“Soegija adalah Perayaan Multikulturalisme”

K. Tatik Wardayati

Editor

?Soegija adalah Perayaan Multikulturalisme?
?Soegija adalah Perayaan Multikulturalisme?

Intisari-Online.com – Garin Nugroho mempersembahkan sebuah film baru yang akan ditayangkan pada tanggal 7 Juni mendatang. Film yang dituturkan dengan pendekatan sejarah popular-romantis ini, mengisahkan tentang seorang imam Katolik, Romo (Pastor) Soegijapranata yang diangkat Vatikan menjadi uskup pribumi pertama di Indonesia. Tak lama setelah meninggal pada tahun 1963, ia diangkat menjadi Pahlawan Nasional.

Kisah yang berlatar peristiwa tahun 1940-1950 itu menggambarkan tentang kerja kepemimpinan, “silent diplomacy”, serta prinsip kebangsaan dan kemanusiaan Soegija. Beragam kisah manusia kemanusiaan yang penuh dimensi ditampilkan dalam film ini. Mariyem (Anissa Hertami), remaja yang ingin menjadi perawat dan kehilangan kakaknya; kisah kemanusiaan serdadu Jepang (Suzuki) yang harus berperang namun mencintai anak-anak; kisah serdadu Belanda (Robert) yang menjadi mesin perang tapi tak bisa mengingkari rasa kemanusiaannya; kisah fotografer Belanda (Hendrick) yang terjebak perang dan rasa cinta kepada Mariyem; kisah gerilyawan remaja buta huruf; kisah Ling Ling si gadis kecil Tionghoa yang mencari ibu dan mempertanyakan nasibnya; kisah gerilyawan (Lantip) yang hidup untuk mengorganisir anak muda untuk berjuang; serta kisah Pembantu Uskup (Koster Toegimin, diperankan Butet Kartarejasa) yang hidup sendiri dan menjadi teman dialog Sogija dalam kesehariannya.

Film ini bukanlah mengisahkan sejarah pribadi Sogija dalam kerja maupun persoalan agama. Namun,Soegija mengisahkan bagaimana salah satu pemimpin agama dari beragam agama di Indonesia dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia yang multikultural. Di masa depan mungkin perlu kembali diangkat jiwa kepemimpinan dari beragam agama dan kepercayaan di Indonesia.

Kata-kata Soegijapranata seperti “Politikus tanpa mental politik, hanya jadi kekuasaan dan benalu negara”, “Masih banyak fatalsisme, egoisme, chauvinisme, dan fanatisme yang mengganggu kehidupan bermasyarakat”, “Apa artinya menjadi merdeka, tanpa bisa mendidik diri sendiri?”, masih relevan dengan masa sekarang.

Disajikan apik oleh Garin, film ini mengalir indah dengan beragam plot. Setting era 1940-an tergambarkan apik, juga tata artistik, tata busana kostum, dll.

Musik yang ditata oleh Jaduk Ferianto berisi gabungan pelbagai langgam, jenis, dan bahasa, bahkan sampai lagu populer yang diinterpretasikan secara masa lalu.

Gabungan visual ala “Hollywood-Eropa” dengan perasaan-perasaan kehidupan Asia khususnya Indonesia disajikan dari keberagaman dimensi visual kehidupan. Dengan pemain asli dari negaranya, baik Jepang maupun Belanda, membuat semakin beragamnya sajian gambar.

Garin, dalam perbincangan dengan wartawan seusai preview film itu, Kamis (24/5) kemarin menyatakan, sekalipun berlatar sejarah, film ini bukanlah film sejarah. “Saya menyebutnya sebagai bentuk perayaan keragaman, keragaman Indonesia.”

Sedangkan Nirwan Dewanto, sastrawan yang memerankan Soegija, menyatakan, “Saya mengambil risiko untuk ikut dalam perayaan keragaman Garin. Dari dunia sastra, untuk pertama kalinya saya masuk ke film. Ada risiko gagal, tapi ada juga risiko berhasil.”

Antropolog Dr. Moeslim Abdulrahman memberi apresiasi atas munculnya film ini. “Ini sebuah sumbangsih Garin yang sungguh penting mengingat banyak di antara kita yang lupa sejarah.” (*)