Riwayat Lokalisasi Silir Solo dan Begini Kondisinya Sekarang...

Moh. Habib Asyhad
Moh. Habib Asyhad

Editor

Ini gambaran lokalisasi di Jakarta pada 1948 (zaman revolusi). Tak hanya di Jakarta, Solo juga pernah punya lokalisasi kondang berpusat di Kampung Silir (Wikipedia)
Ini gambaran lokalisasi di Jakarta pada 1948 (zaman revolusi). Tak hanya di Jakarta, Solo juga pernah punya lokalisasi kondang berpusat di Kampung Silir (Wikipedia)

Pada masanya, Kampung Silir pernah menjadi lokalisasi terbesar di Solo, bahkan Jawa Tengah. Riwayatnya berakhir pada 1998.

Intisari-Online.com -Pada masanya, lokalisasi Silir (orang-orang mengenalnya sebagai Siliran) adalah jujuran para pria hidung belang yang ada si Solo dan sekitarnya. Tak yang yang terbesar di kota, tempat ini juga disebut yang terbesar di Jawa Tengah.

Eks lokalisasi Silir (sekarang dikenal Kampung Mojo) berada di Kelurahan Semanggi, Kecamatan Pasar Kliwon, Kota Solo. Konon, kawasan ini adalah kelanjutan dari riwayat panjang bisnis prostitusi yang ada di Kota Solo, yang berkembang setelah berkembangnya modal asing pada 1870.

Dulu, ada tiga lokalisasi terkenal yang identik dengan kota ini. Ketiganya adalah sekitar Kratonan, sekitar Kestalan, dan sekitar Gilingan. Mengutip sebuah artikel yang tayang di Solopos.espos.id, lokalisasi Kratonan dipimpin oleh seorang muncikari Tionghoa bernama Nyah Jengkel.

Keberadaan tiga lokalisasi itu, masih dari sumber yang sama, tentu atas sepengetahuan pemerintah kolonial Hindia Belanda dan pemerintah praja setempat, dalam hal ini adalah Kasunan Surakarta (untuk Kratonan) dan Kadipaten Mangkunegaran (untk Kestalan dan Gilingan).

Walaupun statusnya legal, tetap saja ada aturan yang mesti ditaati semua pihak. Paling tidak, semua aturan terkait lokalisasi itu tertulis dalam buku Pranatan Pasundelan tahun 1858.

Lokalisasi-lokalisasi itu disebut berkembang seiring dengan semakin berkembangnya perindustrian dan perkebunan di wilayah Surakarta. Seperti perkebunan tebu, industri kereta api, pembukaan jalan raya, dan lain sebagainya.

Seolah menjadi hukum alam, di mana ada keraimaian, di situlah lahir bisnis prostitusi.

Lokalisasi Silir atau Siliran berawal ketika Walikota Solo saat itu, Oetomo Ramelan (menjabat sejak 17 Februari 1958), merelokasi para pekerja seks komersial ke kawasan yang berada di bantaran sungai Bengawan Solo itu pada tahun yang sama.

Pada 1960-an, Silir mendapatkan popularitasnya. Ia adalah surganya para pria hidung belang bahkan sampai-sampai disebut sebagai yang terbesar di Jawa Tengah, bersama Lorok Indah di Pati dan Sunan Kuning di Semarang.

Sejak 1998, kawasan ini mulai dibersihkan dan ditutup oleh Walikota Imam Sutopo. Setelah itu, kawasan tersebut dialihfungsikan sebagai pusat barang antik dan barang bekas yang kelak kita kenal sebagai Pasar Klithikan Notoharjo.

Salah satu karya tulis yang membahas tentang lokalisasi di Solo, termasuk di Silir, adalah sebuah Skripsi yang ditulis oleh David Kurniawan dari Ilmu Sejarah, Fakultas Sastra dan Seni Rupa, Universitas Sebelas Maret (UNS). Judulnya "Pelacuran di Surakarta: Studi Kasus Pasca-Penutupan Resosialisasi Silir Tahun 1998-2006".

Skripsi itu membahas tentang perkembangan bisnis esek-esek di kota terbesar di Jawa Tengah itu. Penulis mencatat, bisnis prostitusi di Solo bisa dirunut dari masa Mataram Islam.

Dulu, Kampung Silir dikenal sebagai tempat kuda-kuda keraton dipelihara. Konon, para penjaga kuda yang kerap bermalam di sekitar kandang kuda kerap membawa wanita penghibur untuk "menemani" malam-malam mereka.

Seiring berjalannya waktu, kampung tersebut berubah menjadi "sarangnya" maksiat. Hingga akhirnya ia dipilih menjadi tempat lokalisasi oleh WalikotaOetomo Ramelan pada 1958.

Langkah awal yang dilakukan pemerintah sebelum membuka lokalisasi itu adalah meminta izin kepada pihak Keraton Surakarta. Karena bagaimanapun juga, Kampus Silir adalah bagian dari tanah keraton.

Setelah izin didapatkan, pemerintah kemudian mengumpulkan para germo dan muncikari yang sebelumnya tersebar secara liar. Ada yang di RRI, ada yang di Gilingan, ada yang di Alun-Alun Selatan, dan sebagainya. Mereka dikumpulkan untuk diberikan pengarahan sebelum menjalankan bisnis prostitusi di Kampung Silir. Mereka juga diwajibkan untuk membina para pelacur.

Setelah sekitar 40 tahun beroperasi, pada 1998 kawasan prostitusi ini resmi ditutup. Ketika itu Solo dipimpin oleh Walikota Imam Sutopo. Kawasan Silir diubah menjadi pasar barang anti dan barang bekas yang dikenal sebagai Pasar Klitikan Notoharjo.

Sekarang jadi pusat bisnis

Sebagaimana disebut di awal, Silir sekarang berubah menjadi pusat bisnis, terutama bisnis barang-barang bekas. Tak hanya itu, di lokasi yang sama kini berdiri sebuah masjid megah dan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM).

Perubahan Silir sejatinya sudah dimulai pada 1997. Ketika itu DPRD Kota Surakarta mengajukan rekomendasi penutupan Resos Silir kepada Walikota saat itu, hingga resmi ditutup pada awal 1998.

Yang paling menonjol dari eks lokalisasi Silir adalah Pasar Klitikan Notoharjo. Pasar ini berdiri sejak 2006, menjadi tempat relokasi PKL yang berasal dari kawasan Taman Monumen 45 Banjarsari. Ada sekitar 1000 PKL yang hijrah dari lokasi penjualan lama menuju pasar ini.

Keberadaan Pasar Klithikan Notoharjo hingga saat ini masih menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Surakarta. Selain sebagai pusat jual beli barang bekas, pasar ini juga digunakan untuk memenuhi kebutuhan sekunder hingga kebutuhan tersier masyarakat Surakarta seperti aksesoris kendaraan, alat elektronik, sepatu, pakaian, dan barang lainnya.

Artikel Terkait