Gempa Aceh: Sabuk Keselamatan Rumah Antigempa

Moh. Habib Asyhad
Ade Sulaeman

Tim Redaksi

sabuk keselamatan rumah antigempa
sabuk keselamatan rumah antigempa

Intisari-Online.com -Bukan gempa yang menimbulkan banyak korban, tapi bangunan. Begitu ujaran orang bijak. Memang kebanyakan korban akibat gempa berasal dari mereka yang tertimbun reruntuhan bangunan. Maka jumlah korban harus ditekan serendah mungkin dengan mendirikan bangunan, terutama rumah tinggal, yang tahan guncangan. Ada konsep rumah simetris, rumah kayu, atau Smart Modula.

Gempa berkekuatan6,4 SR baru saja mengguncang Aceh. Kita tentu prihatin mengingat peristiwa alam itu memakan banyak korban jiwa. Belum lagi korban lain yang luka-luka. Mengapa bisa begitu banyak korban yang jatuh dalam bencana di pagi hari itu?

Kita menyaksikan, kebanyakan warga yang menjadi korban adalah mereka yang tertimpa reruntuhan bangunan rumah tinggal. Fakta lain, banyak rumah yang roboh, bahkan tak sedikit yang rata dengan tanah, itu memang tidak tahan terhadap guncangan besar akibat gempa.

Di kawasan Bambanglipuro, Bantul, yang termasuk daerah dengan kerusakan fisik terparah pada gempa 2006 di Yogyakarta, misalnya, banyak bangunan rumah tinggal yang dibikin asal jadi. Sebagai contoh, beberapa bahan diganti dengan bahan lain yang lebih murah. Misalnya, semen PC sebagai perekat diganti dengan adukan campuran gamping (kapur) dan remukan bata merah. Tembok bangunan pun hanya ditumpangkan pada fondasi yang tidak diperkuat dengan cor beton.

Tingkat kesejahteraan penduduk yang rendah menjadi salah satu penyebab diturunkannya spesifikasi minimal bagi bangunan tahan guncangan oleh warga. Membangun rumah tahan gempa memang butuh dana lebih besar ketimbang mendirikan bangunan rumah asal jadi.

Simetris lebih kukuh

Bukan asal jadi kalau penduduk pedalaman Papua, misalnya, membangun honai, rumah tradisional mereka yang terbukti tahan terhadap goyangan gempa. Di berbagai pelosok Nusantara masih banyak jenis rumah tradisional lain buah dari kearifan lokal (local genius), yang juga antigempa.

Sebenarnya, menurut Pariatmono, yang pernah menjadi asisten deputi Urusan Analisis Kebutuhan Iptek, Kementerianm Negara Riset dan Teknologi RI, prinsip dasar bangunan antigempa itu sederhana. Syaratnya, seluruh struktur bangunan saling berkait satu sama lain sehingga beban atau gaya yang diterima akan ditanggung dan disalurkan secara merata dan proporsional pada titik-titik konstruksi.

Pada bangunan modern, agar konstruksi bangunan kuat, ujung besi kolom, sloof, maupun beton rangka atap harus saling terkait. Unluk itu memang perlu tambahan besi beberapa sentimeter. Kalau dihitung untuk seluruh bangunan, dananya memang bisa lumayan juga besarnya, tapi konstruksi yang dihasilkan jelas jadi kuat. Pada konstruksi kayu perlu dipasang balok penopang antara kolom dan balok atas. Sedangkan rangka atap harus diikat pada balok atau kolom.

Selain struktur saling mengait, kekuatan bangunan juga ditentukan oleh bentuk bangunan yang simetris (segi empat atau bujur sangkar). Bentuk beraturan lebih kuat daripada yang tidak, asal konstruksinya benar, terutama pada bagian-bagian di pojok atas. Jika terguncang gempa, pada konstruksi berbentuk kubus atau balok akan terjadi pergeseran, di mana bidang atas akan lebih lambat dibandingkan dengan bidang bavvah.

Karena itu, bidang bangunan (tampak depan atau belakang) akan berubah bentuk menjadi jajaran genjang. Bagian pojok yang tadinya bersudut 90°berubah menjadi tidak siku lagi.

Prinsip kedua bangunan antigempa yaitu menjaga kekukuhan bagian konstruksi yang rawan kerusakan. Selain pojokan, bagian lain yang rawan kerusakan yaitu daerah bukaan (pintu, jendela, lubang angin). Karena itu daerah bukaan ini perlu perhatian khusus. Tembok dengan bukaan ibarat aliran sungai yang di tengahnya berdiri pohon atau tiang jembatan.

Maka, saat memasang konstruksi pintu atau jendela, jangan lupa memasang sengkangnya.

Kalau bangunan tidak simetris, misalnya berbentuk huruf "U" atau "L", mau tidak mau konstruksinya harus dipisahkan menjadi bentuk-bentuk yang beraturan. Selain itu, pada bangunan segi empat, perbandingan sisi satu dengan sisi lainnya tidak boleh lebih dari sepertiganya. Syarat ini seperti yang dicantumkan dalam draf awal kriteria untuk merencanakan dan membuat rumah sederhana tahan gempa pascagempa Nangroe Aceh Darussalam (NAD), 2004 lalu.

Jadi, jika tampak depan 6 m, misalnya, maka panjang ke belakang tidak boleh lebih dari 18 m. Ini dimaksudkan untuk mengurangi gaya puntir yang terjadi pada saat gempa.

Diganjal karet

Di luar konsep rumah tahan gempa, "Perlu dilakukan mikrozonasi, yakni memetakan daerah rawan gempa," kata Pariatmono. Mikrozonasi bisa menjawab pertanyaan, mengapa dalam suatu areal terdapat bangunan yang rusak parah, tapi ada yang "segar bugar". Padahal jarak lokasi bangunanbangunan itu saling berdekatan.

Hal semacam itu sering terjadi, misalnya di sebuah kompleks perumahan di Bengkulu, dan mungkin juga di Yogyakarta dan sekitarnya. "Yang namanya kompleks perumahan tentunya material yang digunakan dan waktu pembangun-annya sama," kata Pariatmono sembari menambahkan, untuk melakukan mikrozonasi memang dibutuhkan dana besar karena skalanya cukup detail, meliputi wilayah kelurahan, bahkan Rukun Warga, per unit zonasi.

Mikrozonasi itu antara lain juga untuk memetakan struktur tanah. Mendirikan bangunan di atas tanah liat berbeda dengan di atas tanah berpasir, misalnya. Perbedaan kedua jenis tanah ini tegas. Tanah berpasir termasuk jenis immediately settlement (cepat mantap).

Artinya, sekali mendapat beban, langsung turun untuk selamanya karena sifat pasir yang tidak "memegang" air. Sedangkan tanah liat yang bersifat sebaliknya termasuk jenis long term settlement. "Pada tanah liat air butuh waktu untuk mengalir," ujar Pariatmono.

Bukan berarti tanah berpasir serta merta pasti lebih baik sebagai pijakan dasar sebuah bangunan. Sebab, pada tanah berpasir ada gejala liquid faction yang mesti diwaspadai. Cobalah masukkan pasir basah ke dalam gelas. Ketika gelas digoyang-goyang, air akan naik ke atas, dan pasir kehilangan daya dukungnya. Kira-kira seperti itulah fenomenanya. Keadaan ini tentu sangat berbahaya apabila di atas tanah berpasir didirikan bangunan.

Mudah ditebak, bangunan itu tentu akan luruh ke bawah. Meski masih belum jelas betul kebenarannya, fenomena macam ini terjadi pada bangunan sebuah hotel yang amblas sedalam satu lantai di NAD.

Alternatif lain yang ditawarkan Pariatmono yaitu konstruksi bangunan kayu. Katanya, rumah dari kayu punya ketahanan lebih baik terhadap goyangan gempa. Dasarnya yaitu hukum Newton, yang merumuskan bahwa gaya sebuah benda merupakan perkalian antara massa (bobot) dengan percepatan yang diperoleh benda itu (F = m x a). Dari situ terlihat mengapa rumah kayu yang bobotnya lebih ringan relatif lebih tahan gempa dibandingkan dengan rumah tembok yang bobotnya lebih berat.

Dengan percepatan yang sama, gaya yang menimpa rumah kayu lebih kecil daripada rumah tembok. Meski begitu, rumah kayu bukannya tidak punya kelemahan. Selain harga belinya semakin mahal, perawatannya juga lebih njelimet dan privasinya kalah ketimbang rumah tembok. Dari rumus Newton itu, bobot bangunan jelas tidak bisa diotak-atik. Yang bisa dilakukan tinggal bagaimana mengurangi besaran percepatannya.

Di beberapa negara maju seperti Amerika Serikat dan Jepang, percepatan itu dikurangi dengan memisahkan bagian atas dan bagian bawah bangunan menggunakan peredam karet. Seperti halnya mobil, yang harganya mahal tentu lebih lembut guncangannya ketimbang mobil murah ketika melewati jalanan rusak. Karet berbentuk lingkaran dengan diameter sekitar 15 cm dan tinggi 20 cm itu dipasang di antara lantai satu dan lantai dua atau tembok dengan atap kalau bangunan itu berlantai satu. Teknik ini sudah diterapkan di salah satu bangunan di daerah Pelabuhan Ratu, Jawa Barat.

Suasana ketika gempa Yogyakarta 2006

Di atas umpak

Memang, jer basuki mawa bea, untuk mendapatkan nilai lebih dibutuhkan biaya yang lebih juga. Jika sejumlah alternatif tadi masih dirasa belum terjangkau, Akademi Teknik Mesin Indonesia (ATMI) di Surakarta menawarkan konsep terbaru rumah antigempa lain yang diberi nama "Smart Modula". Konstruksi rumah ini sangat lentur, mudah dibangun dengan sistem bongkar-pasang, dan cukup kukuh.

Awalnya, ide ini bukan sebagai rumah tahan gempa, tapi pengganti tenda darurat pascabencana. Konsep awal yang menyerupai kontainer tidak bisa berkembang karena beratnya. Ide itu kembali digali saat terjadi gempa di NAD dan Pulau Nias. Meski konsepnya rumah sederhana, menurut penciptanya yang juga Direklur ATMI, B.B. Triairnoko, SJ, standar kualitasnya bisa dipertanggungjawabkan.

Struktur kerangka utama "Smart Modula" menggunakan besi kanal C. Semula digunakan besi pipa yang dinilai kuat dan kukuh, tapi Triatmoko lalu memilih besi kanal C karena lebih ringan dan cukup dirakit oleh tiga orang. Juga tidak diperlukan derek lagi seperti saat menggunakan keranga besi pipa.

Ada dua jenis besi kanal C yang digunakan, yakni hot deep galvanis dan zinc alumunium (54% Zn, 46% Al). Jenis pertama mampu bertahan sekilar 10 - 15 tahun tanpa dilapisi pelindung atau cat. Sementara zinc alumunium yang dilapisi pelindung antikarat mampu bertahan bingga 20 tahun.

Struktur itu sanggup menahan getaran gempa karena dihubungkan dengan batu. Agar bisa bergerak fleksibel saal terkena guncangan hebat, lubang baut sengaja dibuat berbentuk oval. Ada semacam ruang yang memungkinkan baut bergerak ke kiri dan dan ke kanan maupun ke atas dan ke bawah. Struktur utama "Smart Modula" ditopang oleh umpak batu di setiap sudut rumah. Ini mengingatkan kita pada model rumah tradisional Jawa yang kini sudah banyak ditinggalkan.

Bobot konstruksi akan jauh berkurang jika besi kanal C diganti dengan bahan serai (fiber) komposit. Lagi-lagi ini akan mengurangi jumlah tenaga kerja dan mempercepat pengerjaan. Untuk bisa mengangkat serat komposit sepanjang ruas utama kerangka rumah hanya diperlukan tenaga satu orang. Sedang untuk mengangkal besi kanal C dibutuhkan minimal dua orang.

Teknologi serat komposii yang sudah dikembangkan di Cina ini sudah dikuasai oleh pihak ATMI. Selain tahan karat dan api, kekuatannya sebanding dengan besi kanal C. Hanya saja jika dikaitkan dengan konsep sederhana, menjadi agak kedodoran sebab harga serat komposit jauh lebih mahal.

Mau pilih konsep rumah tahan gempa yang mana? Jawabannya tentu tergantung pada anggaran yang ada. Yang pasti, dengan rumah antigempa korban jiwa bisa dikurangi ketika kulit Bumi sedang genit “bergoyang pinggul”. Datangnya gempa memang bisa diprakirakan, tapi kapan persisnnya akan terjadi, tidak ada yang lahu pasti.

Mengingat wilayah kita termasuk kawasan yang dikepung oleh potensi ancaman gempa bumi, maka segeralah kenakan "sabuk keselamatan" di rumah Anda!

Artikel ini pernah tayang di Intisari Juli 2006, ditulis oleh Yds Agus

Artikel Terkait