Tingkah Laku Sungai-sungai di Jawa, yang ke Utara dan Selatan Berbeda

Tim Intisari

Editor

Sungai-sungai di Jawa, Bengawan Solo salah satunya, ternyata punya sifat masing-masing. Yang bermuara ke utara beda dengan yang ke selatan (Collectie Wereldmuseum (v/h Tropenmuseum), part of the National Museum of World Cultures/Wikipedia Commons)
Sungai-sungai di Jawa, Bengawan Solo salah satunya, ternyata punya sifat masing-masing. Yang bermuara ke utara beda dengan yang ke selatan (Collectie Wereldmuseum (v/h Tropenmuseum), part of the National Museum of World Cultures/Wikipedia Commons)

Sungai ternyata seperti orang. Ada yang kalem-kalem saja, tapi tiba-tiba bisa galak. Ada yang sifatnya bersahabat, ada pula yang ganas. Begitu kata Ir. H. Mardjono Notodihardjo, pakar persuangaian yang pernah jadi Dirut PT Bina Karya (Persero).

Penulis: Heru Kustara untuk Majalah Intisari Mei 1990

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com -Bengawan Solo adalah salah satu sungai di Jawa yang tabiatnya kalem-kalem saja. Suasana di sisi timur Kota Solo itu romantis, sampai-sampai seniman seperti Gesang dan Arimah (Maladi) tergelitik menggubah lagu.

"Tapi, kalau sedang muncul galaknya, seperti yang terjadi berkali-kali, meluaplah dia sampai jauh," ujar Ir. Mardjono dalam wawancara dengan Majalan Intisari pada pertengahan 1990 lalu.

Yang paling sering ketiban sial adalah wilayah Bojonegoro di Jawa Timur. Misalnya pada awal 1990, areal seluas 22.000 ha – termasuk sawah dan permukiman - tergenang air setinggi 1 m, membuat sekitar 100.000 jiwa yang menghuni 13.000 rumah terpaksa mengungsi.

"Sungai Citarum juga begitu," cerita Ir. Mardjono.

Ibarat manusia ia bisa dibilang genit. Alurnya berliku-liku membentuk badan sungai yang aduhai.

Penampilannya tenang bak mojang geulis yang sedang tidur. Namun, kalau mojang Priangan itu terbangun, bisa berubah menjadi raseksi banjir yang menakutkan.

"Karena energi yang terkandung memang luar biasa besarnya," tambah Mardjono.

Meski begitu, Bengawan Solo tetaplah berkah. Ia bisamenghasilkan energi puluhan megawatt listrik, mengairi ratusan ribu hektar sawah, menyediakan air industri, juga tempat rekreasi lewat Waduk Gajah Mungkur.

Pun begitu dengan Sungai Citarum yang berhulu di kaki Gunung Wayang di Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Energi besarnya yang tersembunyi juga tak dibiarkan begitu saja lenyap di Laut Jawa.

Sejak tahun 1967 di bagian hilirnya sudah dibendung menjadi Waduk Serbaguna Jatiluhur di Purwakarta. Berkat waduk ini tanah pertanian antara Kali Bekasi dan Cipunegara, termasuk Karawang, lantas menjadi salah satu lumbung padi terbesar di Indonesia.

Air Citarum juga dipakai membangkitkan daya listrik 187 MW (data terbaru berdasarkan situs Kementerian PUPR). Bahkan penduduk Jakarta ikut pula menikmati air minum yang disalurkan lewat Saluran Tarum Barat, yang kemudian bergabung dengan Kali Ciliwung, sebelum ke Instalasi Penjernihan Air Pejompongan.

Kurang dari 20 tahun kemudian, menyusul Waduk Saguling yang melintang megah di hulu Citarum yang potensial sebagai pembangkit listrik tenaga air dengan daya yang tak kalah besarnya.

Meski begitu, sayang seribu sayang, Waduk Saguling masih belum bisa mengendalikan banjir yang sering meluap di wilayah Bandung Selatan.

Cimanuk dan Kali Serang, lambang persaudaraan

Sungai Cimanuk di Jawa Barat lain lagi perilakunya. Meski kadang-kadang banjir, sungai yang bermata air di kaki Gunung Mandalagiri (1.831 m), selatan Kota Garut, dan bermuara di Tanjung Indramayu di pantai Laut Jawa, tampak sangat bersahabat.

Puluhan ribu hektar sawah di dataran Cirebon dan Indramayu menikmati airnya dari Bendungan Rentang. Sama halnya dengan Kali Serang di Jawa Tengah yang mengairi puluhan ribu hektar sawah di dataran Demak dan Kudus lewat Bendungan Sedadi.

"Kedua sungai itu merupakan lambang persaudaraan antara manusia dengan alam," ujar Mardjono. Namun, kalau lagi kumat, tetap saja airnya meluber ke mana-mana.

Penduduk wilayah sepanjang sungai, tak cuma terancam banjir air, tapi kadang-kadang juga muntahan hasil letusan gunung berapi.

Kali Brantas di Jawa Timur, misalnya, bersama anak-anak sungainya yang di antaranya bersumber di kaki Gunung Kelud (1.731 m), dikenal ganas gara-gara ikut menyebarkan bencana letusan Gunung Kelud.

Kecuali memuntahkan lahar panas, Gunung Kelud meninggalkan material letusan di lerengnya, yang bisa berubah menjadi ancaman lahar dingin yang tak kalah ganasnya di musim hujan. Lahar dingin yang longsor akibat tersapu hujan bisa menyebabkan pendangkalan sungai dan banjir, karena air tidak termuat lagi di alur-alurnya.

Usaha menanggulangi banjir lahar dingin, berupa pasir yang bisa menutupi sawah dan pemukiman penduduk di DAS Brantas bagian tengah, sudah dimulai sejak tahun 1954.

Caranya dengan membangun pengendali pasir berupa sejumlah check dam dan kantung-kantung pasir di anak-anak Sungai Brantas, seperti di Kali Badak, Kali Putih, dan Wlingi. Banjir lumpur terkadang tetap tak teralang, biarpun tanggul ditinggikan, sungai dikeruk dan drainase pada anak-anak sungainya setiap kali sudah diperbaiki.

Meski begitu, Sungai Brantas yang panjangnya kira-kira 250 km itu bisa dimanfaatkan untuk irigasi, pembangkit tenaga listrik dan keperluan lain berkat sejumlah waduk yang dibangun di bagian hulunya. Yang terkenal a.l. Bendungan Karangkates dan Waduk Selorejo di Kali Konto, anak Kali Brantas.

Memerangi erosi dengan KB

Tak kurang ganas adalah Sungai Citanduy yang sumber airnya dari kaki Gunung Talaga Bodas (2.201 m) dan Galunggung (2.168 m) di Jawa Barat. Sungai itu masih sering menimbulkan banjir terutama di Ciamis Selatan.

Ganasnya Citanduy, selain karena muntahan lahar dingin Galunggung, juga karena airnya mengangkut lumpur hasil erosi dari daerah pengalirannya yang sangat lapuk. Erosi itu mengikis tanah lapisan atas yang subur.

Hal itu sudah dicoba diatasi misalnya dengan terasering, peningkatan cara bercocok tanam dan pengurangan tekanan penduduk dengan transmigrasi dan KB di daerah hulu.

Tanah-tanah kritis sepanjang DAS itu penyebab utama bahaya banjir. Tiadanya tanaman penutup membuat sebagian besar air hujan tidak meresap ke dalam tanah, dan terjadi banjir.

Penyebab banjir rutin lainnya, terutama di Ciamis Selatan, adalah perbedaan tinggi di kawasan hulu dengan muara sungai yang tidak seberapa besar. Ditambah proses pendangkalan yang terus-menerus di daerah muara Sungai Citanduy, laju air cenderung lambat terbuang ke Samudera Indonesia.

Tingkah laku sungai memang macam-macam. Tapi, sungai di Jawa mempunyai persamaan. "Sungainya relatif pendek, sempit, dan dangkal. Kemampuan menampung air terbatas, sehingga mudah meluap menimbulkan banjir atau genangan," kata Mardjono.

Bengawan Solo, sungai terpanjang di Jawa pun hanya 540 km panjangnya, sementara Kapuas di Kalimantan mencapai 1.369 km, sedangkan Barito 2.344 km.

Sungai-sungai di Kalimantan yang panjang dan juga lebar bisa dimanfaatkan sebagai jalur lalu-lintas air. Panjang sungai yang bisa dilayari mencapai 500 km.

Sementara sungai di Jawa yang bisa dimanfaatkan untuk pelayaran cuma Bengawan Solo bagian hilir sepanjang 100 km. Itu pun hanya perahu-perahu kecil untuk penyeberangan.

Mengapa airnya keruh?

Banjir di Jawa kebanyakan terjadi di daerah aliran sungai yang mengalir ke Laut Jawa. Selain kapasitas saluran terbatas, kemiringan sungai itu juga relatif kecil.

Berbeda-dengan "kawan-kawannya" yang melepas airnya ke Samudera Indonesia. Meski relatif lebih pendek daripada sungai yang mengalir ke Utara, "Beberapa sungai yang mengalir ke pantai selatan punya slope (kemiringan) cukup besar, sehingga air dapat cepat dialirkan ke laut," kata Mardjono.

Timbulnya banjir bukan hanya akibat kondisi fisik sungai yang demikian, tetapi juga karena musnahnya sebagian hutan.

Menurut perkiraan S. Indro Tjahjono, ketika itu Koordinator Unit Pelayanan SKEPHI (Sekretariat Bersama Pelestarian Hutan Indonesia), hutan di Pulau Jawa (data tahun 1990) tinggal tersisa 15% dari luas daratan. Akibat lenyapnya sebagian hutan, raib pula 770 juta ton tanah subur tiap tahunnya.

Kerusakan hutan itu juga membuat hampir semua sungai di Jawa menjadi dangkal akibat sedimentasi gara-gara erosi di daerah aliran sungai, ditambah erosi dari tepian sungai itu sendiri.

"Besarnya erosi permukaan yang diperkenankan sebenarnya hanya 1 mm, tapi umumnya tingkat erosi di Jawa sudah melebihi ambang tersebut," kata Mardjono.

Tingginya erosi bisa dilihat dari permukaan sungai yang berwarna kecoklatan karena besarnya kandungan lumpur yang terangkut. Sungai Cacaban di Jawa Tengah merupakan sungai dengan pelumpuran tertinggi di Jawa.

Kemudian disusul Sungai Cilutung, Cimanuk, dan Cikeruh di Jawa Barat, Bengawan Solo dan juga Kali Brantas.

"Kali Brantas mendapat beban tambahan dari pasir muntahan Gunung Kelud," ujar Mardjono. Itu juga dialami Kali Progo dengan pasir dari Gunung Merapi dan Citanduy dengan pasir Galunggung.

Menurut Mardjono, sungai-sungai di Jawa umumnya dalam kondisi kritis. Dalam arti, keseimbangan ekosistemnya terganggu akibat kepadatan penduduk di daerah aliran sungai yang terbatas daya dukungnya. Malah,di beberapa daerah aliran sungai kepadatan penduduknya lebih tinggi dari rata-rata.

Itulah sebabnya semua sungai di Jawa perlu mendapat perhatian khusus dan prioritas pengelolaan. Semua itu perlu aliran dana raksasa.

Artikel Terkait