Di masa lalu, Taman Fatahillah dipenuhi dengan gedung-gedung pemerintahan kolonial Belanda. Salah satunya adalah Balai Kota atau Stadhuis. Stadhuis memiliki penjara yang terkenal dengan kisah-kisah seramnya.
Oleh Tanu TRH untuk buku Batavia Kisah Jakarta Tempo Doeloe (1988)
---
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan artikel terbaru kami di sini
---
Intisari-Online.com -Di antara sejumlah bangunan bersejarah yang termasuk dalam rencana pemugaran panitia khusus DKI Jaya, terdapat sebuah gedung yang sangat menarik perhatian. Bukan saja karena nilai sejarahnya, tetapi juga karena peristiwa-peristiwa tak terlupakan yang terjadi di sana.
Aneka peristiwa hebat, berdarah, seram, dan mengerikan pernah terjadi. Sampai sekarang bulu roma saya masih bisa berdiri kalau teringat akan peristiwa-peristiwa itu. Yang saya maksud tak lain dan tak bukan ialah gedung di Taman Fatahillah, Jakarta Barat, yang kini dipakai sebagai kantor Kodim 0503.
Beberapa ratus tahun yang lalu sampai dengan permulaan abad ke-20, di sana bermukim kantor-kantor pusat pemerintahan kolonial Belanda. Namanya dulu Stadhuis (Balai Kota). Di mulut rakyat lebih terkenal dengan nama “Gedung Bicara”.
Di antara badan-badan resmi yang tempo doeloe berkantor dan bersidang di sana ialah dua lembaga pengadilan: Raad der Schepenen dan Raad van Justitie. Di puncak atap di depan menara, tepat di tengah-tengah, dulu berdiri patung Dewi Justitia dengan mata tertutup, sebuah timbangan di tangan kiri dan sebilah pedang di tangan kanan. Sekarang patung itu tidak ada lagi.
Di sana berkantor pula Weeskamer (Balai Harta), College van Huwelijkszaken (Dewan Urusan Perkawinan - seperti Kantor Catatan Sipil sekarang), Pengadilan Militer dan ruang ibadah bagi jemaat Kristen non-Belanda dan Prancis.
Batu pertama gedung Stadhuis itu masih ada sampai sekarang. Peletakannya berlangsung pada tanggal 25 Januari 1707 oleh Petronella Wilhelmina van Hoom (8 tahun), putri Gubernur Jenderal van Hoom, yang memegang tampuk pimpinan pemerintahan kolonial Belanda pada masa itu.
Sebelumnya, pada tahun 1626, di tempat yang sama telah dibangun gedung Stadhuis, tetapi tidak sebesar dan semegah bangunan yang masih berdiri sampai sekarang itu. Stadhuis tahun 1626 itu pun mempunyai ruang penjara, namun bagaimana bentuknya tidak diketahui.
Penjara di bawah tanah
Di bawah gedung tersebut, yaitu di ruangan bawah tanah, terdapat penjara. Ruangan itu masih ada sampai sekarang, tetapi tentu saja tidak dipakai sebagai penjara lagi. Pada tanggal 26 April 1973, sebuah tim dari Panitia Pemugaran mengadakan peninjauan ke sana.
Kami berkesempatan turut serta dan sempat pula melongok ke dalam bekas penjara itu. Dari jendela-jendela kecil dengan jeruji besi empat persegi besar, tampaklah sel-sel yang kini kosong dan gelap.
Sel-sel itu sempit dan berlangit-langit rendah, berdinding beton kokoh dan kurang menerima cahaya dari luar. Begitu kecil ukuran ruangan itu sehingga dalam buku Oud Batavia, Dr. F. de Haan menamakannya “lubang gelap” (donker gat) dan kandang-kandang (hokkeri).
Untuk melukiskan tentang penjara tersebut, Dr. F. de Haan menggunakan kata-kata “kenang-kenangan menyeramkan” (grimmige herrinneringen). Ahli itu menulis:
"Yang sampai ratusan tahun membuat bulu roma berdiri sehubungan dengan gedung Stadhuis adalah penjaranya.
Gerbang penjara terletak di samping kiri Stadhuis, pada jalan raya Binnen Nieuwpoortstraat (sekarang Pintu Besar Utara). Sebuah gerbang tembok kecil, dengan pintu yang besar dan menyeramkan. Pada pintu itu terdapat lubang pengintai (spiegat) dan pengetuk (klopper — alat logam yang tergantung untuk mengetuk pintu). Di balik gerbang terdapat sebuah bilik kecil dan gelap dengan seorang penjaga pintu berwajah bengis.
Lewat sedikit dari bilik penjaga itu, kita sampai pada gerbang kedua dengan pintu ganda. Pintu yang satu, yang lebih kecil, menghadap ke jalan raya. Pintu kedua yang lebih tinggi, tembus ke pekarangan belakang Stadhuis. Kedua pintu itu bergerendel besar-kekar."
“Siapa ingin merinding, boleh masuk ke situ,” kata de Haan. (“Wie op kippevel gesteld is, moet hier zijn...”)
Dari gubernur jenderal sampai pemberontak Tionghoa
Tentang penjaranya sendiri, di situ ada 5 buah. Dua di antaranya berada di bawah wewenang Raad van Justitie dan tiga di bawah wewenang Raad der Schepenen. Untuk menuju sel-sel yang gelap dan sempit itu, kita harus melalui sebuah pintu di pekarangan belakang. Di depan pintu membentang selokan kecil sepanjang dinding luar penjara.
Pada waktu peninjauan tahun 1973 itu, selokan tersebut dangkal karena penuh lumpur campur pasir. Sel-sel itu hanya menerima cahaya luar melalui jendela-jendela kecil yang berjeruji besi besar-besar tadi. Jendela-jendela itu sekaligus berfungsi sebagai ventilasi. Tetapi tidak banyak manfaatnya, sebab tak sampai 1 meter di depan jendela-jendela menjulang tembok setinggi satu meter lebih, yang memisahkan penjara dari pekarangan belakang.
Di dalam sel-sel terpasang palang-palang besi. Para tahanan yang sedang menjalani hukuman berat ditambat kakinya dengan rantai supaya tidak bisa lari. Ketika saya melongok ke dalam sel-sel itu, palang-palang dan tambatan-tambatan itu tidak tampak karena gelap.
Menurut de Haan, di tahun 1732, seorang pejabat tinggi Belanda pernah meringkuk dalam tahanan itu selama 10 hari. Dia anggota Raad van Indie dan bekas gubernur jenderal Belanda di Ceylon (Sri Lanka), Petrus Vuyst.
Dia disekap di situ karena terserang semacam penyakit gila (tropenwaanzin) sehingga melakukan berbagai kekejaman di luar batas-batas kemanusiaan. Vuyst masih berhubungan keluarga dengan Gubernur Jenderal Valkenier, yang pada tahun 1740 memerintahkan pembantaian atas masyarakat Tionghoa di Batavia.
Dalam rangka peristiwa berdarah tersebut, pada bulan Oktober 1740 di dalam penjara itu disekap 500 orang Tionghoa. Atas perintah advocaat fi scaal (Jaksa Agung pemerintahan Belanda pada masa itu), seorang demi seorang dari ke-500 tahanan itu dikeluarkan dan dibunuh. (Dr. de Haan menggunakan istilah “afgeslacht” — disembelih).
Dalam buku Untung Surapati karangan Abdoel Moeis, diceritakan bahwa pahlawan atau pejuang kemerdekaan dari abad ke-17 yang gigih itu pernah ditahan di sana. Saya tidak tahu pasti, apakah dalam penjara yang sama ataukah penjara Stadhuis yang dibangun sebelumnya.
Kalau dalam penjara yang sekarang masih ada bekas-bekasnya, maka betapa hebat dan nekatnya Untung beserta kawan-kawan. Karena mereka dapat mendobrak penjara yang sekekar itu dan melarikan diri untuk mulai menyusun perjuangan.
Tanggal 5 Maret 1856 diberitakan bahwa seorang tahanan bangsa Eropa mencoba melarikan diri tetapi gagal. la langsung dijebloskan dalam penjara di bawah tanah itu. Dari sini ternyata bahwa penjara itu masih berfungsi sampai tahun 1856.
Tidak bisa bayar utang? Masuk!
Sepanjang abad ke-18 penjara itu selalu penuh. Pada tahun 1736 jumlah tahanan dalam penjara Raad van Justitie di sana tercatat 437 orang. Perinciannya: 64 orang dipenjara karena tidak membayar utang-utang (gijzeling). Mereka meringkuk (untuk mengutip kata-kata Dr. de Haan) dalam sebuah “lubang gelap” (donker gat) dan hanya diberi makan nasi dengan air dingin.
Sekitar 373 orang disekap dalam 6 buah “kandang” (hok) untuk pria dan 5 “kandang” untuk wanita. 50 orang di antaranya adalah tahanan-tahanan kriminal dan yang 333 orang adalah budak-budak.
Mereka dipenjarakan atas perintah para majikan agar tahu adat - suatu kebiasaan yang lazim berlaku di masa itu. Bagi orang-orang yang dihukum karena utang, masa hukuman tidak terbatas. Bisa seumur hidup. Pada tahun 1763 masa hukuman itu dibatasi 6 tahun.
Tetapi pada tahun 1778 peraturan itu dinyatakan tak berlaku bagi orang-orang bukan Kristen. Pada tahun 1774 jumlah tahanan sangat berkurang. Hanya 2 orang yang dipenjara karena utang, 7 tahanan kriminal, 6 tahanan “sipil” (tidak jelas apa yang dimaksudkan) dan 23 budak.
Dr. de Haan meragukan apakah orang-orang tahanan itu hanya disekap dalam sel di malam hari saja dan di siang hari boleh menghirup udara segar di pekarangan belakang.
Bagaimanapun laporan-laporan dari tahun 1812 menyatakan bahwa banyak di antara para tahanan menderita luka-luka infeksi pada kaki akibat terlalu lama dirantai dalam sel. Sebagian besar dari para tahanan itu masih menunggu keputusan pengadilan akan dihukum badan atau hukuman buang (verbanning).
Kompleks penjara di bawah Stadhuis itu terbagi dua. Di bawah sayap barat untuk orang-orang sipil, di bawah sayap timur untuk tahanan-tahanan militer (compagnies boeinen). Perlakuan terhadap para tahanan militer tidak kurang kejamnya.
Salah satu contoh: di depan penjara militer itu berjajar pohon-pohon asam. Di bawahnya dipasang semacam alat penyiksa yang disebut “kuda kayu”.
Punggung “kuda” berupa sepotong balok kayu dengan sisi kasar di sebelah atas. Para kelasi (matrozen) yang ditahan dalam penjara seringkali diperintahkan menunggang “kuda” tersebut sampai berhari-hari.
Kedua kaki mereka diganduli batu-batu berat atau potongan-potongan besi. Bayangkan betapa penderitaan mereka. Lagipula penyiksaan itu boleh ditonton khalayak ramai. Tidak jarang para penonton mengejek dengan menanyakan dapatkah ia menolong mengantar surat dengan menunggang “kuda”-mua.
Hukuman gantung di depan umum
Bukan hanya siksaan-siksaan macam di atas saja yang boleh disaksikan umum, tetapi juga hukuman gantung. Pelaksanaannya berlangsung di halaman depan Stadhuis. Seorang warga Kota Jakarta yang pada tahun 1959 berusia 80 tahun lebih, menuturkan bahwa ia pernah menyaksikan pelaksanaan hukuman gantung ketika masih duduk di bangku School met den Bijbel atau sekolah rendah.
Menurut penuturannya, halaman depan itu penuh sesak dengan penonton. Mereka mengelilingi panggung dengan tiang penggantungan. Setelah si terhukum siap di atas panggung dengan dikalungi tambang di leher, algojo menjeblakkan papan tempat si terhukum berpijak sehingga ia tergantung.
Di bawah panggung telah siap menanti dua orang hukuman lain. Masing-masing menarik sebelah kaki si terhukum untuk mempercepat penyelesaian hukuman. Benar tidaknya, wallahu a’lam bisawab!
Buku Dr. de Haan hanya menjelaskan tentang persiapan pelaksanaan hukuman itu sebagai berikut:
“. . . setelah pengadilan memutuskan hukuman mati untuk seorang tertuduh, maka ia dikeluarkan dari penjara dan diperintahkan berdiri di pekarangan belakang Stadhuis, menghadap ke arah bordes yang terletak pada ketinggian kira-kira 2 meter. Di bordes itu berdiri o cier van justitie (petugas pengadilan) yang membacakan keputusan hukuman mati tersebut. Terhukum lalu dibawa kembali ke penjara dan dimasukkan ke dalam sel khusus yang disebut treurkamer (bilik untuk melampiaskan kesedihan). Biasanya si terhukum tidak perlu menunggu lama, karena tiap bulan ada pelaksanaan hukuman mati.”
Genta maut
Malam hari sebelum menjalani hukuman, terhukum dipindahkan ke tempat pelaksanaan hukuman. Konon malam itu ia tidur di bawah panggung tiang gantungan. Pelaksanaan hukuman pun sering dilaksanakan pada malam hari, diterangi cahaya obor; tetapi biasanya terjadi di waktu pagi sekali.
Pada pagi itu pintu-pintu gerbang Stadhuis ditutup dan semua jembatan gantung diangkat naik. Letak gerbang Stadhuis pada tahun 1959 pun tidak diketahui dengan pasti. Berdasarkan uraian Dr. de Haan bahwa pekarangan Stadhuis membentang dari Tijgerstraat (jalan di depan gedung BNI) sampai ke Heerenstraat (sekarang Jalan Tongkol), dapat diperkirakan bahwa gerbang tersebut mungkin yang dinamakan Amsterdamsche Poort. Gerbang itu dulu terletak beberapa puluh meter di arah utara terowongan yang melintasi Jalan Tongkol sekarang. Gerbang itu sudah dibongkar.
Kecuali menutup pintu gerbang dan mengangkat naik jembatan gantung, penjagaan di sekitar tempat pelaksanaan hukuman juga sangat ketat. Beberapa pucuk meriam disiapkan, sedang pasukan kavaleri berpatroli kian kemari. Kemudian genta besar dalam menara gedung Stadhuis berdentang. Pertanda bahwa si terhukum dibawa masuk ke ruang pengadilan untuk diperiksa lagi identitasnya. Bersamaan dengan bunyi genta kedua kali, terhukum dibimbing naik ke atas panggung hukuman didampingi seorang pendeta.
Pada dentang ketiga, para hakim, dan pembesar lain menuju ke tempat masing-masing. Mereka naik ke tingkat dua dan mengambil tempat di depan jendela untuk menyaksikan pelaksanaan hukuman.
Ruangan para hakim berpintu tebal dengan bingkai beton, dengan dua buah jendela yang diperkuat jeruji besar dan kekar. Tampaknya suatu persiapan terhadap kemungkinan terjadinya serbuan massa rakyat atas diri para hakim pada waktu hukuman dilaksanakan. Setelah semua siap, hukuman pun dijalankan.
Pangeran Diponegoro pernah di sana?
Seperti telah diterangkan di atas, Gedung Stadhuis yang masih berdiri sampai sekarang, dibangun pada tahun 1707. Di tahun 1620 Jan Pieterszoon Coen merencanakan pembangunan Stadhuis sebagai gedung besar bertingkat dua di tengah-tengah kota.
Tingkat kedua digunakan sebagai gereja. Tidak diketahui dengan pasti apakah rancangan Coen itu berjalan seret atau hanya menjadi bangunan sederhana. Nyatanya pada tanggal 30 Mei 1626 telah berlangsung upacara peletakan batu pertama untuk sebuah gedung baru yang dinamakan Stadhuis kedua dan hanya terdiri atas satu tingkat.
Pada tahun 1649 ditambah dengan tingkat kedua.
Tampaknya Stadhuis itu pun punya penjara karena di pekarangan belakang ada rumah-rumah untuk sipir. Di samping itu sebagian gedung mungkin juga dipergunakan sebagai biara, karena di pekarangan tersebut dikatakan ada pintu masuk ke biara (kloosteringang).
Gedung yang sekarang masih ada, dulu dinamakan Stadhuis ketiga. Sebagian dari tingkat kedua dipergunakan pula sebagai tempat tahanan bagi para pejabat Eropa dan tokoh-tokoh pribumi.
Menurut Dr. de Haan, Pangeran Diponegoro juga pernah ditahan sebulan di sana sebelum diberangkatkan ke tempat pengasingan. Dr. de Haan menyayangkan bahwa peristiwa tibanya Pangeran Diponegoro di Batavia tidak diberitakan sama sekali dalam Javasche Courant (Lembaran Negara) atau dalam koran-koran lain.
Akibatnya kini tidak diketahui dengan tepat, ruangan mana dari Stadhuis yang pernah menjadi tempat tahanan Pangeran itu.
Pada tahun 1743, bertepatan dengan pemasangan pipa waterleiding (air minum) di Batavia, di halaman Stadhuis dibangun air mancur. Sisa-sisanya masih ditemukan pada tahun 1835. Panitia Pemugaran juga merencanakan membangun kembali air mancur itu. Diharapkan bertepatan dengan Hari Ulang Tahun Jakarta bulan Juni 1973, air mancur sudah menyembur lagi.
Dapatkan artikel terupdate dari Intisari-Online.com di Google News