Bulan Tertusuk Ilalang adalah film ketiga Garin Nugroho, ini adalah sebuah film yang—mengutip istilah HAI–nyeni. Dibiayai pemerintah, enam ratus juta rupiah lebih, serta dapat perlakuan istimewa.
Tulisan ini digubah dari artikel berjudul "Bulan Tertusuk Ilalang: Trauma Masa Kecil" oleh Kristupa Saragih, tayang pada Maret 1995.
---
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-Online.com -Ketika film nasional sedang dalam masa ambruk-ambruknya, nama Garin Nugroho justru meroket, terutama di percarutan sinema internasional. Salah satu filmnya yang paling dikenang adalah Bulan Tertusuk Ilalang (1995), film ketiga Garin.
Dua film Garin sebelumnya juga tak kalah bergelimang penghargaan, Cinta Dalam Sepotong Roti (1991) dan Surat Untuk Bidadari (1994).
Cerita di balik Bulan Tertusuk Ilang (BTI) dimulai ketika, sebagaimana dikutip dari Majalah HAI edisi Maret 1995, Garin tiba-tiba "menghilang" dari Jakarta, dari rumahnya di kawasan Joglo, Jakarta Barat, ke Solo. Di "pusat kebudayaan Jawa" inilah Garin, bersama kru-krunya, banting tulang mengerjakan film tersebut.
"Filmku ini mengisahkan seorang yang sedang mencari jati diri," cerita Garin.
BTI bercerita tentang Ilalang, seorang komposer musik muda, yang punya trauma di masa kecilnya.Terutama dengan kejadian bersama orangtuanya yang penari dan pengusaha batik. Suatu saat, Ilalang belajar komposisi gamelan kepada seorang komposer tua yang bernama Waluyo.
Waluyo sendiri punya istri seorang penari muda bernama Bulan. Di situ juga ada seorang pesinden bernama Wulan yang mengabdi kepada Waluyo. Ketika belajar komposisi gamelan itulah Ilalang jatuh cinta kepada Bulan.
Komposisi musik yang digarap Ilalang adalah ungkapan cinta yang tersamar itu. Waluyo merasakan hal itu dan selalu membakar komposisi ciptaan Ilalang, karena dianggap dangkal dan tidak jujur.
Cinta Ilalang pada Bulan makin membara sekaligus dipenuhi trauma. Hubungan mereka melahirkan komposisi yang dianggap Ilalang sangat bagus. Tapi, kembali, Waluyo membakar komposisi itu. Dia yang tengah sakit, terjatuh. Rumah pun terbakar.
Bulan berduka, dan memilih pergi. Sementara Ilalang tetap tinggal di desa dan membangun kembali rumah Waluyo.
Justru dengan begitu, Ilalang mampu menciptakan komposisi yang agung. Dia mampu masuk dalam kehidupan sehari-hari desa tempat tinggal Waluyo yang penuh keagungan manusiawi.
Bintang lokal
BTI dibuat dengan biaya Rp680 juta, yang ditanggung oleh Dewan Film Nasional dan Departemen Penerangan. Bintang-bintang yang dipakai oleh BTI kebanyakan pemain yang belum terkenal di kancang film nasional.
Ki Soetarman, misalnya, yang memerankan Waluyo, sehari-hari adalah seniman karawitan betulan. Sementara Sri Rahayu yang jadi Wulan, adalah mahasiswi STSI Solo (sekarang ISI Solo) yang kerap jadi pesinden.
Ilalang sendiri diperankan olehNorman Wibowo, yang sehari-hari bekerja sebagai fotografer untuk Asiaweek. Hanya Paquita Wijaya, yang berperan sebagai Bulan, yang merupakan figur yang cukup dikenal. Ketika itu dia adalah seorang model yang tengah merintis karier sebagai penyanyi.
Menurut Garin,judul Bulan Tertusuk Ilalang mencerminkan suatu sensualitas. "Sensualitas yang tertahan. Karena segala sesuatu yang terbatas atau berada di limit itu indah," kata Garin.
Solo dipilih sebagai lokasi syuting karena berbagai pertimbangan. "Dari segi ekonomi, transportasi, dan akomodasi, Solo lebih murah," kata Muhammad Rivai Riza alias Riri Riza, Manajer Produksi film ini.
Dan yang penting, Solo sangat pas dipakai untuk film yang ber-setting budaya Jawa. Selain itu, Garin juga sudah tahu sudut-sudut Solo yang cocok dipakai untuk film ini. Soalnya, dia pernah bikin film dokumenter pernikahan agung GRAy Koes Moertiyah (Gusti Moeng) dan video klip di daerah Wedi, Klaten.
"Aku selalu memanfaatkan lingkungan setempat. Misalnya waktu aku di Sumba untuk syuting Surat Untuk Bidadari. Aku memanfaatkan keadaan alam yang berpadang rumput dan kultur masyarakatnya. Itu juga aku lakukan di sini. Aku memanfaatkan budaya Solo dan bangunan yang sudah ada di sini," kata Garin.
Pemanfaatan kultur budaya dan keadaan geografis setempat memang sudah jadi ciri Garin sejak film pertamanya. "Kalau sutradara lain harus membangun dan menciptakan set, dia melakukannya dengan memanfaatkan keadaan yang sudah ada di lokasi syuting," kata Riri yang sudah jadi asisten Garin sejak di Institut Kesenian Jakarta (IKJ).
Bikin hujan buatan, eh, hujan beneran
Syuting BTI dilakukan di enam lokasi. Yakni Mojolaban (pabrik gamelan), Jimbung, Bayat, Wedi, Keraton Kasunan, dan Kampung Sewu. Syuting di Makam Bayat dilakukan sehari penuh lantaran ada tiga scene yang perlu diambil. Dan ada adegan yang butuh hujan buatan.
Untuk yang terakhir itu dikerahkan dua mobil pemadam kebakaran dari Klaten. Sayang tenaga semprotan airnya kurang besar. Butiran hujan buatannya terlalu kasar. Sehingga kru pun harus melakukan beberapa take.
Ndilalah,pada sore harinya malah turun hujan lebat. Sayang, terlalu lama, sehingga adegan berikutnya, yang memakai banyak figuran, sulit dilakukan. Apalagi genset-nya lantas mati lantaran korslet. Ada sambungan kabel yang kemasukan air. Alhasil, syuting dilanjutkan dengan available light.
Syuting ending scene di Kampung Sewu, Jebres, dilakukan pada hari berikutnya. Ada sekitar 15 anak kecil setempat yang dikerahkan menjadi figuran. Daun pepohonan dan tanah disirami air untuk memberi kesan segar saat pagi hari.
Take 1 dilakukan dengan lancar. Tapi Garin belum puas. Matahari waktu itu berpindah-pindah. Belum lagi saattake itu berjalan, azan salat Ashar berkumandang. Langsung cut.
"Kita di sini memang harus bisa bersahabat dengan lingkungan," kata Udin yang jadi asisten production mixer. Makanya, Jun Mahir, yang punya tanggung jawab sebagai sound recording selalu mencatat hal-hal tersebut di atas di meja kerjanya.
Perekaman suara dalam film ini memang dikerjakan secara langsung (direct sound). Karena sistem itulah, biaya jadi membengkak. Apalagi Garin sering merekam scene panjang tanpa putus. Bahkan ada yang sampai sepuluh menit.
"Paling banyak sih selama ini cuman enam kali take aja untuk satu adegan. Tapi bisa juga satu take langsung OK," kata Udin.
Musik untuk film ini dikerjakan Suka Hardjana yang akrab dipanggil Pak Suko itu. Seluruh komposisi dikerjakan dengan gamelan Laras Slendro. Pak Suko menggarapnya bersama beberapa mahasiswa dan dosen STSI. Sedangkan proses rekaman dilakukan di Lokananta, Solo.
Selama 1,5 bulan, Pak Suko mengerjakan komposisi sepanjang 1 jam jam 40 menit yang lantas dibagi jadi 24 bagian. Motif gamelannya saat tuning in memakai model Tintingan Menyuro dan Songo. Dan seluruh rangkaian komposisi ternyata telah selesai dikerjakan sebelum syuting dimulai.
"Ini merupakan suatu terobosan. Gamelan menjadi alat musik utama untuk musik film. Selama ini kan kebanyakan memakai alat musik Barat," kata Pak Suko yang pernah menjadi dosen di Concervatorium Musik De Freien Hansestadt Bremen, Jerman.
"Saya membuat musik film ini bukan sebagai ilustrasi. Apalagi sekadar tempelan. Saya membuat sebagai idiom bahasa ekspresi film," tambahnya.
Harap dicatat juga, syuting film ini sangat terjadwal. Pokoknya jatah waktunya cuma 35 hari. Sementara seluruh proses produksi harus sudah selesai sebelum 15 Maret 1995.
Tak hanhya itu,film ini seolah mendapat perlakuan istimewa dari DFN dan Deppen. Antara lain terlihat dari pemberian izin proses pasca-produksi di luar negeri. Cuci cetaknya dilakukan di Singapura, sementara proses suara di Los Angeles.
Tahu sendiri kan, ketika itu film Indonesia lainnya nggak boleh melakukan proses macam itu di luar negeri?