Hari Film Nasional: Sinematek Indonesia, Ironi Tak Kunjung Henti

Moh Habib Asyhad

Editor

Hari Film Nasional: Sinematek Indonesia, Ironi Tak Kunjung Henti
Hari Film Nasional: Sinematek Indonesia, Ironi Tak Kunjung Henti

Intisari-Online.com -Kedahsyatan Sinematek Indonesia menjadi ironi bangsa yang katanya mau membangun kecerdasan. "Gaji tertinggi di sini hanya Rp1 juta lebih dikit, rata-rata bahkan di bawah Rp1 juta, dengan kemampuan yang juga terbatas," ujar kepala Sinematek sekarang, Adi Pranajaya, kepada Intisari. (Wawancara ini dilakukan pada 2009).

Memang, tidak ada yang berijazah SI, apalagi bidang perpustakaan dan teknologi informasi, yang pada abad digital tentu merupakan prasyarat lembaga dokumentasi modern, agar dapat saling berbagi data dengan segera.

Dana, jelas merupakan kendala terbesar, karena uang operasi tiap bulan yang tidak pernah melebihi Rp2-3 juta per bulan, sebagai bagian dari Rp24 juta yang tiap bulannya menghidupi 17 karyawan. Ini membuat mesin pembersih film sumbangan pemerintah Jepang pada 1994 tidak pernah berfungsi, karena bahan kimia trichloroethane sebanyak 20 1 yang dibutuhkan untuk membersihkan 10 film saja harganya sekitar Rp900.000. Jika dituruti, para karyawan bisa "puasa".

Oleh sebab itu, pembersihan film, yang merupakan tugas reguler Sinematek, dilakukan secara "manual" alias lap dibubuhkan oleh tangan manusia pada seluloid, setelah dicelupkan ke trichlomethane tadi. Dengan cara ini, hanya perlu 10 1 untuk membersihkan sekitar 25 film. Tentu saja ini bukan hemat pangkal kaya, melainkan hemat terpaksa. Mesin itu sendiri menganggur sejak diserahkan, dan cukup "dihidupkan" jika ada pengunjung berminat melihatnya.

Bertempat di Pusat Perfilman H. Usmar Ismail di bilangan Kuningan sejak 1997, di tengah denyar kesibukan kawasan bisnis Segitiga Emas, keberadaan Sinematek Indonesia yang sebetulnya diakui pemerintah dengan penganugerahan Bintang Budaya Parama Dharma kepada Misbach Yusa Biran tahun 2008, tetapi dalam kenyataannya diterlantarkan, menimbulkan pertanyaan: benarkah bangsa dan negara Republik Indonesia menganggap ilmu pengetahuan sebagai sesuatu yang penting?

Dalam hal film, banyak yang melihatnya hanya sebagai potensi bahaya kerusakan moral sahaja tampaknya. Dari kelengkapan data Sinematek itulah sebenarnya, segenap persoalan tentang media film dapaK dipertimbangkan dengan bertanggung jawab.Artikel ini pernah ditulis di Intisari edisi Juli 2009 dengan judul "Sinematek Indonesia, Kebanggaan yang Tertelantarkan".