Sebenarnya, Abdurrahman menolak sejumlah doktrin yang diajarkan kepadanya, seperti doktrin yang menganggap negara Indonesia dan pemerintahannya serta para pemimpinnya adalah kafir.
Begitu juga dengan polisi serta TNI yang dianggap sebagai ansharut thaghut atau pembela kafir.
Sayang, untuk menyampaikan penolakannya itu, Abdurrahman tidak memiliki pengetahuan yang cukup.
"Tapi saya untuk menolak polisi, TNI, dan penegak hukum (bahwa) tidak kafir, saya tidak punya ilmunya karena di sekeliling saya alirannya begitu," katanya.
Berubah karena Kalapas
Menurut Abdurrahman Taib, tidak mudah mengubah pola pikir orang-orang yang sudah terpapar aliran radikal. Dirinya sempat maju mundur saat hendak memutuskan untuk meninggalkan paham radikal yang didapatnya.
Hingga akhirnya, Farid Junaedi yang merupakan Kepala Lapas (Kalapas) Merah Mata Palembang waktu itu mendekatinya. Saat itu, Abdurrahman menjalani masa tahanan di lapas tersebut.
"Pak Farid ini mendekati kami sehingga kami menganggap sebagai manusia yang dimanusiakan," katanya.
Awalnya, Farid yang saat ini menjadi Kepala Lapas Lowokwaru, Kota Malang, Jawa Timur, memintanya untuk diajari mengaji. Abdurrahman melihat kesungguhan Farid dalam beribadah dan membuat Abdurrahman terenyuh.
Kondisi itu lantas menjadi salah satu penyebab Abdurrahman melepas paham radikal yang dianutnya.
"Awalnya saya yang ngajari memang. Tapi saya belum pernah mengamalkan ngaji sehari satu jus (Al Quran). Dia bisa sehari satu jus. Saya gurunya kok tidak bisa. Beliau ini Kalapas kemudian ngajinya baik, shalatnya baik, tahajud pula," katanya.
Hubungannya dengan kalapas itu terus membaik dan Abdurrahman mendapatkan surat keputusan (SK) bebas bersyarat pada tahun 2015.
(Andi Hartik)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Kisah Seorang Napi Teroris yang Gagal Ledakkan Bom karena Wanita Berjilbab".
Source | : | Kompas.com |
Penulis | : | Ade Sulaeman |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR