Advertorial
Intisari-Online.com -Abdurrahman Taib (45) merupakan mantan narapidana (napi) teroris. Ia terbukti melakukan tindak pidana terorisme sebagai ketua kelompok teror di Palembang, Sumatera Selatan.
Pada tahun 2009, Abdurrahman Taib mendapatkan vonis pengadilan selama 12 tahun penjara. Namun, ia hanya menjalani hukuman selama tujuh tahun penjara karena pada 2015 ia mendapatkan kebebasan bersyarat.
Abdurrahman termasuk narapida teroris yang akhirnya menyesali perbuatannya. Saat ini, ia sudah kembali ke kampungnya di Kelurahan Suka Jaya, Kecamatan Suka Rame, Kota Palembang. Ia membuka usaha kuliner dengan berjualan nasi dan mi goreng.
Pada Selasa (5/6/2018), kepada ratusan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) kelas I Lowokwaru, Kota Malang, Jawa Timur, Abdurrahman menceritakan pengalamannya, mulai dari awal masuk ke jaringan teroris hingga akhirnya menyesali perbuatannya.
Baca juga:(Video) Sadis! Kesal Cinta Ditolak, Pria Ini Tembak Mantan Pacar di Depan Asramanya
Awalnya, Abdurrahman mengaku bergairah untuk menjalankan perintah agama. Ia pun mengaku mengikuti sejumlah pengajian keagamaan.
Perjalanannya memasuki dunia teror bermula saat ia berkenalan dengan pelarian kasus terorisme dari Singapore pada tahun 2004. Melalui perkenalan itu, Abdurrahman mulai terpapar paham radikal. Ia diajari tentang jihad.
"Sedikit sekali saya mempelajari tentang jihad. Yang saya ketahui hal yang tertinggi adalah jihad sehingga orang yang mati dalam berjihad masuk surga. Selain dari pada itu, saya belum berkenalakan secara jauh tentang jihad," katanya.
Karena pemahamannya tentang jihad masih minim, Abdurrahman akhirnya menerima argumentasi tentang jihad yang diajarkan oleh pelarian terorisme Singapura tersebut.
"Apa yang dia sampaikan, saya tidak menbantah karena saya tidak paham tentang jihad sehingga apa pun yang disampaikan tentang jihad kita terima," ujarnya.
Sejak saat itu, paham radikal mengalir dalam pikirannya dan niat untuk menjalankan aksi terorisme yang disebutnya sebagai jihad mulai bangkit.
Sekitar tahun 2005, Abdurrahman yang merupakan pemimpin kelompok Palembang mengembangkan sayapnya dengan memenuhi undangan Noordin M Top di Cilacap.
Noordin M Top merupakan gembong terorisme yang bertanggung jawab atas sejumlah aksi pengeboman di Indonesia. Ia akhirnya tewas dalam penyergapan di Jebres, Solo, pada 16 September 2009.
Baca juga:Setelah Bercerai Seperti Inilah Tempat Tinggal Putri Diana, Jangan Terkejut Ya!
"Setelah saya berkenalan dengan Noordin, saya diajari cara membuat bom. Macam-macam bomnya. Ada (bom) Tupperware dan pipa. Tinggal variasi saja. Ternyata buat bom gampang. Dan banyak yang sudah saya buat. ( Bom) 25 lebih di Palembang itu buatan saya dan teman saya. Kalau diledakkan lumayan juga," kata Abdurrahman.
Gagal ledakkan bom
Setelah itu, Abdurrahman bersama kelompoknya merencanakan aksi teror. Sasarannya adalah sebuah kafe di Bukit Tinggi, Sumatera Barat. Tujuannya untuk membunuh warga asing yang dianggapnya kafir.
Saat itu, selaku kelompok teroris yang berafiliasi dengan kelompok Noordin M Top dan Al Qaeda, Abdurrahman mengaku diperintahkan untuk membunuh warga Amerika Serikat (AS) di mana pun berada.
Setelah perencanaan matang dan bom sudah berada di posisi yang ditargetkan, Abdurrahman akhirnya menggagalkan upaya pengeboman itu sendiri.
Alasannya, karena ada seorang perempuan memakai jilbab yang masuk ke dalam kafe tersebut.
"Ketika sudah akan diledakkan, mungkin Allah belum menghendaki diledakkan, masuk wanita berjilbab di dalam kafe yang banyak turis itu. Bom sudah siap. Tombol satunya sudah on, sudah tinggal satunya lagi," katanya.
"Setelah ditunggu (wanita berjilbab) tidak keluar-keluar, akhirnya gagal. Karena kita perhitungkan itu adalah saudara Muslim. Akhirnya bomnya di off-kan tidak terjadi hari itu. Besoknya dicoba lagi, ternyata gagal lagi," terangnya.
Saat itu, aksi teror yang dilakukannya menggunakan remot kontrol, tidak menggunakan aksi bom bunuh diri seperti yang kebanyakan terjadi.
Lalu pada tahun 2008, Abdurrahman tertangkap dengan sejumlah barang bukti bom yang dibuatnya. Pada 2009, ia divonis 12 tahun penjara.
Sebenarnya, Abdurrahman menolak sejumlah doktrin yang diajarkan kepadanya, seperti doktrin yang menganggap negara Indonesia dan pemerintahannya serta para pemimpinnya adalah kafir.
Begitu juga dengan polisi serta TNI yang dianggap sebagai ansharut thaghut atau pembela kafir.
Sayang, untuk menyampaikan penolakannya itu, Abdurrahman tidak memiliki pengetahuan yang cukup.
"Tapi saya untuk menolak polisi, TNI, dan penegak hukum (bahwa) tidak kafir, saya tidak punya ilmunya karena di sekeliling saya alirannya begitu," katanya.
Berubah karena Kalapas
Menurut Abdurrahman Taib, tidak mudah mengubah pola pikir orang-orang yang sudah terpapar aliran radikal. Dirinya sempat maju mundur saat hendak memutuskan untuk meninggalkan paham radikal yang didapatnya.
Hingga akhirnya, Farid Junaedi yang merupakan Kepala Lapas (Kalapas) Merah Mata Palembang waktu itu mendekatinya. Saat itu, Abdurrahman menjalani masa tahanan di lapas tersebut.
"Pak Farid ini mendekati kami sehingga kami menganggap sebagai manusia yang dimanusiakan," katanya.
Awalnya, Farid yang saat ini menjadi Kepala Lapas Lowokwaru, Kota Malang, Jawa Timur, memintanya untuk diajari mengaji. Abdurrahman melihat kesungguhan Farid dalam beribadah dan membuat Abdurrahman terenyuh.
Kondisi itu lantas menjadi salah satu penyebab Abdurrahman melepas paham radikal yang dianutnya.
"Awalnya saya yang ngajari memang. Tapi saya belum pernah mengamalkan ngaji sehari satu jus (Al Quran). Dia bisa sehari satu jus. Saya gurunya kok tidak bisa. Beliau ini Kalapas kemudian ngajinya baik, shalatnya baik, tahajud pula," katanya.
Hubungannya dengan kalapas itu terus membaik dan Abdurrahman mendapatkan surat keputusan (SK) bebas bersyarat pada tahun 2015.
(Andi Hartik)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Kisah Seorang Napi Teroris yang Gagal Ledakkan Bom karena Wanita Berjilbab".