Maka, saat memasang konstruksi pintu atau jendela, jangan lupa memasang sengkangnya.
Kalau bangunan tidak simetris, misalnya berbentuk huruf "U" atau "L", mau tidak mau konstruksinya harus dipisahkan menjadi bentuk-bentuk yang beraturan. Selain itu, pada bangunan segi empat, perbandingan sisi satu dengan sisi lainnya tidak boleh lebih dari sepertiganya. Syarat ini seperti yang dicantumkan dalam draf awal kriteria untuk merencanakan dan membuat rumah sederhana tahan gempa pascagempa Nangroe Aceh Darussalam (NAD), 2004 lalu.
Jadi, jika tampak depan 6 m, misalnya, maka panjang ke belakang tidak boleh lebih dari 18 m. Ini dimaksudkan untuk mengurangi gaya puntir yang terjadi pada saat gempa.
Diganjal karet
Di luar konsep rumah tahan gempa, "Perlu dilakukan mikrozonasi, yakni memetakan daerah rawan gempa," kata Pariatmono. Mikrozonasi bisa menjawab pertanyaan, mengapa dalam suatu areal terdapat bangunan yang rusak parah, tapi ada yang "segar bugar". Padahal jarak lokasi bangunanbangunan itu saling berdekatan.
Hal semacam itu sering terjadi, misalnya di sebuah kompleks perumahan di Bengkulu, dan mungkin juga di Yogyakarta dan sekitarnya. "Yang namanya kompleks perumahan tentunya material yang digunakan dan waktu pembangun-annya sama," kata Pariatmono sembari menambahkan, untuk melakukan mikrozonasi memang dibutuhkan dana besar karena skalanya cukup detail, meliputi wilayah kelurahan, bahkan Rukun Warga, per unit zonasi.
Mikrozonasi itu antara lain juga untuk memetakan struktur tanah. Mendirikan bangunan di atas tanah liat berbeda dengan di atas tanah berpasir, misalnya. Perbedaan kedua jenis tanah ini tegas. Tanah berpasir termasuk jenis immediately settlement (cepat mantap).
Artinya, sekali mendapat beban, langsung turun untuk selamanya karena sifat pasir yang tidak "memegang" air. Sedangkan tanah liat yang bersifat sebaliknya termasuk jenis long term settlement. "Pada tanah liat air butuh waktu untuk mengalir," ujar Pariatmono.
Bukan berarti tanah berpasir serta merta pasti lebih baik sebagai pijakan dasar sebuah bangunan. Sebab, pada tanah berpasir ada gejala liquid faction yang mesti diwaspadai. Cobalah masukkan pasir basah ke dalam gelas. Ketika gelas digoyang-goyang, air akan naik ke atas, dan pasir kehilangan daya dukungnya. Kira-kira seperti itulah fenomenanya. Keadaan ini tentu sangat berbahaya apabila di atas tanah berpasir didirikan bangunan.
Mudah ditebak, bangunan itu tentu akan luruh ke bawah. Meski masih belum jelas betul kebenarannya, fenomena macam ini terjadi pada bangunan sebuah hotel yang amblas sedalam satu lantai di NAD.
Alternatif lain yang ditawarkan Pariatmono yaitu konstruksi bangunan kayu. Katanya, rumah dari kayu punya ketahanan lebih baik terhadap goyangan gempa. Dasarnya yaitu hukum Newton, yang merumuskan bahwa gaya sebuah benda merupakan perkalian antara massa (bobot) dengan percepatan yang diperoleh benda itu (F = m x a). Dari situ terlihat mengapa rumah kayu yang bobotnya lebih ringan relatif lebih tahan gempa dibandingkan dengan rumah tembok yang bobotnya lebih berat.
Dengan percepatan yang sama, gaya yang menimpa rumah kayu lebih kecil daripada rumah tembok. Meski begitu, rumah kayu bukannya tidak punya kelemahan. Selain harga belinya semakin mahal, perawatannya juga lebih njelimet dan privasinya kalah ketimbang rumah tembok. Dari rumus Newton itu, bobot bangunan jelas tidak bisa diotak-atik. Yang bisa dilakukan tinggal bagaimana mengurangi besaran percepatannya.
Penulis | : | Moh. Habib Asyhad |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR