Intisari-Online.com - Bukan gempa yang menimbulkan banyak korban, tapi bangunan. Begitu ujaran orang bijak. Memang kebanyakan korban akibat gempa berasal dari mereka yang tertimbun reruntuhan bangunan. Maka jumlah korban harus ditekan serendah mungkin dengan mendirikan bangunan, terutama rumah tinggal, yang tahan guncangan. Ada konsep rumah simetris, rumah kayu, atau Smart Modula.
Gempa berkekuatan 6,4 SR baru saja mengguncang Aceh. Kita tentu prihatin mengingat peristiwa alam itu memakan banyak korban jiwa. Belum lagi korban lain yang luka-luka. Mengapa bisa begitu banyak korban yang jatuh dalam bencana di pagi hari itu?
Kita menyaksikan, kebanyakan warga yang menjadi korban adalah mereka yang tertimpa reruntuhan bangunan rumah tinggal. Fakta lain, banyak rumah yang roboh, bahkan tak sedikit yang rata dengan tanah, itu memang tidak tahan terhadap guncangan besar akibat gempa.
Di kawasan Bambanglipuro, Bantul, yang termasuk daerah dengan kerusakan fisik terparah pada gempa 2006 di Yogyakarta, misalnya, banyak bangunan rumah tinggal yang dibikin asal jadi. Sebagai contoh, beberapa bahan diganti dengan bahan lain yang lebih murah. Misalnya, semen PC sebagai perekat diganti dengan adukan campuran gamping (kapur) dan remukan bata merah. Tembok bangunan pun hanya ditumpangkan pada fondasi yang tidak diperkuat dengan cor beton.
Tingkat kesejahteraan penduduk yang rendah menjadi salah satu penyebab diturunkannya spesifikasi minimal bagi bangunan tahan guncangan oleh warga. Membangun rumah tahan gempa memang butuh dana lebih besar ketimbang mendirikan bangunan rumah asal jadi.
Simetris lebih kukuh
Bukan asal jadi kalau penduduk pedalaman Papua, misalnya, membangun honai, rumah tradisional mereka yang terbukti tahan terhadap goyangan gempa. Di berbagai pelosok Nusantara masih banyak jenis rumah tradisional lain buah dari kearifan lokal (local genius), yang juga antigempa.
Sebenarnya, menurut Pariatmono, yang pernah menjadi asisten deputi Urusan Analisis Kebutuhan Iptek, Kementerianm Negara Riset dan Teknologi RI, prinsip dasar bangunan antigempa itu sederhana. Syaratnya, seluruh struktur bangunan saling berkait satu sama lain sehingga beban atau gaya yang diterima akan ditanggung dan disalurkan secara merata dan proporsional pada titik-titik konstruksi.
Pada bangunan modern, agar konstruksi bangunan kuat, ujung besi kolom, sloof, maupun beton rangka atap harus saling terkait. Unluk itu memang perlu tambahan besi beberapa sentimeter. Kalau dihitung untuk seluruh bangunan, dananya memang bisa lumayan juga besarnya, tapi konstruksi yang dihasilkan jelas jadi kuat. Pada konstruksi kayu perlu dipasang balok penopang antara kolom dan balok atas. Sedangkan rangka atap harus diikat pada balok atau kolom.
Selain struktur saling mengait, kekuatan bangunan juga ditentukan oleh bentuk bangunan yang simetris (segi empat atau bujur sangkar). Bentuk beraturan lebih kuat daripada yang tidak, asal konstruksinya benar, terutama pada bagian-bagian di pojok atas. Jika terguncang gempa, pada konstruksi berbentuk kubus atau balok akan terjadi pergeseran, di mana bidang atas akan lebih lambat dibandingkan dengan bidang bavvah.
Karena itu, bidang bangunan (tampak depan atau belakang) akan berubah bentuk menjadi jajaran genjang. Bagian pojok yang tadinya bersudut 90°berubah menjadi tidak siku lagi.
Prinsip kedua bangunan antigempa yaitu menjaga kekukuhan bagian konstruksi yang rawan kerusakan. Selain pojokan, bagian lain yang rawan kerusakan yaitu daerah bukaan (pintu, jendela, lubang angin). Karena itu daerah bukaan ini perlu perhatian khusus. Tembok dengan bukaan ibarat aliran sungai yang di tengahnya berdiri pohon atau tiang jembatan.
Penulis | : | Moh. Habib Asyhad |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR