Ki Bagus Hadikusumo Pendukung Keras Piagam Jakarta, Tapi Luluh Juga Berkat Sosok-sosok Ini

Moh. Habib Asyhad
Moh. Habib Asyhad

Editor

Ki Bagus Hadikusumo termasuk sosok yang gigih mempertahankan kalimat 'Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya' dalam Pancasila, tapi luluh karena beberapa sosok lain.
Ki Bagus Hadikusumo termasuk sosok yang gigih mempertahankan kalimat 'Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya' dalam Pancasila, tapi luluh karena beberapa sosok lain.

Ki Bagus Hadikusumo termasuk sosok yang gigih mempertahankan kalimat 'Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya' dalam Pancasila, tapi luluh karena beberapa sosok lain.

Intisari-Online.com -Salah satu tokohyang gigih memperjuangkan agar Islam menjadi pilar dalam dasar negara Indonesia adalahKi Bagus Hadikusumo.

Berbagai argumen dia lontarkan terkait gagasan itu dalam sidang-sidang Badan Penyelidikan Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).

Rancangan Pembukaan Undang-undang Dasar NEgara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) yang dirumuskan oleh BPUPKI itu kelak lebih dikenal sebagai Piagam Jakarta.

Dan Piagam Jakarta itu menjadi perdebatan saat sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).

Ki Bagus termasuk sosok yang gigih mempertahankan hasil Piagam Jakarta itu.

Tapi pada akhirnya Ki Bagus luluh juga berkat salah satu koleganya di Muhammadiyah.

Ki Bagus adalah salah satu wakil golongan Islam yang ditunjuk menjadi anggota BPUPKI.

Nama lainnya adalah Haji Agus Salim, Wahid Hasyim, Abdul Kahar Muzakkir, Sukiman, Abikoesno Tjokrosoejoso, dan Ahmad Soebardjo.

Seperti disebut di awal, Ki Bagus termasuk yang paling gigih menginginkan kalimat "Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya" tercantum dalam pemukaa UUD 1945.

---

Ki Bagus lahir di Yogyakarta pada 24 November 1890.

Hidayat, begitu nama panggilannya waktu kecil.

Ki Bagus Hadikusumo sendiri berasal dari keluarga priyayi santri dari daerah Kauman, Yogyakarta.

Di lingkungan tempat ia tinggal sangatlah kental akan kultur Islami, sehingga kultur tersebut telah melekat dalam dirinya.

Ayahnya, Kyai Hasyim, adalah seorang abdi dalem Kraton Yogyakarta.

Pendidikan formal yang Ki Bagus Hadikusumo jalani hanyalah sampai pada tingkat sekolah dasar.

Pendidikan agama dia dapatkan dari sang ayah serta dua pesantren tradisional di Wonokromo dan Pekalongan.

Di pesantren itulah Hadikusumo mulai mengenal ilmu tasawuf.

Akan tetapi, pengaruh terbesar yang dia dapat selagi mempelajari ilmu Islam adalah berasal dari KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah.

Perjuangan serta pemikiran dari Ki Bagus Hadikusumo tidak terlepas dari organisasi Islam Muhammadiyah.

Dia juga sempat memegang beberapa jabatan di dalam organisasi tersebut.

Jabatan pertama yang ia pegang adalah sebagai Ketua Majelis Tabligh, lalu Ketua Majelis Tarjih, dan posisi puncak, Ketua Pengurus Besar (PB) Muhammadiyah.

Dia menjabat sebagai Ketua PB selama 11 tahun, sejak 1942 sampai 1953.

Ki Bagus Hadikusumo juga menjadi salah satu pendiri Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) di Yogyakarta pada November 1943.

Dalam partai tersebut Ki Bagus Hadikusumo memegang jabatan sebagai wakil ketua sampai pada tahun 1950.

Adanya Ki Bagus Hadikusumo sebagai ketua Muhammadiyah berawal dari terjadinya pergolakan politik internasional, yaitu pecahnya Perang Dunia II.

Ketua Muhammadiyah sebelumnya, KH Mas Mansur, memintanya untuk menggantikan posisinya, karena Mansur dipaksa untuk menjadi anggota Pusat Tenaga Kerja Rakyat (PUTERA).

Saat menjabat sebagai Ketua Muhammadiyah, Ki Bagus Hadikusumo sering berbincang dengan Jepang agar para siswa Muhammadiyah tidak terlalu patuh akan Jepang.

Perjuangan Ki Bagus Hadikusumo tidak hanya ada dalam Muhammadiyah, tetapi juga dalam partai politik yang berbasis Islam.

Saat ditunjuk menjadi anggota BPUPKIKi Bagus Hadikusumo memperjuangkan agar Islam menjadi pilar dalam dasar negara.

Dia berperan dalam penyusunan isi Mukadimah UUD 1945.

Pada butir pertama dalam Mukadimah UUD 1945 tertulis, "Negara berdasarkan atas Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya".

Usulan Ki Bagus Hadikusumo dan anggota golongan Islam lainnya ini akhirnya ditolak.

Ki Bagus Hadikusumo akhirnya bisa luluh salah satunya berkat salah satu koleganya di Muhammadiyah: Kasmah Singodimedjo.

Saat rapatPPKI setelah Proklamasi 17 Agustus 1945, Kasman berhasil meluluhkan hati Ki Bagus Hadikusumo untuk menghilangkan tujuh kata terkait syariat Islam dalam sila pertama Pancasila.

Tokoh lain yang punya peran meluluhkan hati Ki Bagus adalah Teuku Mohammad Hasan.

Mohammad Hasan sendiri diperintah Bung Karno untuk membujuk Ki Bagus sehari setelah Proklamasi terkait kalimat "menjalankan syariat Islam..." itu.

Dalam obrolan itu, yang ditekankan oleh Hasan adalah pentingnya kesatuan nasional dan jangan sampai minoritas-minoritas Kristen penting seperti Batak, Manado, dan Ambon mendukung Belanda.

Pembicaraan dengan Hasan membuat Ki Bagus sedikit melunak, tapi belum sepenuhnya rela.

Lalu ada nama Abikoesno, yang tak lain adalah adik Tjokroaminoto, yang juga berhasil meluluhkan hati Ki Bagus.

Ketika itu sidang PPKI sempat terjadi kebuntuan dan diusulkan agar dilakukan voting terkait "nasib" sila pertama.

Tapi Abikoesno bilang:

"Kalau tiap-tiap dari kita harus, misalnya, dari golongan Islam harus menyatakan pendirian, tentu saja kita menyatakan, sebagaimana harapan Tuan Hadikusumo. Tetapi kita sudah melakukan kompromi, sudah melakukan perdamaian."

Akhirnya, Ki Bagus rida dasar negara Indonesia adalah Pancasila, tapi dia ingin persoalan agama ditempatkan sebagai sila pertama Pancasila.

Artikel Terkait