Tugu Lilin di Kota Solo tak sekadar asesoris. Ia adalah simbol Pergerakan Nasional yang keberadaannya sempat ditentang oleh Belanda.
---
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-Online.com -Jika memperhatikan baik logo Kota Solo atau logo Persis Solo, kalian akan melihat penampakan tugu lilin di tengah-tengah keduanya.
Di Solo sendiri setidaknya ada dua tugu lilin utama yang tersohor. Yang pertama adalah Tugu Lilin Panjang, kedua Tugu Lilin Penumping. Dua-duanya sarat dengan nilai sejarah dan merupakan cagar budaya.
Tentu saja masih banyak tugu lilin yang tersebar di gang-gang di seantero Kota Solo.
Menurutsitus resmi Kemdikbud, bangunan tugu lilin, terutama yang di Penumping, ternyata telah dibangun sejak 1933 sebagai simbol peringatan 25 tahun berdirinya organisasi pergerakan Boedi Oetomo.
Ketika itu Boedi Oetomo melalui Pemufakatan Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPKI) berinisiatif untuk mendirikan tugu tersebut. Konsep bangunan Tugu Lilin yang ditawarkan Ir.Soetedjo saat itu dianggap memenuhi cita-cita kebangsaan dan mudah dimengerti masyarakat secara umum.
Sebab, bentuk tugu yang ditawarkan menggambarkan kekuatan, sedangkan lilin mempunyai arti penerang jalan. Meski pendirian bangunan saat itu sudah mendapatkan izin dari Pakubuwono X pada akhir November 1933, namun, dalam prosesnya ternyata memiliki banyak hambatan.
Bagaimana tidak, pemerintahan Hindia Belanda sempat menolak pembangunan tugu tersebut karena dianggap sebagai simbol pemberontakan. Bahkan, Pakubuwono X sempat dipanggil Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang saat itu dipimpin oleh Bonifacius Cornelis de Jonge karena mendukung pendirian tugu tersebut.
Pada akhirnya tugu itu berhasil dibangun juga. Meski begitu,tetapmendapatkan reaksi keras dari Pemerintah Hindia Belanda.
Pemerintah Hindia Belanda saat itu menolak pemberian nama tugu tersebut sebagai Tugu Peringatan Pergerakan Kebangsaan 1908-1933. Karena nama tugu tersebut, bahkan Pemerintah Hindia Belanda mengancam akan membongkarnya.
Tapi setelah mediasi kembali dilakukan antara Pakubuwono X dengan Pemerintah Hindia Belanda kala itu, akhirnya tugu tersebut tetap berdiri hingga sekarang dengan nama resminya adalah Tugu Kebangkitan Nasional.
Menurut dosen sejarah Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Heri Priyatmoko, Tugu Lilin itu akhirnya juga digunakan sebagai lambang resmi Persatuan Sepak Bola Indonesia Solo (Persis) yang berdiri pada 1923.
Tidak hanya logo klub sepak bola, Pemerintah Kota Solo saat itu juga menjadikan lambang tugu lilin itu sebagai salah satu maskot pemerintahan. Menurutnya, di balik logo Tugu Lilin itu terdapat makna perjuangan yang mendalam, sekaligus membuktikan bahwa Solo adalah kota pergerakan kemerdekaan.
Melihat sejarah panjang dari berdirinya tugu tersebut, akhirnya pada 2017, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia menetapkan bangunan itu sebagai Cagar Budaya peringkat nasional.
Nama resmi
Mengutip Kompas.com, tugu lilin Kota Solo punya nama resmiTugu Kebangkitan Nasional. Ia dikenal sebagai tugu lilin karena bentuknya menyerupai lilin.
Tugu Lilin sudah beberapa kali berganti nama. Saat selesai dibangun pada Oktober 1934, tugu ini diberi nama Toegoe Peringatan Pergerakan Kebangsaan 1908–1933, seperti dikutip dari laman Kemendikbud.
Tapi nama tersebut ditolak oleh pemerintah Belanda, hingga diubah namanya menjadi Toegoe Peringatan Kemadjoean Ra’jat 1908–1933. Tapi pada akhirnya, nama resmi yang disepakati adalah Tugu Kebangkitan Nasional, yang masih digunakan hingga saat ini.
Tugu Lilin Solo merupakan rancangan Ir. Soetedjo. Filosofi bangunan lilin adalah menggambarkan kekuatan dan harapan masyarakat Indonesia.
Bentuk lilin merupakan bukti semangat kebangkitan nasional dalam perjuangan merebut kemerdekaan RI. Bentuk tugu rancangan Ir. Soetedjo dipilih lantaran dinilai memenuhi harapan dan mengungkapkan cita-cita kebangsaan dengan bahasa yang mudah dimengerti oleh masyarakat umum.
Tugu Lilin Solo berdiri di atas lahan seluas 140 meter persegi dengan tinggi 9 meter.
Tugu Lilin Pajang punya cerita tersendiri. Menurut Kanjeng Nuky yang merupakan pemerhati budaya Kota Solo, Tugu Lilin Panjang sudah ada sejak zaman Kerajaan Pajang. Awalnya memang tidak berbentuk lilin tapi patok kayu, fungsinya sebagai penunjuk arah dan pintu masuk Keraton Pajang.
Selain awalnya tidak berwujud lilin, Kanjeng Nuky menambahkan, tugu lilin Pajang juga awalnya letaknya tidak di tengah-tengah persimpangan jalan, tapi di pinggir. Tugu ini juga beberapa kali ditabrak truk.
Bagi beberapa kalangan, tugu lilin Pajang lebih populer dibandingkan dengan tugu lilin Penumping. Menurut Kanjeng Nuky, itu semata-mata karena fungsinya di kehidupan kiwari.
Pertama, tugu itu adalah sudut paling barat batas Kota Solo. Kedua, karena letaknya yang sangat strategis -- berada di tengah-tengah jalan, di persimpangan tiga jalan utama.