Menyusuri Napak Tilas Mr. Wallacea di Perairan Sulawesi yang Indah

Moh. Habib Asyhad
Moh. Habib Asyhad

Editor

Berbenam lumpur bau, duck dive, memanjat akar bakau, dan minum air sungai tanpa dimasak menjadi bagian petualangan saat mengikuti Ekspedisi Wallacea Indonesia (EWI) 2004.
Berbenam lumpur bau, duck dive, memanjat akar bakau, dan minum air sungai tanpa dimasak menjadi bagian petualangan saat mengikuti Ekspedisi Wallacea Indonesia (EWI) 2004.

[ARSIP Intisari]

Berbenam lumpur bau, duck dive, memanjat akar bakau, dan minum air sungai tanpa dimasak menjadi bagian petualangan saat mengikuti Ekspedisi Wallacea Indonesia (EWI) 2004. Memang enak jadi peneliti?

Penulis: Christantiowati, pertama tayang di Intisari pada Oktober 2004

---

Intisari hadir di WhatsApp Channe, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com -Saat diundang mengikuti Sub Kegiatan Riset Ilmiah Tahap 2 di sekitar Pulau Kabaena, Sulawesi Tenggara (Sultra), 11-3 0 Juni 2004, terbayang di kepala bahwa nanti akan bergaul dengan orang-orang setengah baya, berkacamata tebal, serius, dan kaku - seperti citra ilmuwan dalam kisah rekaan.

Ternyata, para peneliti dari Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Non-Hayati, Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan (Wilnon-BRKP, DKP) ini berusia di bawah 35 tahun. Terbang bersama dari Jakarta, aura humor, penuh semangat, kerja sama rapi, dan disiplin sudah terlihat.

Satu malam di Kendari, kami kemudian ke Bau Bau menggunakan feri. Pukul 03.00, 11 Juni 2004, setelah persiapan akhir dua hari di ibukota Pulau Buton, Sulawesi Tenggara, ini, ke-29 anggota tim (15 peneliti, 1 mahasiswa, 4 wartawan, 2 dokter, 1 tenaga kesehatan, 6 awak kapal) berangkat dengan kapal pinisi "Cinta Laut" menuju Pulau Kabaena.

Dengan laju rata-rata 6 knot (1 knot = 1,85 km/jam) jarak sekitar 50 mil ditempuh dalam 10,5 jam.

Pukul 06.00 di dekat Pulau Kadatua yang terkenal dengan ketam kenarinya, nahkoda menunjuk ke sejumlah lumba-lumba yang melintas. Dua jam kemudian, berkali-kali tiling-tiling (ikan terbang, kata orang Makassar) berloncatan.

Saya mengobrol dengan Rita Tisiana, MT, yang akan meneliti "fisik" kelautan seperti arus, pasang surut, serta kadar garam dibantu oleh mahasiswa Universitas Hasanudin, Syahnudin.

Timbul pertanyaan dalam benak, apa manfaatnya?

"Laut mengisi 70% Bumi kita. Jadi, kondisi laut akan berpengaruh pada iklim dunia," ujar Widodo Setiyo Pranowo, M.Si. (28), ketua Tahap 1 EWI 2004, dalam kesempatan terpisah. Dari hasil penelitian fisik kelautan tadi bisa ditentukan tinggi maksimum dan minimum pembangunan dermaga dan pelabuhan bagi keperluan bongkar muat, misalnya.

Dikira intel

Basecamp utama kami adalah rumah panggung kayu milik keluarga Suaib dan Nurhaida di Desa Sagori, Kelurahan Sikeli, Kecamatan Kabaena Barat, Kabupaten Bombana. Saya lewatkan sore itu dengan berkeliling di desa nelayan ini.

Bertemu anak-anak setempat selalu menyenangkan. Ramai-ramai main gasing dari bahan daur ulang - sekrup dan busa sandal jepit, atau memancing ulati (caring) umpan ikan keluar dari pasir dengan perasan daun yang mirip daun suji.

Usai makan malam dengan ikan kembung goreng dan sayur kacang, ketua tim, Gunardi Kusumah, ST memimpin briefing harian untuk rencana dan laporan kegiatan. Keesokan harinya ketika hari masih gelap, saya bersama Rita Rachmawati (peneliti terumbu karang) dan Utami Kadarwati, M.Sc. (peneliti geomorfologi), dipandu Indrawati - putri tuan rumah - berjalan kaki 2 km menuju Kampung Bajo, kampung di atas laut, untuk survei awal hasil laut bernilai ekonomi tinggi macam tripang dan mata tujuh (abalon).

Rumah-rumah di sini rata-rata berdinding anyaman bambu, beratap sirap, dan berdiri di atas tiang-tiang setinggi 3 m, karena menjorok beberapa puluh meter ke arah laut. Waktu menuju ke sebuah rumah, kami harus melewati 1- 2 bilah kayu atau bambu.

Tiba-tiba, krak, krak, si bambu ternyata tak mampu menahan bobot saya. Untung, pasang air laut cuma selutut. Semua kamera saya mengapung aman dalam dry bag.

Siangnya, di tempat sama saya mengikuti Dr. Laode M. Asian dari Universitas Haluoleo yang meneliti bulu babi (Diadema spp.), sejenis hewan air laut yang di Jepang dimanfaatkan sebagai pupuk.

Dipandu remaja suku Bajo, kami mengumpulkan cangkang abalon cokelat dan abu-abu. Dalam mitos orang Cina, makan abalon bikin sehat dan makmur. Sehatnya sih masuk akal karena abalon kaya protein. Entah makmurnya. Dengan cangkang bagian dalam berkilau bak tiram mutiara, ada kemungkinan untuk mencoba budidaya mutiara dari abalon.

Ketika diadakan dialog usai salat Magrib di masjid setempat dalam acara memperkenalkan tim dan kegiatan EW1 2004, seorang warga mengeluh, "Sudah 10 tahun ini tak ada lagi cumi-cumi di sini. Memelihara teripang pun, waktu kecil ribuan, tapi saat panen tinggal puluhan (jumlahnya)."

Inilah kesempatan tim untuk mentransfer pengetahuan plus kampanye. "Kalau hutan bakau dibabat, udang dan cumi-cumi tak punya tempat bertelur. Mari kita tanam bakau lagi. Keramba bagian atas dan bawah harus ditutup jaring plastik, jadi teripang tak bisa merambat naik atau turun untuk kabur," tanggap Laode M. Asian.

Meski sudah kulo nuwun, nelayan setempat ternyata mengira tim EWI 2004 adalah semacam intel yang akan menjaring pengebom ikan. Tim geologi sempat mendengar bom ikan di hari pertama, tapi selama EWI 2004 di Kabaena, tak terdengar lagi. Semoga kebiasaan buruk itu enyah selamanya.

Hari berikutnya, 13 Juni 2004, dengan diantar kapal pinisi dan perahu karet, saya ikut tim biologi ke Teluk Pising, Kabaena. Rencananya mau menyelam untuk mengambil sampel biota dan sedimen.

Namun, berhubung kompresor rusak hingga tak bisa mengisi tabung selam, terpaksa kami ber-snorkeling dan duck dive (menukik menyelam tahan napas beberapa detik, mengambil contoh, meliuk lagi ke atas mirip bebek cari makan). Mengambil contoh sedimen atau biota laut ternyata ada aturannya.

"Harus utuh, tak teraduk oleh injakan atau kibasan kaki katak penyelam. Juga tak ada lubang binatang penggali pasir agar tak tercampur dengan jenis sedimen lain," papar Andreas Hutahaean, M.Sc. yang dengan tangan kanan terselubung plastik siap menukik. Penelitian sedimen bisa digunakan untuk mengetahui jenis zat pencemar yang bisa membahayakan lingkungan, misalnya.

Pulau 'dieliminasi'

Dari tim biologi, saya bergabung ke tim geologi (Gunardi, Utami, dan Tubagus Solihuddin) dan toponimi (Yulius dan Tedy) yang ingin mendata pulau. Kami menggunakan bodi (perahu bercadik) yang dikemudikan Sultan dan dipandu Helmi. Satu jam kami berkeliling mendata pulau-pulau di kawasan ini.

Citra satelit LAPAN (2001) menunjukkan, Indonesia memiliki 18.306 pulau. Data ini harus dibuktikan di lapangan, siapa tahu sudah ada yang berubah. Sebab, batasan pulau menurut Konvensi PBB 1982 adalah daerah daratan yang terbentuk alami, dikelilingi air, dan ada di permukaan pas pasang tertinggi.

Jadi, kalau ada daratan yang hanya memperlihatkan pucuk pohon saat pasang tertinggi, tak bisa disebut pulau. Jika pulau itu sebelumnya terhitung tapi di lapangan ternyata sudah tenggelam, terpaksa dieliminasi. Kami sempat menemui pulau tereliminasi berkat informasi Helmi.

Sampai tulisan ini dibuat, versi DKP, Indonesia punya 17.677 pulau. Kami berlabuh di Pulau Talinga (dari kata telinga sebab memang bentuknya mirip telinga). Konon pulau ini angker dan tak ada penghuni. Sayang, tak ada contoh batuan yang bisa diambil di pulau yang dikelilingi pasir dan sedikit karang itu.

Dalam pendataan ini tim toponimi dipersenjatai alat global positioning system (GPS). Alat ini bisa memastikan posisi pulau yang sebenarnya di lapangan berdasarkan koordinat lintang dan bujur.

Tim juga mewawancarai penduduk untuk mengorek nama pulau dan artinya yang diakui masyarakat serta informasi pendukung lain. Kami jadi tahu mengapa sebuah pulau dinamai Pulau Jongke (rumah dapur). Sebelum mendarat di Pulau Baliara, kami melewati Pulau Dudu yang tidak berpenghuni.

Di beberapa pulau yang disinggahi, kami juga mengecek ketersediaan sumber air tawar menggunakan alat geolistrik. Selama menjelajah dari satu pulau ke pulau lain, saya sempat meneguk air kelapa muda terenak yang pernah saya hirup - rasa isotoniknya tajam sekali - di Pulau Bangko (Bakau) Darat yang banyak ditumbuhi pohon jambu mete dan kedondong.

Di pulau ini tim mengambil contoh batu gamping. Di sini pula saya merasakan segarnya minum air sungai murni dengan udang-udang kecil bening berkeliaran usai makan siang.

Hari terakhir sebelum pulang ke Jakarta, saya kembali bergabung dengan tim biologi dan toponimi naik bodi. Persinggahan pertama kami adalah Pulau Mataha (Panjang) yang hanya dihuni sepasang suami-istri. Wah, romantis sekali, mereka bisa berbulan madu terus ya.

Dari Pulau Mataha kami ke Pulau Sagori yang sampai 1990-an disinggahi kapal pesiar asing. Sayang, kini kondisinya kotor walau penduduk tampak cukup makmur dengan rumah panggung kayu kokoh. Sebelum menyelam di Pulau Bakau yang banyak ditumbuhi "pohon angin" (cemara), kami berbagi nasi bungkus dengan penduduk yang balas memberikan ikan balawes dan tim bolowak bertulang biru yang langsung dibakar untuk tambahan lauk.

Pukul tiga dini hari, saya dan rekan-rekan wartawan terpaksa pulang lebih dulu naik kapal cepat ke Buton, lalu ke Kendari dengan feri. Untunglah kami pulang hari itu, sebab sehari sebelumnya di Cempaka. daerah bergelombang besar antara Pulau Buton dan Muna, sebuah kapal kayu berpenumpang 20 orang tenggelam.

Ah, seandainya ....

Artikel Terkait