiri dan kanan diselipkan bunga.
Para gadis hiasannya lebih sederhana. Mereka memakai rok rumput yang dililitkan berlapis-lapis di bawah pinggang. Untuk hari Senin lapisan lilitannya lebih banyak, sehingga lebih mengembang seperti rok dalam wanita.
Baca juga: Korowai, Suku Terpencil di Papua yang Masih Mempraktikkan Kanibalisme
Ujung bawah diberi sumba warna merah dan hijau. Bagian dada dibiarkan telanjang. Kadang-kadang lehernya dihiasi kalung manik-manik. Telinganya dilubangi dan dihiasi benang berwarna yang diikat di lubang tersebut.
Kalau ada peniti, mereka memakainya sebagai anting-anting. Kalau ingin memotret mereka, para gadis itu biasanya langsung siap difoto. Berbeda dengan pemudanya, yang kadang-kadang minta waktu untuk menyisir dulu.
Di pasar dijual bermacam-macam sayuran, pakaian, garam, sardin dan noken. Yang membeli sayuran kebanyakan pendatang, sedangkan yang membeli barang dari luar adalah penduduk asli.
Satu keranjang kentang waktu itu harganya hanya Rp 100,00, sedangkan barang dari luar seperti sabun, garam dan pakaian beberapa kali lipat dari harga biasa.
Walaupun pembeli tidak banyak, tetapi pasar berlangsung sampai siang. Pasar tidak hanya berfungsi sebagai tempat untuk jual-beli, tetapi juga tempat berkumpul dan "hiburan" bagi penduduk dari berbagai desa.
Baca juga: Hebat! Bocah Asal Papua Barat Ini Dapat Berhitung Seperti Kalkulator Meski Punya Keterbatasan
Padahal untuk mencapai pasar, ada penduduk desa yang harus berjalan sampai dua belas jam. Mereka mendaki gunung sambil membawa sayuran di punggung. Anehnya, kaum wanita yang lebih banyak membawa barang.
Mereka membawa noken besar berisi sayuran. Kadang-kadang masih ditambah dengan memanggul anak di pundak. Sedangkan kaum prianya, apalagi yang masih muda, biasanya hanya membawa noken kecil yang disandang di pundak. Isinya cuma cermin dan sisir!
Source | : | intisari |
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR