Di Amerika, Sinterklas Berubah Jadi Santa Claus dan Piet Hitam pun Menghilang

Moh. Habib Asyhad
Moh. Habib Asyhad

Editor

Sama seperti di Indonesia, tradisi Sinterklas di Amerika Serikat juga warisan Belanda, meski di sini ia berganti nama jadi Santa Claus (Dok Majalah Intisari)
Sama seperti di Indonesia, tradisi Sinterklas di Amerika Serikat juga warisan Belanda, meski di sini ia berganti nama jadi Santa Claus (Dok Majalah Intisari)

Sama seperti di Indonesia, tradisi Sinterklas di Amerika Serikat juga dibawa oleh orang-orang Belanda. Meski di sini ia berganti nama jadi Santa Claus dan tak ditemani Piet Hitam.

Penulis:Herman Suwardie dan Lily Wibisono dari pelbagai sumber, tayang di Majalah Intisari edisi Desember 1997 dengan judul "Sinterklas Pakai Teknologi Nano"

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com -Di Amerika Serikat,50% nilai penjualan dari toko dan toserba berasal dari hari thanksgiving (Kamis ke-4 dalam bulan November) sampai hari Natal.

Tak heran jika toko-toko berlomba menawarkan harga obral secara besar-besaran. Mereka pun berhias diri dengan berbagai cara. Mulai dari yang bernilai seni sampai urakan, murahan, bahkan menjijikkan.

Sepanjang Fifth Avenue, pusat perbelanjaan kaum berada di New York misalnya, bisa dilihat keindahan dekorasi beberapa toko tersohor, mulai dari Lord & Taylor, Saks Fifth Avenue, Trump Plaza, Tiffany, dan tentunya FAO Schwarz yang muncul dalam film Home Alone 2.

Penataannya benar-benar apik, profesional, dan artistik. Tapi hanya dua blok dari sana, di sepanjang daerah teater Broadway, toko-toko kaset video X dan bioskop film sejenis tak kalah meriahnya "menyambut Natal" dengan versi mereka sendiri, yang terkadang membuat bulu kuduk berdiri.

Mereka seakan mengingatkan publik Amerika, "Inilah saatnya membeli!"

Kantung kurang tebal tidak jadi soal, lantaran banyak yang terlanjur punya kebiasaan buruk habis-habisan memborong barang selama Natal. Apakah bakal kelimpungan membayar kartu kredit di bulan berikutnya, itu soal nanti.

Akal bulus diterapkan juga oleh orang-orang dengan filosofi mumpung. Beli barang mahal (dan bergengsi), seperti mantel bulu atau perhiasan, untuk dipakai bergaya selama Natal. Setelah itu barang dapat dikembalikan ke toko dengan alasan kekecilan atau tak cocok.

"Kebaikan hati" toko-toko di AS yang "merajakan" pembeli, memang amat gampang dimanfaatkan. Sikap sewenang-wenang macam itu timbul tentunya karena perayaan yang semula ekspresi kegembiraan yang religius itu sudah meleset jauh dari sasaran.

Yang diutamakan justru hura-huranya. Banyak juga golongan masyarakat yang tak rela. Mereka nggrundel, "Natal kini telah kehilangan arti!"

Jenazahnya sampai dicuri

Namun perayaan Natal yang semakin komersial tetap berjalan dari tahun ke tahun.

Salah satu yang jadi "menu utama" wisatawan kota megapolitan itu di masa Natal adalah pohon natal raksasa di Gedung Rockefeller Center, yang berdiri megah dikelilingi lapangan seluncur es. Lokasinya memang cukup strategis: dikelilingi toko-toko eksklusif, serta tak jauh dari Katedral St. Patrick dan Gereja St. Thomas.

Kemudian di Gedung Japan Airlines, misalnya, berdiri indah pohon Natal dari origami. Di Gedung Lincoln Center bisa dijumpai pohon Natal dengan ornamen bermusik, di American Museum of Natural History pelbagai boneka dinosaurus, dari T-Rex sampai velociraptor, bergelantungan di pohon natal.

Tradisi memasang pohon natal yang bermula dari Jerman itu memang menampilkan keindahan tersendiri.

Bagi anak-anak, Natal tak dapat dipisahkan dari Sinterklas, kakek tua periang yang baik hati dan suka ber-"ho, ho, ho!" itu. Namun perjalanan Sinterklas hingga kini diyakini sebagai kakek tua penyayang anak-anak sebenarnya cukup panjang.

Dalam tradisi masyarakat Katolik, tanggal 6 Desember memang hari pesta Santo Nicholas, yang dipercaya lahir di abad IV di Myra, Lycia, Asia Kecil (sekarang Turki). Meski keberadaannya tidak didukung oleh dokumen sejarah, orang percaya, dia dulu adalah uskup di Myra.

Kemurahan dan kebaikan hatinya sampai menimbulkan kisah-kisah mukjizat bagi rakyat miskin dan papa. Setelah meninggal, dia dimakamkan di gerejanya di Myra itu.

Namun pada abad VI legenda yang melingkupinya sudah terpatok. Barangkali St. Nicholas memang benar-benar pernah ada, karena sampai berabad-abad kemudian popularitasnya bukannya menyusut, malah makin berkibar.

Puncaknya ketika pada 1087 sisa-sisa jenazah yang dianggap St. Nicholas itu dicuri (ya, dicuri!) oleh pelaut-pelaut dari Italia. Mereka membawanya ke Bari, Italia, dan menyemayamkan jenazahnya di sebuah basilika, Basilica San Nicola.

Dari Sinterklas ke Santa Claus

Karena itu St. Nicholas makin populer di Eropa, sehingga ribuan gereja dibangun dengan namanya, sampai terjadinya reformasi dalam agama Katolik Roma yang melahirkan aliran Protestan.

Namun anehnya, tokoh St. Nicholas tetap bertahan di Belanda yang setelah reformasi menganut aliran Protestan.

Orang-orang Belanda pada gilirannya membawa tradisi Sinterklaas ke koloni-koloninya: ke Hindia Belanda alias Indonesia (sehingga kita menyebutnya Sinterklas), dan ke Kota New Amsterdam di Benua Baru, Amerika.

New Amsterdam dalam perjalanan sejarahnya berubah menjadi New York. Begitulah ceritanya, Sinterklas mentradisi juga di Amerika dengan nama Santa Claus.

Dalam pengkristalan mitos St. Claus di kerangka budaya Amerika, terjadi penyesuaian di sana-sini, sehingga di sana St. Claus tidak tampil pada tanggal 6 Desember lagi, tapi di malam Natal.

Juga tidak seperti Sinterklas kita (yang notabene juga dibawa oleh orang Belanda), yang selalu ditemani oleh Pit Hitam, di Amerika St. Claus bekerja sendirian, tinggal dan punya "pabrik mainan" di Kutub Utara.

Mengirim kartu ucapan

Natal juga identik dengan mengirim kartu ucapan Natal.Kebiasaan mengirimkan kartu Natal komersial lahir pada 1843 berkat gagasan Sir Henry Cole di Inggris.

Karena kewalahan harus mengirimkan banyak kartu setiap menjelang Natal, dia menugasi John Calcott Horsley untuk merancang kartu Natal "borongan". Demikianlah, di samping untuk kepentingan pribadi, dari desain itu kemudian dicetak 1.000 kopi yang laris bak kacang goreng.

Namun kartu natal bergambar Sinterklas lengkap dengan kereta luncur saljunya, bel dan pohon cemara, dan pondok yang tertutup salju, baru "meledak" di akhir abad XIX.

Dan kini,kartu Natal terus berjaya dan tetap berkembang mengikuti perubahan di masyarakat. Di negeri kita pun, gambar ucapan hari Natal telah lama berkembang dari yang sekadar meniru suasana Natal penuh salju ke ekspresi kehangatan yang lebih bersifat lokal.

Artikel Terkait