Lama menghilang, batik Betawi terlahir kembali melalui batik seraci. Batik ini berusaha konsisten mengangkat budaya dan ikon Betawi meski dicibir beberapa kalangan.
Penulis: Rusman Nurjaman dan Astri Apriyani, tayang pertama kali pada Oktober 2012
---
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-Online.com - Kain batik yang dipajang di salah satu gerai di Thamrin Plaza, Jakarta, itu terlihat istimewa. Coraknya berbeda dengan batik kebanyakan yang sudah lama dikenal masyarakat seperti batik Solo, Pekalongan, Lasem, Cirebon, atau Yogyakarta. Warnanya cerah, agak ngejreng.
Uniknya ada ikon-ikon Betawi di sana seperti Si Pitung, Monas, ondel-ondel, dsb. Oleh sang pembuat, Ernawati atau Erna, batik ini dinamakan batik seraci.
Batik seraci bermula pada pengujung 2010. Waktu itu Erna yang baru kembali dari Semarang, bercita-cita merintis usaha batik. Sebagai Putri Betawi asli asal Marunda, dia bermaksud menggunakan simbol-simbol kebudayaan leluhur sebagai tema motif batik rancangannya. Dari sinilah awal batik seraci disebut-sebut sebagai batik Betawi.
Sebelumnya, batik Betawi memang tidak dikenal dan nyaris tak terdengar. Berbekal prestasi Juara I Lomba Menyanting se-Jawa Tengah, Erna melihat kekosongan itu sebagai peluang untuk berkreasi. Semangat yang diusungnya adalah mengangkat budaya Betawi lewat batik. Erna yang menghabiskan masa remajanya di Semarang, sangat bergairah dalam usahanya ini.
Ibu-ibu kampung lain ikutan
Ernawati punya cara sendiri untuk mensosialisasikan ide batik Betawi. Kaum ibu-ibu dan remaja diajaknya untuk mengikuti pelatihan. “Tujuannya untuk pengkaderan,“ ucap Erna yang menginisiasi sendiri pelatihan itu.
Awalnya Erna sempat terbentur dua kendala klasik. Pertama, masalah modal. Karena tidak punya pengalaman dalam menggaet sponsor atau sekadar mencari pinjaman dari bank, terpaksalah ia mengandalkan simpanan pribadi ditambah dukungan keluarga.
Kedua, para ibu dan remaja yang dikadernya itu perlu waktu lama untuk menguasai teknik membatik. “Butuh kesabaran dan ketekunan yang lebih untuk mendampingi mereka,” papar Erna yang kini mempekerjakan 20 orang di sanggar batiknya.
Kini para pekerja yang kebanyakan adalah warga di sekitar kawasan Marunda, Jakarta Utara, mampu menghasilkan 20 potong batik cetak serta dua potong batik tulis setiap bulan.
Rupanya kegiatan Erna menarik minat banyak orang. Terbukti dengan banyaknya orang dari wilayah di luar Marunda yang ikut belajar membatik. Sebut saja dari kampung Muara Tawar (Bekasi) dan beberapa tempat di wilayah Tanjung Priok.
Beberapa di antaranya mendirikan sanggar batik di tempat masing-masing. Tapi mereka selalu kontak dengan sanggar “induk” di Marunda karena masih butuh pendampingan.
Sanggar di Marunda sendiri, menurut Erna, masih sering mengadakan pelatihan, setidaknya sampai 10 kali dalam 19 bulan terakhir. Setiap sesi pelatihan diikuti sekitar 15-20 orang.
Untuk memudahkan pemasaran, Erna membuka beberapa galeri di beberapa titik lokasi perbelanjaan di Jakarta. Galeri yang kini khusus memajang batik seraci ada di bilangan Bendungan Hilir, Cilandak, dan Thamrin City.
Pernah mati karena limbah
Sosialisasi dan usaha menggalang dukungan mulai berbuah. Batik seraci diundang untuk membuka stand di arena Pekan Raya Jakarta 2011. Undangan ini datang atas usulan dari Lembaga Kebudayaan Betawi (LKB). Rupanya LKB mulai ngeh dengan keberadaan batik seraci dan visi budaya yang dibawanya.
Rudy Haryanto, staf Bidang Pelestarian LKB, menjelaskan bahwa batik seraci menjadi titik terang kemunculan kembali batik Betawi. “Mereka berhasil mengembangkan motif-motif yang menggambarkan kehidupan orang Betawi,” ucap Rudy. Merujuk kepada beberapa literatur, Rudy menengarai batik Betawi memang pernah hidup.
Salah satu bekas sanggarnya berada di daerah Cakung, Jakarta Timur. Sanggar itu harus mati lantaran limbahnya dianggap mengotori sungai.
Belakangan LKB giat memfasilitasi pengembangan batik seraci sebagai batik Betawi yang terlahir kembali. Misalnya, melalui kerjasama pelatihan batik. LKB bahkan tengah merencanakan pembentukan Keluarga Batik Betawi (KBB).
Tujuannya, demi meningkatkan apresiasi dan pengembangan batik Betawi. KBB nantinya menjadi salah satu lembaga yang menginduk ke LKB.
Batik seraci juga mendapat sambutan hangat di pasaran. Motifnya yang lebih beragam dan dominasi warna-warna cerah menarik minat konsumen untuk membeli. Yayuk Sudiono, pemilik butik batik seraci di Bekasi Timur, adalah pihak yang ikut “kecipratan“ rezekinya.
Menurut dia, para pembeli menyukai batik seraci lantaran corak dan warnanya yang cerah. Motif batik yang menggambarkan kehidupan sehari-hari orang Betawi juga dirasa lebih mengena bagi sebagian warga ibu kota.
Permintaan pasar semakin bagus karena batik seraci datang pada momentum yang pas. Era “kebangkitan batik” yang antara lain ditandai dengan pemakaian baju batik oleh para pekerja kantoran, ikut mendorong populernya batik seraci. Beberapa sekolah, instansi pemerintah, dan organisasi Dharma Wanita di DKI sudah ikut memakai batik seraci.
Hmm ... berawal dari gagasan melestarikan budaya Betawi lewat batik, kini usaha rintisan Erna menjadi peluang bisnis menggiurkan.
Seraci: bati Betawi atau bukan?
Sebelum Ernawati, pada 2007, sempat ada pembatik asal Yogyakarta bernama Daud Wironegoro yang coba melahirkan batik Betawi. Desainnya nyaris sama dengan seraci. Batik ini merupakan pesanan dari Balai Kerajinan di Cakung. Motifnya mengangkat ikon-ikon Jakarta seperti ondel-ondel, Monas, dsb.
Hanya saja, menurut Asmoro Damais, ahli batik senior Indonesia, “Batik karya Daud tersebut dikecam oleh beberapa pihak, termasuk saya. Sebab, desainnya tidak pantas disebut batik Betawi.”
Penilaian “tidak pantas” itu muncul karena batik karya Daud dianggap tidak sesuai dengan akar motif batik Betawi yang biasanya berkisar motif tumpal segitiga, pucung rebung, atau mega mendung. Sementara motif-motif pada batik karya Daud mengangkat ikon-ikon modern yang baru dibangun, seperti Monas.
Lalu bagaimana dengan nasib batik Betawi ala Ernawati yang juga menampilkan ikon-ikon modern?
Penulis | : | Moh. Habib Asyhad |
Editor | : | Moh. Habib Asyhad |
KOMENTAR