Di antara para tentara Nazi ada yang tidak sepenuhnya Nazi. Orang itu berbicara dengan aksen Austria. Ketika orang itu mengancam Miep di pinggir meja tulis, Miep berdiri dan berbicara setenang mungkin, "Anda orang Wina. Saya juga dari Wina."
Tadinya kalimat itu seperti tak ada pengaruhnya. Namun, dengan cermat si orang Austria itu memeriksa kartu identitas Miep dan memerintahkannya untuk tinggal. "Terima kasih ya Tuhan atas rakhmatMu," kata Miep.
Lututnya gemetar
Orang itu seperti tahu perasaan Miep yang hendak tetap tinggal di kantor dan menyelamatkan apa-apa yang masih bisa diselamatkan.
Pria itu harus menolongnya. Begitu mereka pergi, Miep termenung di kantornya. Bisakah orang Jerman melepaskan teman-temannya jika dibayar uang tebusan yang tinggi? Miep ingin menawarkan hal itu kepada petugas berseragam yang dari Austria tersebut.
Dengan hati berdebar-debar, ia pergi ke kantor pusat Nazi. Padahal ia tahu bahwa beberapa orang yang masuk gedung itu seringkali tidak muncul lagi.
Waktu pertama kali berkunjung, si orang Austria itu tidak sendirian di ruang kerjanya. Itulah sebabnya ia mencoba bertemu keesokan harinya. Ia berkata bahwa ia tak bisa berbuat apa-apa.
Baca juga: Nasib Mengerikan Wanita Korut di Kamp Konsentrasi, Diperkosa Lalu Dibunuh Setelah Melahirkan
Permintaan Miep harus dibicarakan dulu dengan atasannya. Dengan lutut gemetar, pergilah Miep ke ruang yang ditunjuk dan mengetuk pintunya. Tak ada yang membukakan pintu.
Ketika ia akhirnya bisa masuk, ia melihat para pimpinan Nazi sedang mengelilingi radio untuk mendengarkan siaran BBC. Waktu itu perbuatan Miep bisa dijatuhi hukuman mati.
Saat itu Miep berusaha untuk kuat menghadapi situasi. "Siapa pimpinan di sini?" tanyanya. Seseorang berdiri, menghampirinya, memegang pundaknya. "Babi!" gerutunya sambil mendorong Miep dengan kasar keluar ruangan dan menutup pintu. Misi Miep gagal.
Meskipun demikian harapannya untuk bertemu kembali dengan teman- temannya tidak pupus.
Koophuis kembali selama perang, sedangkan Kraler kembali setelah Jerman menyerah. Otto Frank kembali ke Amsterdam di bulan Juni 1945 dan hidup bersama-sama Miep sekeluarga.
Baca juga: Terus Dihantui Mimpi Buruk, Korban Selamat Holocaust Ini Masih Mengenakan Seragam Kamp Konsentrasi
"Kami mempunyai kenangan yang sama. Itu yang penting," kata Miep. Namun demikian kenangan itu hampir tak pernah dibicarakan.
"Masing-masing mengenangnya sendiri-sendiri," kata Miep. Membicarakan kenangan itu sama artinya dengan menguakkan luka lama.
Baru ketika putra Miep, Paul, yang lahir pada tahun 1950 sudah cukup besar untuk memperhatikan dan bertanya, Miep mulai menjelaskan segalanya.
Cerita Anne Frank tentang kehidupannya selama bersembunyi tidak lekas-lekas dibaca Miep. Lukisan gadis itu di kertas dan buku-buku dalam kamar tidur keluarga Frank disimpannya saja dan belakangan diberikannya kepada Otto Frank.
Otto Frank selalu mendesaknya untuk membaca buku itu dan selama itu ia masih punya alasan untuk menghindari membacanya.
Cetakan kedua buku harian Anne sudah hampir terbit ketika akhirnya Miep mau membuka buku harian Anne. "Saya membaca seluruh isinya tanpa beristirahat. Dari kata pertama, saya seolah-olah mendengar suara Anne yang seakan-akan kembali dari kejauhan dan berbicara langsung dengan saya. Reaksi spontan saya adalah rasa syukur bahwa saya tidak membacanya begitu Anne dibawa Nazi walaupun buku itu terletak di samping saya, dalam laci meja tulis. Seandainya saya membacanya, saya mungkin akan membakarnya. Soalnya, tulisan Anne itu amat mengerikan," kata Miep. (Karen Andersen – Intisari Agustus 1987)
Baca juga: Buchenwald, Kamp Konsentrasi Nazi yang Kini Menjadi Tempat Penampungan Pengungsi
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | Moh. Habib Asyhad |
KOMENTAR