Bagaimana Orang Belanda Betawi Zaman Dulu Memenuhi Kebutuhan Air Minumnya?

Moh. Habib Asyhad
Moh. Habib Asyhad

Editor

Sungai-sungai di Betawi zaman dulu, terutama Kali Ciwilung, punya peran vital untuk penduduknya. Termasuk untuk air minum. Orang Belanda pun meminumnya (Tanu Trh./Intisari)
Sungai-sungai di Betawi zaman dulu, terutama Kali Ciwilung, punya peran vital untuk penduduknya. Termasuk untuk air minum. Orang Belanda pun meminumnya (Tanu Trh./Intisari)

Sungai-sungai di Betawi zaman dulu, terutama Kali Ciwilung, punya peran vital untuk penduduknya. Termasuk untuk air minum. Orang Belanda pun meminumnya.

Penulis: Tanu Trh. untuk Majalah Intisari edisi Juni 1980

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com -Jakarta barangkali kota satu-satunya di Indonesia yang punya paling banyak sungai, yang membelah-belah wilayahnya dari Selatan ke Utara.

Dihitung secara kasar paling tidak ada 6-7 sungai. Di arah Barat terbentang Kali Angke, Kali Krukut, Kali Grogol. Di tengah-tengah kota mengalir Kali Ciliwung. Di bagian Timur kita menemukan Kali Gunung Sahari dan Kali Sunter.

Ada lagi Kali Besar yang menampung air Kali Krukut di ujung Barat Jalan Pancoran (Medan Glodok) selewatnya jembatan Toko Tiga, Jakarta Kota, dan membawanya mengalir terus ke arah Barat untuk akhirnya membelok ke Utara.

Belum lagi dihitung banyaknya anak sungai, terusan atau parit lebar yang menghubungkan aliran sungai yang satu dengan yang lain. Bisa pusing kalau mau dihitung di ditelusuri satu demi satu. Apalagi bagi orang awam seperti saya dan mungkin pula Anda.

"Tempo doeloe" jumlah itu lebih banyak lagi. Khususnya di bagian Utara kota yang orang Belanda namakan "benedenstad" atau "kota bawah": dari daerah Mangga Besar ke arah Utara.

Kali Ciliwung yang alirannya dari Harmoni ke arah Utara lurus bagaikan garisan mistar, kini membelok ke Timur setibanya di seberang Jalan Labu di Hayam Wuruk dan menumpahkan airnya ke dalam Kali Tangki di sisi Utara jalan tersebut.

"Tempo doeloe" aliran Ciliwung pun masih terus lagi ke Utara, menyusuri sisi Timur Medan Glodok dan baru membelok ke arah Timur setelah melewati gedung bioskop Pelangi yang kini menjadi gedung pertokoan Harco.

Atau mungkin sekaligus menumpahkan airnya ke Kali Besar yang pada masa itu membentang dari Timur ke Barat, menyusuri Jalan Pancoran (di seberang Glodok Building yang sekarang) sampai melewati jembatan Toko Tiga yang disebutkan di atas (vide peta lama karya C.E. Reimer, 1788, yang dikutip dalam buku Dr. De Haan Oud Batavia, halaman 295).

Bagian Kali Besar yang menyusuri Jalan Pancoran kini sudah tidak ada lagi, mungkin telah menjadi riol tertutup.

Mendiang ayah saya sering bercerita, semasa beliau masih hidup, bahwa sampai akhir abad ke-19 atau awal abad ke-20, Jalan Kongsi Besar pun dialiri oleh sebatang sungai. Tepat di tengah-tengahnya, di sepanjang jalur jalan yang kini menjadi lokasi kios-kios.

Di masa remaja saya, kali di Kongsi Besar itu sudah tidak ada. Yang tinggal hanya palang-palang buis besi bergaris tengah kurang lebih 10 sentimeter, yang dahulunya memagari sungai itu di kedua sisinya.

Sungainya sendiri sudah menjadi lapangan tempat bermain anak-anak terutama di sore hari.

Di tahun 1944-45 (zaman Jepang) palang-palang itu pun dibongkar Jepang bersama dengan palang-palang serupa yang memagari tepi-tepi Kali Ciliwung. Konon diangkut ke Jepang karena pada masa itu industri perang Jepang kekurangan bahan baku besi.

Bingam "menjual" kali Ciliwung

Jumlah rekor kali-kali di Jakarta tercatat di masa berkuasanya VOC alias Kompeni menurut mulut masyarakat Betawi asli. Orang Belanda pada masa itu sangat gemar menggali kali-kali buatan yang mereka namakan "gracht" (jamak: grachten).

Konon karena rindu akan kota Amsterdam di negeri asal mereka yang sampai kini masih terbelah-belah oleh banyak "gracht". Adaada juga kali yang dibuat oleh pihak swasta dengan izin Kompeni tentu saja.

Bukan didasari oleh rasa rindu tadi melainkan oleh pertimbangan-pertimbangan komersial-ekonomis. Kali-kali atau gracht-gracht itu, sebagai sudah diterangkan di atas, menghubungkan aliran sungai alamiah yang satu dengan yang lain.

Karena sungai-sungai itu merupakan sarana utama bagi angkutan barang-barang dagangan, banyak sampan yang mengangkut barang-barang itu "memotong kompas" untuk pindah dari aliran sungai yang satu ke aliran sungai yang lain agar lebih cepat tiba di tempat tujuan.

Dalam hal yang sedemikian itu mereka memasuki kali-kali buatan tadi dan oleh pemiliknya (pembuat kali-kali itu) sampan-sampan tersebut diharuskan membayar "tol". Seperti sekarang kendaraan-kendaraan bermotor membayar tol apabila melewati jalan Jagorawi.

Kali Ciliwung, yakni bagiannya yang lurus dari Harmoni ke Utara tadi, dahulunya kali swasta dengan aturan bayar tol kalau melaluinya. Barangkali Anda pernah baca atau dengar bahwa kali itu, yang orang Belanda namakan "Molenvliet", dibuat oleh kepala warga Cina di Betawi (kapitein der Chinezen), Phoa Bing Ham. Lidah Belanda menyebutnyaBingam.

Pada 1648 Bingam mendapat izin dari Kompeni untuk membuat kali tersebut dan memungut tol dari sampan-sampan yang lewat di sana. Tahun 1654 "Molenvliet" diambil alih oleh Kompeni dengan harga 1.000 real.

Bingam melepaskannya karena eksploitasinya tidak lagi menguntungkan terkait dengan penggalian terusan-terusan baru oleh Kompeni sendiri.

Ketika itu, nama-nama jalan tertentu di bagian Utara kota, yang sampai pada pecahnya Perang Dunia II dikenal sebagai Amsterdamschegracht (kini Jalan Tongkol), Leeuwinnegracht (kini Jalan Cengkeh), Groenegracht (kini Jalan Kali Besar Timur III) dan sebagainya, menunjukkan bahwa di zaman Kompeni di sana terbentang kali-kali bikinan.

Pancoran: penyuplai air minum

"Tempo doeloe", di samping fungsinya sebagai sarana penanggulangan banjir dan sarana angkutan barang, sungai-sungai itu pun sebagai penyuplai utama air minum bagi warga kota.

Dr. De Haan bercerita dalam bukunya yang sudah disebutkan di atas bahwa sampai di abad ke-19 air Kali Ciliwung dipergunakan oleh orang-orang Belanda di Betawi sebagai air minum.

Air kali itu mula-mula ditampung dalam semacam waduk ("water plaats" atau "aquada"). Waduk itu semula dibangun di dekat benteng "Jacatra" di bagian Utara kota, kemudian dipindahkan lokasinya di tepi "molenvliet", sekitar daerah Medan Glodok, yang sekarang.

Sebagai diterangkan di atas, pada masa itu Molenvliet mengalir terus ke Utara sesudah membelok ke Timur di seberang Jalan Labu yang sekarang.

Waduk air yang disebutkan di atas dilengkapi dengan pancuran-pancuran kayu yang mengucurkan air dari ketinggian kira-kira 10 kaki (kurang lebih 3 M). Karena itulah maka daerah di sekitar lokasi waduk dikenal dengan nama Pancuran, yang di lidah orang Betawi menjadi Pancoran.

Dari sana air diangkut dengan perahu oleh penjual-penjual air (waterbooren) dan dijajakan di dalam kota.

Nampaknya pada masa itu pengertian orang tentang hygiene dan kesehatan sangat minim: air Kali Ciliwung diminum begitu saja tanpa proses penjernihan seperti yang sekarang dilakukan oleh PAM kita.

Hal itu sempat menimbulkan problem kesehatan yang serius pada golongan Belanda. Di abad ke-18 dan dekade pertama abad ke-19 itu penyakit disentri, tipus, bahkan juga kolera, merajalela di antara mereka. Sebagai penyebabnya disebutkan air Kali Ciliwung tadi.

Berdasarkan bahan dari buku Dr. De Haan, dapat diketengahkan bahwa mengenai hal yang terakhir itu sempat timbul perbedaan pendapat antara para ahli Belanda. Ada ahli yang menyatakan di tahun 1648 bahwa air Ciliwung sangat baik (voor-treffelijk).

Mungkin saja sedemikian halnya selama daerah-daerah di pinggiran kota, di arah hulu kali, masih penuh hutan tanpa penghuni.

Tetapi kemudian, dengan semakin bertambahnya pembukaan hutan-hutan itu dan penggarapan tanah disertai dengan meningkatnya pemukiman di sana, maka air kali pun semakin tercemar. Tahun 1689 seorang ahli lain mencatat bahwa air yang mengucur keluar dari pancuran waduk di Pancoran itu keruh sekali, bahkan berlumpur di musim hujan!

Sekitar tahun 1685 seorang ahli lain lagi mengatakan dengan positif bahwa di dalam air itu terdapat "binatang-binatang halus" yang tak dapat dilihat (onzichtbare beesjens).

"Binatang-binatang halus" itu, yang tentunya dimaksudkan kuman-kuman, akan mati kalau air dimasak sebelum diminum seperti biasa dilakukan oleh "orang-orang Hindustanners" (tentu dimaksudkan orang-orang India) dan orang-orang "pribumi" lainnya.

Hal ini pada hakikatnya suatu petunjuk yang jelas bahwa kesehatan dapat terpelihara lebih baik jika orang hanya minum air masak.

Lebih-lebih karena di tahun 1661 sudah ada laporan dari Banjarmasin bahwa orang Belanda di sana biasa mengendapkan dahulu air minumnya satu hari dan kemudian memasaknya. Namun demikian orang Belanda di Betawi masih belum yakin.

Teh dan tempayan

Lain daripada itu, ketika diketahui bahwa penyakit-penyakit yang tersebut di atas jarang atau tidak pernah menghinggapi orang Cina di Betawi yang sehari-harinya biasa minum teh, seorang dokter yang bernama Thunberg menyatakan bahwa yang dapat mencegah penyakit-penyakit itu bukan soal dimasak atau tidak dimasaknya air, melainkan khasiat daun teh!

Lebih hebat lagi pernyataan seorang ahli yang kenamaan bahwa air Ciliwung pada hakekatnya tidak seburuk yang dibayangkan orang.

Asalkan orang mau melupakan sama sekali segala sesuatu yang biasa dilemparkan ke dalam kali itu. Bayangkan, orang dianjurkan untuk membuang jauh-jauh dari ingatan bahwa Ciliwung antara lain berfungsi sebagai WC umum!

Anehnya, tidak pernah terpikir oleh orang Belanda di Betawi untuk menggunakan air sumur saja sebagai air minum. Padahal pada waktu itu di banyak rumah tinggal sudah ada sumurnya.

Air sumur tentunya lebih jernih daripada air kali dan lebih bebas daripada segala macam polusi.

Setidak-tidaknya kalau cara pembuatan sumur itu tepat dan seterusnya terpelihara dengan baik. Tetapi air sumur, di mana pun tertampung air hujan di dalamnya, pada umumnya hanya dipergunakan untuk keperluan-keperluan dapur saja.

Bagaimanapun juga, pada akhirnya disadari juga bahwa kondisi air yang diminum memegang peranan penting dalam pemeliharaan kesehatan. Pada hakekatnya di antara abad ke-17 dan ke-19 sudah ada usaha-usaha penjernihan air kali untuk diminum.

Caranya sederhana saja. Air itu diendapkan dalam jumlah tempayan (martavaan). Mula-mula diendapkan dalam tempayan yang pertama, lalu dipindahkan ke dalam tempayan yang kedua, ketiga dan seterusnya.

Apabila masuk ke dalam tempayan terakhir, air sudah jernih. Tetapi apakah sekaligus bebas kuman, masih merupakan tandatanya.

Tahun 1811, ketika pecah perang antara negeri Belanda dan Inggeris dan diperkirakan bahwa tentara Inggris segera akan mendarat di Betawi, pemerintah kota Betawi mengeluarkan perintah supaya warga kota menghancurkan semua tempayannya, kecuali yang sangat diperlukan saja.

Maksudnya adalah supaya tentara Inggris, apabila mendarat di Betawi, tidak akan memperoleh air minum sehingga terpaksa minum air kali dengan akibat mereka semua menderita sakit perut. Sejarah membuktikan bahwa siasat "bumi hangus" ini tidak banyak efeknya.

Cara penjernihan lain adalah dengan menyaring air itu di dalam yang dinamakan "leksteen".Leksteen ini semacam kendi berbentuk tabung, terbuat daripada keramik dan dilengkapi dengan kran di bawahnya.

Di dalamnya terdapat lagi "kendi tabung" yang lebih kecil, yang dibuat dari sejenis batu karang yang poreus. Air dimasukkan ke tabung-dalam itu.

Di sana air itu mengendap dan merembes ke tabung-luar yang lebih besar. Kalau kran dibuka, air yang mengucur dari sana jernih lagi sejuk rasanya.

Sebuah leksteen, peninggalan dari zaman kuno itu, pernah saya lihat di rumah seorang paman saya beberapa tahun yang lalu sebelum beliau meninggal dunia.

Penggunaan tempayan sebagai tempat pengendapan air minum sekaligus tempat menyimpan persediaan air, di zaman dahulu kala pun sudah tidak asing lagi bagi rakyat jelata, sebelum orang Barat datang ke sini.

Kendi air pun sudah umum dipergunakan rakyat kita di "tempo doeloe sekali" itu. Bedanya, kendi kita terbuat daripada tanah liat, begitupun tempayan-tempayan.

Dalam pada itu, ada juga orang Belanda Betawi yang nampaknya enggan minum air kali dalam keadaan yang sudah dijernihkan sekalipun.

Dr. De Haan bercerita bahwa sebagian orang Belanda biasa minum "air impor" alias "Seltzelwater", yang di masa itu sangat banyak didatangkan dari luar negeri ke Betawi dengan nama "ayer Belanda".

Harganya mahal sekali: satu ringgit (rijksdaalder atau dua ratus lima puluh sen gulden) per guci kecil (kruik). Oleh karenanya, tentu sekali hanya orang-orang yang kaya raya saja yang dapat meminumnya.

(Sepintas lalu, sampai pada Perang Dunia II, nama "ayer Belanda" atau "air Belanda" masih dikenal di sini Kini lebih dikenal dengan nama "air soda" dan diproduksi di dalam negeri).

Lain daripada itu, orang-orang (Belanda) yang cukup kuat keuangannya mendatangkan air minum dari daerah Bogor (1773), yakni air sumber yang jernih. Konon Gubernur Jenderal Belanda pada masa itu pun menerima suplai air sumber dari "Lontho" (Lontar di bilangan Bogor).

Sampai dalam dekade ke-2 abad ke-20 ini, penggunaan air sumber untuk minum juga populer di antara rakyat jelata di Betawi.

Semasa saya masih bocah yang suka berlari-lari di jalan dengan berpakaian celana-monyet, kampung tempat tinggal keluarga saya terkadang dikunjungi oleh "gerobak tangki" yang menjajakan air sumber dari Kampung Lima (di mana pula letak kampung itu) per kaleng minyak tanah.

Ibu saya selalu membelinya untuk menambah persediaan air minum kami, yang terdiri atas air hujan, yang tiap kali turun hujan deras selalu ditampung dan disimpan sekaligus diendapkan oleh almarhum ayah saya dalam sejumlah tempayan tanah liat.

Artikel Terkait