Intisari-online.com - Batavia, yang pernah menjadi pusat kekuasaan kolonial Belanda di Indonesia, kini hanya tinggal kenangan di sudut-sudut Kota Jakarta. Meskipun cahayanya telah luntur, kisah-kisah masa lalunya masih terpatri dalam ingatan kota, mengungkap cerita tentang kemakmuran yang luar biasa dan tindakan kekejaman yang tak terlupakan.
Namun, kekayaan ini tidak diperoleh tanpa biaya. Untuk mempertahankan dominasi mereka, penjajah Belanda tidak segan menggunakan kekerasan terhadap penduduk asli, seringkali dengan konsekuensi yang mematikan.
Ambisi Belanda atas Batavia
Di penghujung abad ke-16, Belanda memutuskan untuk mengambil bagian dalam perdagangan rempah-rempah yang menggiurkan. Mereka mengirim ekspedisi ke wilayah yang kaya akan rempah-rempah pada tahun 1595 untuk menyaingi Portugis.
Ketika ekspedisi tersebut kembali dengan muatan rempah-rempah berharga seperti asam jawa, fuli, cengkeh, dan pala, Belanda menyadari bahwa mereka telah menemukan sumber kekayaan baru. Tak lama kemudian, mereka mendirikan Perusahaan Hindia Timur Belanda (VOC), yang kemudian mencapai kekayaan yang melampaui perusahaan-perusahaan besar masa kini.
Namun, perjalanan untuk mengumpulkan rempah-rempah tidaklah mudah. Belanda terlibat konflik dengan Portugis, Inggris, dan juga penduduk asli Indonesia. Pada tahun 1619, dengan tekad untuk menguasai perdagangan, pasukan Belanda di bawah pimpinan Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen menyerang dan menghancurkan kota Jayakarta, yang kemudian dibangun kembali sebagai Batavia.
Batavia: Simbol Kemakmuran dan Kekerasan
Seiring waktu, Batavia berkembang menjadi kota yang menyerupai kota-kota di Belanda, lengkap dengan kanal, balai kota, dan gudang rempah-rempah. Namun, di balik fasad ini, Belanda tetap sebagai penjajah yang berusaha mengendalikan penduduk asli dengan segala cara.
Pada tahun 1621, Coen memimpin serangan ke Kepulauan Banda, membunuh hampir seluruh penduduknya hanya karena mereka berdagang dengan Inggris. Hanya 1.000 orang yang selamat dari 15.000 penduduk asli.
Baca Juga: Menyambut Sejarah Jakarta: Ternyata Begini Menonton Bioskop Di Jakarta Tempo Doeloe
Tidak hanya penduduk asli, ribuan migran Tionghoa yang tinggal di Batavia juga mengalami ketegangan dengan VOC, yang berpuncak pada pembantaian sekitar 10.000 orang Tionghoa pada tahun 1740.
Meskipun VOC runtuh pada tahun 1799, kekerasan tidak sepenuhnya berakhir di Batavia. Jejak pemerintahan VOC yang brutal masih terasa di Kota Tua Jakarta, di mana bangunan-bangunan kolonial Belanda masih berdiri.
Warisan Batavia yang Kontroversial
Bagi banyak orang Belanda, Batavia adalah bagian dari sejarah yang membanggakan namun juga memalukan. Figur sejarah seperti Jan Pieterszoon Coen, yang pernah dihormati, kini dipertanyakan kembali atas perannya dalam kolonialisme.
Di kota asal Coen, Hoorn, telah ada usaha untuk menghapus patungnya karena warisan kekerasannya. Meskipun patung tersebut masih berdiri, telah ditambahkan penjelasan tentang tindakan brutalnya.
Sejarawan Gert Oostindie mengatakan bahwa Coen mungkin telah bertanggung jawab atas ribuan kematian. Bahkan para pejabat VOC sendiri, yang dikenal tidak lembut, mengkritik kebrutalannya.
Meskipun kisah ini mungkin terasa jauh, kekayaan yang dihasilkan Batavia telah membantu membentuk Belanda menjadi negara yang kita kenal saat ini, dan ingatan akan kekejaman yang dilakukan demi kekayaan itu masih hidup di Jakarta.
•
Dapatkan artikel terupdate dari Intisari-Online.com diGoogle News