[ARSIP]
Sebagai tanda terima kasih, Raja Siam mengirimkan hadiah pula sekembali di tanah airnya. Patung gajah di depan Museum Nasional Pusat alias Gedung Gajah itu pun berasal dari hadiah balasan ini. Begitu Museum Gajah muncul hingga kita kenal sekarang ini.
Oleh Siswadhi untuk Kisah Jakarta Tempo Doeloe/Intisari
---
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-Online.com - Pada tahun 1890 Raja Chulalongkorn dari Siam (kini Muangthai) berkunjung ke Nederlandsch Indie. Rombongan tamu diantar keliling Jawa, mengunjungi berbagai peninggalan terkenal seperti Borobudur, Prambanan, Plaosan dan sebagainya. Pemerintah Nederlandsch Indie menghadiahkan angklung serta arca-arca peninggalan dari beberapa candi di Jawa kepada tamu agung. Seluruhnya berjumlah delapan gerobak.
Sebagai tanda terima kasih, Raja Siam mengirimkan hadiah pula sekembali di tanah airnya. Patung gajah di depan Museum Nasional Pusat alias Gedung Gajah itu pun berasal dari hadiah balasan ini.
Ketika Raja Siam berkunjung ke Indonesia, Museum Pusat di Jalan Medan Merdeka Barat 12 itu telah berdiri dua puluh dua tahun. Ia dibangun pada tahun 1862 dan mulai dipergunakan untuk menyimpan koleksi berbagai peninggalan sejarah sejak tahun 1868.
Museum ini didirikan oleh perkumpulan ilmiah tertua di seluruh Asia, yakni Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen yang dibentuk pada tanggal 24 April 1778.
Sebelum dipindahkan ke gedung museum yang sekarang ini, koleksi barang-barang peninggalan sejarah itu disimpan di salah satu rumah di Kali Besar, Jakarta Kota, kemudian ke gedung bekas kantor pendaftaran tanah di belakang Wisma Nusantara.
Ketika penulis mewawancarai direktur Museum Pusat, Drs Amir Sutaarga (pada 1986), ia sedang sibuk mempelajari rencana gedung Museum Nasional bersama Drs Sukmono, Kepala Jawatan Purbakala. Drs. Amir Sutaarga membolak-balik buku berisi foto serta denah museum-museum terkenal di dunia. Drs. Sukmono duduk menghadapi denah sementara dari calon Museum Nasional itu. Mereka sedang mencari-cari gaya dan bentuk yang akan dipakai.
Pada 1964 ada rencana untuk membangun sebuah Museum Nasional di atas tanah seluas 100 hektar. Di samping gedung utama akan didirikan museum terbuka (open air museum). Di tempat yang terakhir ini akan dipamerkan rumah-rumah adat dari seluruh tanah air, lengkap dengan lingkungan alam serta tumbuh-tumbuhannya.
Akan diusahakan agar para pengunjung dapat memperoleh gambaran yang jelas dan konkret tentang suku-suku bangsa seluruh Nusantara dengan latar belakang sejarah, sifat-sifat historis dan antropologisnya.
Di ruang kerja direksi museum dan stafnya, di dalam rak-rak buku tampak deretan katalog dari benda-benda yang tersimpan di museum. Tiap lembaran dari katalog seksi etnografi ini berukuran satu folio (lebar 24 cm, tinggi 33 cm).
Setiap lembaran digunakan untuk satu benda saja. Uraian yang cermat dan dibuat selengkap-lengkapnya itu kadang-kadang sampai satu halaman penuh. Bahkan sisir bambu kecil dan pasangan tikus mendapat perhatian yang mendetail. Suatu hal yang sulit dimengerti oleh seorang awam.
Uraian lengkap, teliti dan terperinci itu diperlukan untuk penyelidikan sejarah. Misalnya saja tentang bentuk suatu benda (katakan sebuah kapak batu) dapat diberi uraian tentang teknik pembuatannya. Perbandingan dengan kapak-kapak dari zaman atau tempat lain adakalanya dapat memberi gambaran tentang perkembangan teknik itu.
Jika data kronologi mutlak tidak bisa diperoleh (“benda ini dari tahun sekian"), penjelasan tentang tempat penemuan suatu benda (“beberapa meter di bawah permukaan tanah"), dapat dipergunakan untuk menentukan kronologi relatif (benda A lebih tua dari benda B karena ditemukan pada lapisan yang lebih dalam/tua daripada lapisan di mana benda B ditemukan").
Dapat kita bayangkan betapa besar jerih payah, ketekunan, kesabaran dan keuletan yang diperlukan untuk meregistrasi dan mencatat semua benda di museum itu. Belum lagi terhitung jerih payah dalam usaha mendapat benda-benda itu: mencari daerah yang mungkin memendam benda-benda sejarah, menggali, mengumpulkan, memilih dan lain-lain.
Koleksi etnografi saja kurang-lebih ada 27.000 nomor (satu nomor sering meliputi beberapa benda). Di samping itu masih ada koleksi purbakala, terdiri atas 10.000 nomor, prasejarah 1O.OOO, keramik 8.000, numismatik (mata uang) 10.000, naskah 2.000. Jumlah seluruhnya tak kurang dari 67.000 nomor.
Museum Pusat memang memiliki koleksi 'terbesar dan terkaya di seluruh Asia Tenggara'.
Pada awal berdirinya, koleksi museum meliputi aneka macam barang-barang langka yang jarang didapat. 'Rariteitenkamer' demikian nama kamar koleksi itu dulu. Benda-benda yang kini disimpan di Museum Pusat, masih menjadi satu dengan koleksi zoologi dan ilmu tumbuh-tumbuhan.
Pada akhir abad ke-19 bagian zoologi dan tumbuh-tumbuhan dipindahkan ke Bogor. Museum di Jakarta khusus untuk koleksi yang menyangkut ilmu bahasa, ilmu bumi dan ilmu bumi bangsa-bangsa. Perubahan ini sejalan dengan perkembangan ilmu purbakala dan adanya gerakan ahli-ahli ketimuran (orientalis).
Lambat laun koleksi museum bertambah. Ekspedisi ke Lombok pada awal abad ke-20 memperkaya koleksi naskah-naskah kuno. Sekitar waktu yang sama, koleksi benda-benda emas juga meningkat, yakni dengan dimasukkannya koleksi perhiasan, lambang-lambang kekuasaan dan barang-barang emas lainnya yang dirampas van Heutsz dari raja-raja setempat dalam perang 'pasifikasi'-nya. Koleksi etnografi dan prasejarah juga bertambah sejak ekspedisi ke Irian Barat (sekarang Papua) pada awal abad ke-20.
Dorongan untuk perkembangan koleksi benda-benda purbakala datang dari Commissie van Oudheidkundig Onderzoek, yang kemudian pada 14 Juni 1913 menjadi Oudheidkundige Dienst, lalu menjadi Jawatan Purbakala. Lembaga ini melakukan berbagai penggalian. Barang-barang yang ditemukan sedapat mungkin dipinjamkan kepada museum untuk dipamerkan. Jadi museum sendiri tidak secara aktif mengusahakan segala penggalian.
Dalam sejarah perkembangan museum perlu disebut pula Pacific Science Congress pada 1920. Ketika itu diadakan pameran kerajinan dari seluruh Indonesia. Barang-barang pameran ini kemudian dimasukkan ke dalam koleksi museum. Keramik, koleksi termuda, sebagian besar (75%) berkat usaha E.W. van Orsoy de Flines yang meninggal pada bulan September 1964.
Perkembangan museum khususnya, dan Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen yang pada Januari 1950 sesudah pemulihan kedaulatan diubah menjadi Lembaga Kebudayaan Indonesia, tak dapat dipisahkan dari nama tokoh-tokoh Indonesia seperti Prof. Dr. Husein Djajadiningrat, Prof. Dr. Purbatjaraka.
Seperti telah disebutkan di atas, museum diasuh oleh Lembaga Kebudayaan Indonesia. Lembaga itu meliputi empat bagian pokok: bagian redaksi dari penerbitan-penerbitan lembaga, bagian ilmiah, bagian museum dan bagian administrasi.
Jabatan ketua lembaga dipegang Prof. Dr. Husein Djajadiningrat sejak tahun 1937 sampai akhir hayatnya pada tahun 1960. Berkat pimpinan dan kebijaksanaan Prof. Husein Djajadiningrat koleksi museum bertambah, baik yang berupa naskah maupun benda-benda lain.
Usaha lembaga di bidang-bidang yang lain juga sangat maju. Bagian penerbitan mengeluarkan tidak kurang dari 86 jilid artikel-artikel umum, 75 risalah-risalah (vrijhandelingen) dan 10 jilid Bibliotheca Javanica.
Sehubungan dengan yang terakhir itu perlu disebut jasa-jasa Prof. Dr. Purbatjaraka, yang selain duduk dalam staf pimpinan direksi Lembaga, juga menjabat konservator naskah-naskah kuno yang tersimpan di museum. Karya ilmiah yang tercatat di bawah namanya tidak kurang dari 50 buah.
Usaha untuk memperkaya museum masih terus dilakukan sampai sekarang. Selain dari Dinas Purbakala museum juga mendapatkan barang-barang baru dari para pedagang antik. Sejak dulu museum mempunyai langganan tetap yang dapat dipercaya. Keuntungan para pedagang itu mungkin memang lebih rendah daripada jika mereka menjual barang-barang di pasaran luar.
Namun mereka merasa mendapat kehormatan jika dapat menjual barang-barang kepada museum. Di situ barang-barang mereka akan mendapat penghargaan yang selayaknya.
Di lain pihak hubungan dengan museum juga membawa segi keuntungan tersendiri. Museum sering menolong para pedagang antik langganan dalam menilai keaslian benda-benda yang mereka tawarkan. Hubungan yang baik dengan museum menambah kepercayaan masyarakat terhadap kejujuran para pedagang itu.
Penipuan keaslian barang-barang memang sering terjadi. Direksi museum pernah menerima satu dus keris-keris yang telah dibeli suatu kedutaan asing di Jakarta. Menurut keterangan penjual, keris-keris itu berasal dari zaman kuno. Tetapi setelah diperiksa para petugas museum, barang-barang itu ternyata banyak yang baru.
Pemalsuan yang banyak terjadi antara lain pemalsuan kapak-kapak prasejarah dari Karawang-Bekasi. Masyarakat desa mulai tahu bahwa para kolektor menaruh minat besar terhadap kapak-kapak yang biasa ditemukan di situ. Mereka lalu mengubah bentuk asli dari kapak yang mereka temukan. Nilai kapak sebagai dokumen sejarah menurun, tetapi nilai komersialnya naik (tentu saja bagi pembeli yang tidak banyak tahu-menahu). Tidak jarang pula mereka membuat kapak palsu, yang mereka kerjakan sedemikian rupa sehingga memberi kesan seolah-olah kapak purbakala.
Benda-benda sejarah di museum juga ada yang ditemukan secara kebetulan dalam suatu penggalian. Dalam hal ini benda tersebut harus dilaporkan kepada Dinas Purbakala. Untuk mencegah hal-hal yang tak diinginkan, Dinas Purbakala pada tahun 1931 mengeluarkan monumenten ordonantie, yang melarang penggalian-penggalian liar dan tindakan merusak, memperbaiki, merubah bentuk atau fungsi serta memindahkan barang-barang purbakala tanpa izin dari badan tersebut. Pelanggaran dikenakan hukuman atau denda yang berat.
Tetapi sebetulnya sanksi paling berat (bagi mereka yang meyakini) adalah hilangnya dokumen-dokumen sejarah nasional.
Kekurangan kesadaran masyarakat kita tentang nilai dokumen-dokumen yang tersimpan di museum memang sering menyedihkan. Misalnya museum mempunyai perpustakaan yang sangat bermutu. Koleksi buku-bukunya tidak kurang dari 300.000 jilid, dan majalah sebanyak setengah juta.
Di antaranya terdapat dokumen-dokumen penting tentang tokoh-tokoh nasional seperti Presiden Soekarno, Ki Hajar Dewantara, Dr. Soetomo dan lain-lain. Dokumen-dokumen yang hanya tersedia satu eksemplar tidak boleh dibawa keluar dari ruangan museum; hanya boleh dipinjam di ruang baca. Meskipun telah ada pengawasan, namun sering saja terjadi pelanggaran, lebih-lebih dulu ketika peraturan belum diperkeras.
Buku-buku yang penting tidak dapat dipinjam ke luar, meski dengan jaminan apa pun. Jika ada yang benar-benar memerlukannya, museum bersedia membuatkan kopi dari seluruh buku. Tentu saja biaya dibebankan kepada pemesan.
Museum bukan hanya tempat yang menarik bagi para ahli sejarah. Pada tahun 60-an, penduduk Jakarta juga menganggap Museum Pusat sebagai tempat rekreasi. Setiap hari Minggu ayah-ibu berbondong bersama anak-anak mereka, muda-mudi dengan pacarnya.
Bagi banyak remaja museum merupakan tempat ideal untuk mendapatkan jodoh. Pada hari Minggu pertama dan ketiga ada pertunjukan wayang (golek atau kulit) yang disiarkan melalui RRI. Banyak orang, misalnya para pedagang, menganggap museum sebagai tempat yang praktis untuk merencanakan pertemuan dengan relasi mereka. Pada hari Minggu pengunjung mencapai 6 sampai 7 juta.
Di antara barang-barang yang disimpan di museum ada beberapa barang yang dianggap keramat. Maka tidak sedikit pula orang datang ke museum untuk ziarah dan nadar. Beberapa kali pegawai museum menjumpai pengunjung duduk bersila di depan lemari yang menyimpan keris-keris kuno.
Contoh lain: pada suatu malam bulan purnama dalam tahun 1958, para petugas menemukan 20 orang duduk bersembahyang di , depan pagar pintu masuk sambil menaburkan bunga ke patung yang terletak di serambi depan museum. Hanya dengan susah payah para petugas berhasil membubarkan rombongan peziarah itu.
Ada satu benda lagi yang sangat populer di museum, yakni meriam Kyai Jagur. Dulu bila orang melancong ke Jakarta, ada tiga objek yang mesti dikunjungi, yakni Luar Batang (Masjid Pasar Ikan), Museum alias Gedung Gajah dan Kyai Jagur yang dulu masih terletak di museum kota, kemudian dipindahkan ke depan Museum Pusat. Banyak orang datang ke Kyai Jagur ini untuk minta berkat dan berbagai permohonan.
Tentang kebiasaan ini direktur museum menyimpan banyak pengalaman lucu. Seorang janda dari Jawa Timur datang berziarah ke Kyai Jagur. Janda itu mempunyai dua orang anak perempuan. Yang sulung telah kawin cukup lama namun belum mempunyai anak, yang satu masih gadis.
Sang ibu menginginkan cucu, maka ia berziarah ke Kyai Jagur. Tahun berikutnya janda itu datang lagi ke Jakarta. Kali ini dia mendatangi Kyai Jagur lagi, tetapi untuk memuntahkan kemarahannya. Permohonannya memang terkabul. Ia benar-benar mendapat cucu, tetapi dari anaknya yang belum menikah...
Sebuah kejadian lucu lain: pernah museum mengeluarkan kartu pos bergambar meriam Kyai Jagur yang populer itu dengan keterangan historis. Dikatakan bahwa meriam itu berasal dari Malaka, direbut Belanda pada tahun 1640 dan kemudian dibawa ke Jakarta.
Kartu pos itu ditentang banyak orang karena dianggap tidak cocok dengan 'kisah sebenarnya'. Masyarakat yakin bahwa meriam itu jelmaan seorang sakti yang masih mempunyai hubungan keluarga dengan meriam-meriam keramat di Solo (Nyai Setama dan Ki Amuk).
Mendengar aneka macam cerita dari direksi museum itu, timbul dalam pikiran penulis, bahwa fungsi Museum Pusat itu banyak juga. Bukan saja untuk berbagai penelitian sejarah, tetapi juga merupakan tempat nadar.dan ziarah, tempat hiburan, bahkan pacaran. Kami lalu teringat pada sebuah kalimat dalam naskah pendirian perkumpulan ilmiah yang mengasuh museum itu, bahwa perkumpulan didirikan untuk 'kepentingan umum'.