Punya Aura Mistis, Ternyata Ini Maksud Dibangunnya Supit Urang di Area Keraton Surakarta

Moh. Habib Asyhad
Moh. Habib Asyhad

Editor

Supit Urang yang berada di aera Keraton Surakarta dibangun dengan filosofi tinggi. Meski begitu, bagi sebagian orang, jalan itu menghadirkan aura mistis tersendiri (Google Maps)
Supit Urang yang berada di aera Keraton Surakarta dibangun dengan filosofi tinggi. Meski begitu, bagi sebagian orang, jalan itu menghadirkan aura mistis tersendiri (Google Maps)

Jalan Supit Urang yang ada di area Keraton Surakarta dibangun dengan tujuan khusus, terutama dalam hal menghalau musuh. Tapi sebagian orang, jalan ini bisa bikin bulu kuduk berdiri.

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com -Melewati Jalan Supit Urang yang ada di area Keraton Surakarta memunculkan sensasi yang berbeda. Terlebih jika kita melakukannya di malam hari.

Beberapa orang mengaku selalu merinding ketika melewati jalan yang diapit tembok-tembok tinggi itu. Felix Brian, sebagaimana dikutip dari Tribun Batam, mengaku sering merasakan suasana yang berbeda saat lewat Supit Urang.

"Sunyi, senyap, kadang bikin merinding," ujarnya.

Baca Juga: Riwayat Villa Liberty, dari Omah Lowo yang Angker Menjadi Rumah Heritage Batik Keris yang Megah

Dia juga mengaku pernahsuatu hari lewat di kawasan itu dan melihat samar-samar sosok bayangan hitam. "Saat itu lewat Supit Urang kihat sosok bayangan hitam, lalu pergi entah ke mana," ucap dia.

Tak hanya Felix, dari cerita yang berkembang, di malam-malam tertentu sering terlihat sosok hitam yang melintas. Terkadang seorang perempuan yang duduk di atas beringin yang tumbuh di sekitar situ.

Pernah juga ada ceirta tukang becak mendapatkan penumpang, seorang perempuan, di sekitar Supit Urang. Ketika diantar, perempaun itu berhenti di depan pintu makam.

Terkait desas-desas itu, budayawan Solo,KGPH Dipokusumo atau Gusti Dipo, menyebut itu sesuatu yang wajar. Dia menerangkan,Keraton Solo pertama kali dibangun dari nalar dan tidak nalar.

"Kenapa dibangun di atas rawa? Ada sejarahnya," ujarnya.

"Masyarakat Jawa membangun keraton dengan empat patokan, yakni IQ ( Intellegence Quotient ), EQ ( Emotional Quotient ), SQ ( Spiritual Quotient ), dan AQ ( Addversity Quotient )," papar Dipo yang merupakan adik Raja Keraton Solo, Paku Buwono XIII.

Dia melanjutkan, empat ilmu kecerdasan itu digabungkan sehingga menjadi satu dan terbentuk Keraton Solo. Selain itu, masyarakat Jawa dahulu dalam membangun sesuatu harus berdasar pada tiga prinsip dasar.

Yakni harus bekerjasama dengan Allah sebagai pencipta, sesama manusia untuk bergotong royong, dan dengan alam dan seisinya. "Nah alam dan seisinya ada yang dapat dilihat dan tak terlihat (magis)," bebernya.

Dari Gusti Dipo kita juga tahu sejarah dibangunnya Supit Urang, sebagaimana dikutip dari Tribun Solo. Dia bilang,nama Supit Urang memiliki arti tersendiri yang terkait dengan sejarahnya.

"Supit artinya jepit (penjepit,-Red), urang adalah udang, dapat disebut juga makanan," kata Dipo. Dia kemudian menjelaskan bahwa menurut sejarah, kawasan tersebut dibangun dengan makna dan filosofi tersendiri.

"Supit Urang merupakan bangunan yang kental dengan strategi perang, lengkapnya ada pada komposisi perang Baratayuda dalam kisah Mahabarata," ucapnya. Dia menyebut, supit digambarkan sebagai lorong jebakan atau penipu musuh yang digunakan pada masa lalu.

Ketika rombongan musuh masuk ke dalam lorong, maka jembatan yang dahulu pernah ada di bagian barat dan timur Supit Urang akan ditutup. Hal ini membuat musuh tidak akan bisa kemana-mana kecuali menaiki tembok keraton, walaupun apabila berhasil melompati tembok itu mereka juga tidak akan selamat.

Pasalnya di balik tembok tersebut sudah berjajar pasukan prajurit keraton yang bersiap untuk membinasakan musuh-musuh. "Nah urang (udang) itu makanan, musuh seperti santapan prajurit saat perang," ujarnya.

"Maka Supit Urang dapat diartikan penjepit makanan atau semacam jebakan dalam strategi perang," imbuh Dipo.

Jika kamu melihatkan dari Google Map, jalan Supit Urang berbentuk hampir setengah lingkaran. Mirip huruf U. Lokasinya berada di tengah-tengah antara Sitihinggil Keraton Surakarta dan Kori Kamandungan Ler. Karena jalannya terhitung sempit, maka ia dibuat satu arah.

Sebelum masuk ke ruas jalan ini, pengendara akan melewati sebuah gerbang yang di atasnya terdapat gapura besi atau plengkung wesi. Pada bagian atas gerbang tersebut tertulis ‘Kori Patjikerran’ serta deretan aksara Jawa yang khas. Hal yang sama akan juga ditemukan pengendara di ujung jalan ini, di mana lokasinya tidak jauh dari Pasar Klewer.

Saat melewati ruas Jalan Supit Urang, pengendara akan masuk ke dalam sebuah lorong yang makin menyempit.

Selain itu, di sepanjang jalan ini pengendara juga hanya akan melihat tembok tebal dan tinggi yang ada di sisi kanan dan kiri. Hal ini yang menjadi alasan lalu lintas kendaraan di ruas Jalan Supit Urang hanya diberlakukan satu arah saja.

Supit Urang ala Jenderal Soedirman

Supit Urang tak hanya milik Keraton Surakarta. Jenderal Soedirman juga punya, tapi dalam bentuk siasat perang, digunakan saat mengusir Belanda dari Ambarawa, Jawa Tengah, pada Pertempuran Ambarawa (20 Oktober 1945 - 15 Desember 1945).

Sang Jenderal menggunakan taktik ini dengangerakan pendobrakan oleh pasukan pemukul dari arah selatan dan barat menuju timur. Sesuai namanya, Supit Urang, taktik ini diikuti dengan gerakan penjepitan dari arah kanan dan kiri sebagaimana halnya seekor udang menjepit mangsanya.

Taktik Supit Urang diterapkan saat Pertempuran Ambarawa, tepatnya setelah salah satu pimpinan pasukan, Letkol Isdiman, gugur. Posisi Letkol Isdiman kemudian digantikan oleh Kolonel Soedirman.

Pada 11 Desember 1945, seluruh komando pasukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan laskar rakyat di bawah kendali Soedirman. Saat memimpin ini, Soedirman mulai memperkenalkan dan membuat rencana untuk melakukan taktik baru dalam pertempuran Ambarawa, yakni taktik yang cepat, cerdik, dan serentak di segala sektor.

Taktik itu dia sebut Supit Urang. Gerakan taktik Supit Urang ini dilakukan dengan cara pendobrakan sekaligus pengepungan rangkap.

Selain itu, taktik ini juga diikuti dengan gerakan penjepitan dari kanan dan kiri sebagaimana seekor udang menjepit mangsanya. Dalam menjalankan taktik ini, Soedirman menugaskan empat kelompok yang terdiri dari beberapa pasukan dengan tujuan musuh benar-benar dalam kondisi terkurung dan komunikasi dengan pusat terputus.

Setelah pertempuran berjalan selama empat hari, pada 15 Desember 1945, pertempuran pun berakhir dan Indonesia berhasil merebut Ambarawa dan Sekutu mundur ke Semarang, Jawa Tengah.

Kemenangan pasukan TKR dalam Pertempuran Ambarawa diabadikan dengan didirikannya Monumen Palagan Ambarawa dan tanggal 15 Desember 1945 diperingati sebagai Hari Jadi TNI Angkatan Darat atau Hari Juang Kartika.

Baca Juga: Riwayat Lokalisasi Silir Solo dan Begini Kondisinya Sekarang...

Artikel Terkait