Profil Anggota BPUPKI: Mr Johannes Latuharhary Menolak 7 Kata Pada Piagam Jakarta

Moh. Habib Asyhad
Moh. Habib Asyhad

Editor

Johannes Latuharhary ketika berperan dalam Perjanjian Renville. Dia punya peran penting dalam sidang BPUPKI dan PPKI, terutama dalam hal mukadimah UUD 1945.
Johannes Latuharhary ketika berperan dalam Perjanjian Renville. Dia punya peran penting dalam sidang BPUPKI dan PPKI, terutama dalam hal mukadimah UUD 1945.

Johannes Latuharhary punya peran penting dalam sidang BPUPKI dan PPKI, terutama dalam hal mukadimah UUD 1945. Dia menolak tujuh kata dalam Piagam Jakarta.

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com -Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) punya 67 anggota dengan Dr Kanjeng Raden Tumenggung Radjiman Wedyodiningrat menjadi ketuanya. Salah satu anggotanya adalah Mr Johannes Latuharhary.

Inilah profil singkat Gubernur Maluku pertama itu.

Profil Johannes Latuharhary

Namanya Johannes Latuharhary, lahir di Saparua pada 6 Juli 1900. Ayahnya Yan Latuharhary adalah seorang guru di Saparuasche School yang kemudian berubah menjadi Hollands lnlandsche School (HIS). Ibunya bernama Josefin.

Setelah beranjak dewasa, Johannes berangkat ke Batavia untuk melanjutkan pendidikan. Di Batavia dia masuk HBS. Di sana dia belajar bahasa asing. Mulai dari bahasa Belanda, Inggris, hingga Jerman.

Pada 1923 Johannes lulus dari HBS dan berangkat ke Leiden, Belanda, untuk belajar di Fakultas Hukum. Pada 1927 Johannes berhasil meraih gelar meester in de rechten. Dia adalah putra Maluku pertama yang meraih gelar tersebut di Universitas Leiden.

Johannes kemudian kembali ke Indonesia dengan membawa rekomendasi dari guru besarnya, Prof. Dr. Van Vollenhoven. Dia adalah seorang sarjana Hukum Adat yang terkenal serta mempunyai pengaruh besar terhadap Pemerintah Hindia Belanda.

Dengan rekomendasi itu Latuharhary segera mendapat pekerjaan dan diangkat sebagai ambtenaar ter beschikking (pegawai yang diperbantukan) pada Ketua Pengadilan Tinggi di Surabaya sejak 22 Desember 1927. Karena kecakapannya, Johannes diangkat menjadi landrechter (hakim) di Surabaya dan tak lama kemudian menjadi grivier pada Raad van Justitie.

Berawal dari Sarekat Ambon

Ketika itu Surabaya adalah kantong pergerakan nasional yang penting. Di sana adalah pusat Boedi Oetomo dan Indonesische Studie Club yang dipimpin oleh Soetomo. Di Surabaya Johannes juga mulai aktif dalam Sarekat Ambon (SA) dan pergerakan nasional. Ide-ide dan perspektif baru yang dibawanya dari Eropa mulai dimasukkan dalam tubuh SA, termasuk ide persatuan dan kemerdekaan bangsa Indonesia.

Dari SA, Johannes kemudian menjadi anggota Partai Indonesia Raya (PARINDRA). Pada 1-3 Januari 1932 Kongres Partai Indonesia Raya diadakan di Surabaya, di hadapan tokoh-tokoh seperti Soekarno, Dr. Soetomo, Mr. Iskak, Mr. Sartono, Oto Iskandar Di Nata, Moh. Husni Thamrin, dan lainnya, Johannes membacakan prasarannya yang berjudul “Azab Sengsara Kepulauan Maluku”.

Di situ dia menguraikan bagaimana Kepulauan Maluku ditaklukkan oleh bangsa Barat dan bagaimana VOC memonopoli perdagangan dan pelayaran honginya. Dia juga menggambarkan betapa kejamnya VOC yang merusak kehidupan ekonomi dan sosial sehingga rakyat Maluku hidup dalam kesengsaraan dan penderitaan.

Di situ dia juga menyampaikan surat-menyurat antara Serikat Ambon di Ambon dengan para raja-raja di Kerajaan Maluku sebagai bukti rintangan atau kendala terhadap perjuangan Serikat Ambon. Tak pelak, uraian itu mendapat sambutan meriah dari kalangan tokoh-tokoh nasional yang disebutkan di atas.

Sebaliknya, pemerintah Hindia Belanda menganggap pidato Johannes Latuharhary itu sebagai sikap seorang pegawai yang tidak loyal. Akibatnya tekanan-tekanan berat menimpa dirinya. Ultimatum diberikan terhadapnya: tetap menjadi ketua Pengadilan Negeri dengan prospek karier yang menanjak atau jalan politik tapi harus keluar dari dinas pemerintahan.

Setelah meminta pendapat dari teman-teman seperjuangannya, juga meminta pertimbangan dari istrinya, Johannes memutuskan berhenti sebagai ketua pengadilan dan keluar dari dinas pemerintahan kolonial. Dia mengirim kepada pemerintah pusat di Batavia tentang sikapnya dan pemerintah kolonial Hindia Belanda mengabulkan permintaannya.

Singkat cerita, Johannes Latuharhary terpilih menjadi anggota Regentschapsraad (Dewan Perwakilan Kabupaten) di Kraksaan (sekarang wilayah Probolinggo) kemudian pindah ke Malang. Dia kemudian terpilih menjadi anggota Dewan Perwakilan Provinsi Jawa Timur di Surabaya dan memasuki Fraksi Nasional hingga 1942.

Pada masa pendudukan Jepang, karena Johannes Latuharhary seorang tokoh Pergerakan Nasional dan pemimpin PARINDRA, maka pemerintah mencurigai aktivitasnya. Akibatnya dia tiga kali masuk penjara. Tapi berkat usaha dan perjuangan sang istri, Johannes bisa dibebaskan dan bisa kembali berkumpul dengan keluarganya.

Menolak tujuh kata pada sila Ketuhanan

Pada September 1942, Johannes dan keluarganya pindah ke Jakarta dan bekerja di bidang sosial. Menjelang Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Johannes Latuharhary dipilih menjadi salah satu anggota BPUPKI.

BPUPKI adalah tempat di mana anggotanya bisa mengeluarkan pendapatnya tentang bentuk negara (federal atau kesatuan), sifat konstitusi (sederhana dan sementara), dan lain sebagainya.

Dalam perdebatan mengenai bentuk negara, Latuharhary mengusulkan bentuk bondstaat, sedangkan dalam hal mukadimah, dia tidak dapat menerima tujuh kata pada sila Ketuhanan (Piagam Jakarta) karena hal itu mempunyai konsekuensi yang sangat luas bagi para pemeluk agama yang bukan Islam, dan ini dapat mengakibatkan perpecahan.

Karena itu, Johannes Latuharhary minta supaya di dalam UUD diadakan pasal-pasal yang jelas tentang hal ini. Ia menolak pendapat Wachid Hasjim yang ingin mendirikan Negara Islam.

Latuharhary mengemukakan bahwa usul tersebut membahayakan kesatuan dan persatuan Indonesia. Menurutnya, daerah-daerah dengan penduduk mayorita beragama Kristen seperti Maluku, Minahasa, dan lain-lain tidak akan bersedia menggabungkan diri dengan Indonesia yang bercorak islamis itu.

Persoalan mukadimah yang terkesan ingin mendirikan Negara Islam itu akhirnya bisa diselesaikan oleh Mohammad Hatta dengan mengajak beberapa tokoh Islam dalam PPKI untuk membicarakan dan memperbaiki rumusan yang telah disetujui dalam BPUPKI sebelumnya.

Ketika Bung Karno membacakan proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945, Johannes Latuharhary adalah salah satu pemimpin yang hadir di Pegangsaan Timur 56. Pada 19 Agustus 1945 PPKI bersidang. Salah satu keputusannya adalah Daerah Negara Indonesia dibagi delapan provinsi yang masing-masing dikepalai oleh seorang gubernur. Provinsi-provinsi tersebut adalah Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatra, Borneo, Sulawesi, Maluku, dan Sunda Kecil.

Maluku sebagai salah satu provinsi dikepalai oleh seorang gubernur. Untuk jabatan itu diangkat Johannes Latuharhary. Tapi sayang, kedudukannya terpisah dari daerah Maluku dan rakyatnya.

Hal ini disebabkan keadaan politik dan kesukaran perhubungan waktu itu yang tidak memungkinkannya berangkat ke Maluku, apalagi daerah itu telah diduduki Australia yang kemudian menyerahkannya kepada Belanda.

Pada 5 September 1945 di rumah Mr. J. Latuharhary, pemuda Maluku membentuk Angkatan Pemuda Indonesia Ambon (API Ambon). Organisasi ini telah banyak memberikan bantuan terhadap pemerintah yang dipimpin Mr. J. Latuharhary. Melalui seruan-seruan dan maklumat yang dikeluarkan organisasi ini, Mr. J. Latuharhary dapat menyadarkan dan mempersatukan rakyat daerah Maluku.

Sumber:Tokoh-tokoh Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia Jilid II, Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional: Jakarta, 1993

Artikel Terkait